Luka sejarah tak lantas menyurutkan umat Konghucu untuk mengekspresikan religiusitasnya di ruang publik. Meski mengalami kemerosotan jumlah persentase umat, perjalanan agama Konghucu pasca-Orde Baru tidak sesuram proyeksi data itu
Tionghoa
Memulihkan Literasi Agama-Agama Tionghoa
Rezza Maulana – 12 Januari 2024
By breadth of reading and the ties of courtesy, a gentleman is kept, too, from false paths (Confucius)
Eksistensi dan kiprah masyarakat keturunan Tionghoa dalam derap sejarah Nusantara seakan tenggelam oleh stigma negatif yang menyelimutinya. Padahal, dinamika pemikiran dan pergulatan mereka ikut menyumbang batu bata dalam bangunan negeri yang bernama Indonesia ini. Salah satu penyebabnya ialah minimnya kajian yang bersumber dari sudut pandang masyarakat keturunan Tionghoa itu sendiri. Kebijakan asimilasi, represi, dan aksi amuk massa yang kerap menyasar komunitas keturunan Tionghoa ikut menyumbang hilangnya berbagai dokumen penting dan sumber sejarah. Untungnya, di samping koleksi pribadi atau perorangan, beberapa arsip sejarah yang tersimpan di klenteng atau rumah ibadah masih terselamatkan.
Sebuah Jalan untuk Pengakuan:
Negosiasi dan Rekognisi dalam Festival Cheng Ho
Refan Aditya – 19 Oktober 2023
Tambur ditabuh, gemuruh perkusi memenuhi Kelenteng Tay Kak Sie dan memecah langit pecinan Semarang 19 Agustus 2023. Orang-orang mulai memadati halaman kelenteng. Beberapa kelompok seni Tionghoa sudah bersiap sejak dini hari. Mereka akan mengarak arca (kong co) Laksamana Cheng Ho atau Sam Poo Tay Djien menuju Kelenteng Sam Poo Kong. Arak-arakan ini, yang juga disebut Kirab Sam Poo, merupakan rangkaian acara “Festival Cheng Ho 2023”. Kirab Sam Poo dirayakan setiap tanggal 29 bulan enam penanggalan Imlek sebagai peringatan ke-618 kedatangan Laksamana Cheng Ho ke Semarang.
Melintasi Sarang Naga di Bawah Angin:
Ragam Pecinan di Nusantara
Refan Aditya – 20 Maret 2023
Memori nasional tentang masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia sering kali dibayangi oleh pengalaman pahit yang mereka alami. Yang paling kentara ialah pelarangan perayaan adat Tionghoa di ruang publik dan pelucutan identitas ketionghoaan melalui kebijakan asimilasi paksa di era Orde Baru. Sentimen antikomunis serta kecemburuan sosial terhadap masyarakat keturunan Tionghoa juga menjadi bahan bakar stigma yang getarnya masih terasa sampai hari ini. Klimaksnya, di titik akhir kekuasaan Soeharto, masyarakat keturunan Tionghoa di berbagai kota menjadi korban anarkisme massa yang tak terperi. Namun, sejarah membuktikan, betapapun dalam luka itu, selalu ada rumah tempat trauma kolektif tersebut disulih menjadi daya; tempat harapan masih bisa dianggit bersama: pecinan.
Berpikir Ulang atas Eksistensi Masyarakat Keturunan Tionghoa di Lasem
Teresa Astrid Salsabila – 20 Januari 2023
“Mbak, memang orang Katolik gak boleh masuk kelenteng ya?”
Pertanyaan itu diutarakan oleh salah seorang pemandu lokal di Lasem kepada saya selepas mengikuti ekaristi. Bagi saya, pertanyaan itu malah menimbulkan pertanyaan lainnya. Bukan karena tidak tahu harus menjawab apa, melainkan mengapa pertanyaan itu muncul. Terlebih lagi pertanyaan itu hadir dari warga lokal Lasem yang terkenal dengan toleransi dan multikulturalismenya. Menjawab pertanyaan bapak itu tentu mudah, sebab memang saya tidak pernah menemukan larangan seperti itu dari Romo saya. Namun, pertanyaan dalam benak saya itu tak kunjung mendapatkan jawaban yang utuh hingga akhirnya kami meninggalkan kota tersebut untuk kembali ke Yogyakarta.
Meski sudah ratusan tahun hidup bersama, Tionghoa Kristen merupakan salah satu identitas masyarakat yang paling sering disalahpahami di Indonesia. Stereotip yang paling melekat—bahkan hingga hari ini—di antaranya eksklusif, punya hak istimewa dalam perekonomian, agen kristenisasi, bahkan diragukan nasionalismenya.