Kamis, 8 Oktober 2015, Prof. Chaiwat Satha-Anand, guru besar ilmu politik Universitas Thammasat, Thailand, memberikan kuliah umum seputar agama dan kekerasan di Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada (UGM). Kuliah itu merupakan bagian dari Nucholish Madjid Memorial Lecture (NMML) IX yang pada tahun ini untuk pertama kalinya diselenggarakan di Yogyakarta, sekaligus dalam rangka mengisi peringatan 15 tahun program studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies [CRCS]), UGM. Satha-Anand dikenal luas sebagai akademisi sekaligus aktivis yang mengampanyekan perjuangan melawan ketidakadilan dengan pendekatan nirkekerasan berbasis keagamaan, khususnya Islam. Satha-Anand juga merupakan kawan baik dari almarhum Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Tulisan-tulisannya banyak membahas relasi agama dan kekerasan secara umum, juga resolusi konflik di Thailand secara khusus.
Berita
Ali Jafar/Wednesday Forum
Banyak dari kita yang hanya tahu tentang Ammatoans dari general perspective tentang mereka. Kehidupan traditional mereka memang sangatlah menarik. Terlebih ketika kita melihat program TV yang menghadirkan serial etnik atau sejenisnya. Ammatoans sering digambarkan sebagai sekumpulan masyarakat kecil yang “masih” percaya pada “animism” dan mengadakan ritual untuk konservasi hutan. Di beberapa progam religi di pertelevisisan Indonesia, Ammatoans ditampilkan sebagai komunitas muslim yang yang masih mempraktikan “syncretism”, karena mereka memberikan sesajen kepada hutan, gunung dan daratan. Orang Indonesia memiliki banyak sekali stereotype tentang Ammatoans, tetapi siapa sebenarnya Ammatoans yang sesungguhnya? Terkait stereotype tentang Ammatoans ini, pada rabu 16 september, Wednesday Forum yang diadakan CRCS/ICRS kembali menghadirkan Dr. Samsul Ma’arif yang telah melakukan penelitian pada Ammatoans dan mengemukakan fakta sebaliknya.
S. Sudjatna | Report | CRCS
Salah satu tokoh ulama Indonesia, K.H. Mustofa Bisri atau Gus Mus, mengingatkan civitas akademika Universitas Gadjah Mada soal tidak adanya dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Ia justru menekankan pada wajibnya menuntut ilmu. Menurut Gus Mus, seharusnya setiap orang memahami bahwa hukum ilmu hanyalah satu, yakni wajib, baik wajib kifayah (wajib dipelajari oleh sebagian orang saja) ataupun wajib ‘ain (wajib dipelajari oleh setiap orang). Dengan adanya kesadaran ini, maka setiap orang akan bersungguh-sungguh dalam proses belajar yang dilakukannya sebab menyadari beban tugasnya dalam mencari ilmu. Hal ini ia sampaikan dalam kuliah perdana yang diselenggarakan oleh Fakultas Kehutanan UGM, bertajuk “Ilmu yang Bermanfaat”, Kamis, 3 September 2015.
Selanjutnya ia menekankan pentingnya niat di dalam proses menuntut ilmu. Ia menjelaskan bahwa niat adalah fondasi dalam segala tindakan. Niat tidak hanya menentukan awal dan proses suatu perbuatan saat dilakukan, melainkan juga sangat menentukan bentuk akhir dari sesuatu itu. Karenanya, untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, menurut Gus Mus, seorang mahasiswa haruslah memiliki niat yang baik, tulus dan ikhlas. Bukan niat yang hanya mengedepankan persoalan duniawi semata, semisal pekerjaan, kedudukan atau keuntungan dalam bentuk materi. Niat haruslah dijalin dan didasarkan pada kesadaran akan ketuhanan serta tugas kekhalifahan manusia di muka bumi. Dengan begitu, setiap penuntut ilmu akan sadar dengan tugasnya sebagai orang yang diberi pemahaman atau ilmu oleh Tuhan untuk digunakan demi kebaikan manusia dan alam.
Mengaitkannya dengan ilmu kehutanan, menurut Gus Mus Indonesia adalah salah satu negara dengan bentang hutan terluas di dunia. Karenanya, tak heran jika negeri ini didaulat sebagai salah satu paru-paru dunia. Namun sayangnya, akhir-akhir ini luas hutan di nusantara kian menyempit disebabkan eksploitasi besar-besaran yang terjadi secara kontinu, belum lagi kerusakan hutan yang kian parah di setiap tahunnya. Hal ini seolah menunjukkan ada yang salah dengan tata kelola hutan yang ada. Tentu saja, kondisi ini sangat paradoks dengan realitas yang ada bahwa setiap tahunnya sarjana alumni fakultas kehutanan terus meningkat jumlahnya, dan UGM adalah salah satu penyumbang sarjana kehutanan terbanyak saat ini.Apa yang salah dalam hal ini? Adakah ilmu yang sudah digali selama para mahasiswa kehutanan itu kuliah tidak bermanfaat?.
Selain itu, Gus Mus juga memberi perumpamaan bahwa pelajar—di dalamnya termasuk juga mahasiswa—bukanlah laiknya sebuah komputer. Pelajar berbeda dengan komputer yang hanya menampung data tanpa mampu melakukan apa pun. Karenanya, pelajar jangan seperti komputer. Pelajar haruslah sanggup menampung ilmu sekaligus mengamalkannya, memanfaatkannya. Menurut Gus Mus, jika sekiranya tidak sanggup memberi manfaat, maka setidaknya hendaklah tidak merugikan orang lain. Selain itu, sebagai manusia, pelajar hendaklah menggunakan bukan hanya otak, melainkan juga hati.
Salah satu tips menuntut ilmu yang dilontarkan Gus Mus bagi para mahasiswa adalah hendaknya berteman dengan orang shalih. Sebab, pengaruh teman sangatlah kuat terhadap jiwa seseorang. Jika seorang mahasiswa salah berteman atau salah pergaulan, maka dapat dipastikan study-nya akan terganggu, begitu juga dengan keilmuannya. Sedangkan bagi para dosen, Gus Mus mengingatkan pentingnya mendoakan para mahasiswa agar mendapat ilmu yang bermanfaat. Ia mengingatkan, hendaklah para dosen menyadari bahwa mereka hanyalah sarana Tuhan dalam menyampaikan ilmu.
Ali Ja’far | CRCS |
“Kemanakah arah kebebasan beragama” adalah pertanyaan besar saat ini. Isu ini menjadi sensitif di kalangan masyarakat majemuk dimana isu tentang hukum penodaan agama dan konflik agama masih saja dominan. Berbicara di Wednesday Forum CRCS/ICRS, Dr. Paul Marshal dari Hudson Institute Washington D.C dan Leimena Institute Jakarta berargumentasi bahwa penekanan kebebasan beragama tidak berhubungan dengan konflik agama, tetapi meratanya pelarangan agama justru menjadi penyebabnya. Dalam ringkasan penelitiannya, dengan menggabungkan data pada lebih dari 180 negara, dia menunjukan bahwa ada dua faktor yang berhubungan dengan konflik agama: pembatasan agama dan kesenjangan sosial.
Mengambil data dari Pew Research Forum dan kajian yang lain, Marshal menjelaskan bahwa pembatasan agama berhubungan dengan kejadian konflik keagamaan. China adalah negara yang memiliki sangat banyak kasus pelarangan agama dan konflik keagamaan. Konflik ini timbul karena pemerintahan China melakukan pembatasan agama secara berlebihan. Hal ini berbeda dengan India, pemerintah membatasi pelarangan agama atas nama sekularisme, tetapi kesenjangan sosial mendorong ke arah konflik. Kasus-kasus semacam ini juga terjadi di Eropa dimana jurang kesejahteraan sosial berkembang cukup pesat.
Marshal juga mengungkapkan fenomena yang sama di negara yang melindungi kebebasan beragama seperti Afrika Selatan, Brasil dan yang lainnya. Bahwasanya, kebebasan beragama berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi dan perlindungan Hak asasi manusia. Dalam pertumbuhan ekonomi, kebebasan beragama memiliki hubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi, karena menurut Marshal agama mendorong peningkatan nilai penghematan, etika kerja, kejujuran dan keterbukaan pada asing. Hal itu berpengaruh pada perlindungan yang lebih besar terhadap hak asasi manusia, partisipasi wanita di pemerintahan dan kesetaraan pendapatan. Sedangkan membatasi kebebasan beragama berhubungan dengan meningkatnya jumlah korupsi.
Pada akhir presentasinya, Marshal juga berpendapat bahwa pembatasan pemerintah pada agama berhubungan dengan belanja militer, konflik bersenjata, kegagalan negara dan kekerasan agama. Untuk menguatkan argumennya, dia menunjukan data negara-negara pengekang yang mana agama memegang peranan penting di negara itu. Dia menyimpulkan bahwa agama yang dikontrol oleh pemerintah memiliki pengaruh yang negatif, dan kebebasan beragama memiliki pengaruh yang positif pada kerukunan sosial dan kemakmuran ekonomi. Contohnya adalah Indonesia, Malaysia dan Thailand. Dia juga menyimpulkan bahwa Muslim di negara yang memegang kebebasan beragama lebih taat dalam menjalani agamanya.
Setelah Marshal selesai menjelaskan topiknya, moderator membuka ruang dialog. Deva sebagai mahasiswi CRCS angkatan pertama memberikan ulasan tentang peraturan dan keterlibatannya dalam aktivitas keagamaan sebagai “Penyuluh Agama” yang merupakan pegawai negeri sipil di Kementerian Agama di Indonesia. Marshal menjelaskan bahwa akan sangat mudah mencapai kerukunan melalui kebebasan beragama, dan penelitian berlanjut diperlukan tentang bagaimana Kementrian Agama mengatur konflik di masyarakat.
Abdi yang juga mahasiswa pertama CRCS bertanya tentang negara yang telah sukses mengurangi konflik setelah kebebasan beragama. Marshal mendeskripsikan Turki, yang mana PDB (Produk Domestik Bruto) dari negara ini meningkat setelah kebebasan beragama, sebagaimana negara-negara yang memiliki sedikit sumber daya alam seperti Canada dan Australia. Ironisnya, seperti yang dia katakan, adalah China. China sedang mengalami pertumbuhan ekonomi tetapi tetap secara keseluruhan sangat miskin dan peraturan agama cenderung mengarah pada konflik. Marshal menutup diskusinya dengan menyatakan bahwa pemerintah tidak bisa membuat seseorang percaya pada apa yang tidak dipercayai oleh mereka. Karena agama adalah keyakinan, dan keyakinan yang murni harusnya bebas.
Batas waktu 11 April 2015
Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS) Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, membuka pendaftaran untuk:
Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) Ke-VI
Yogyakarta, 19 Mei – 31 Mei 2015
Sekolah Pengelolaan Keragaman mengundang aktifis dan pengajar/peneliti yang mempunyai komitmen untuk mengembangkan dan mengintegrasikan teori dan praktik terkait isu keragaman (dalam arti luasnya yang mencakup advokasi dan pembuatan kebijakan dalam masyarakat majemuk) dalam kerja/studi mereka. Setiap peserta diharapkan terlibat dalam kelompok penelitian mengenai isu-isu keragaman di daerah masing-masing setelah selesai mengikuti sekolah ini.
Kami menerima peserta dari:
Kesempatan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi S2 di Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS) dengan beasiswa dari CRCS kembali dibuka. Prodi ini merupakan salah satu Program Studi multi disiplin di Sekolah Pascasarjana UGM yang berdiri sejak tahun 2000 dan telah terakreditasi A dari BAN PT. Seperti tahun-tahun sebelumnya beasiswa ini akan diberikan untuk mahasiswa baru tahun ajaran 2013/2014. Persyaratan beasiswa meliputi:
- Telah terdaftar sebagai mahasiswa Prodi Agama dan Lintas Budaya, artinya pelamar telah lulus seleksi Administrasi, lulus tes wawancara dan telah dinyatakan di terima di UGM.
- Mengirimkan surat lamaran beasiswa yang menjelaskan alasan melamar beasiswa dan mengapa layak mendapatkan beasiswa tersebut. Surat lamaran ditujukan kepada Ketua Program Studi Agama dan Lintas Budaya.
- Tidak sedang menerima beasiswa dari suatu institusi.
- TEOFL minimal 475.
Untuk mengetahui informasi lebih lanjut tentang beasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya, dapat menghubungi Linah Khairiyah Pary di crcs@ugm.ac.id atau lina_pary@yahoo.com
Untuk mengetahui persyaratan administrasi kuliah S2 di UGM, silahkan buka www.um.ugm.ac.id