Islam dan Demokrasi Indonesia Setelah Pilkada DKI
Zainal Abidin Bagir – 30 April 2017
Siapa atau apakah yang menang dalam Pilkada DKI Jakarta yang baru usai? Perdebatan tentang berbagai alasan pro-Anies dan anti-Ahok sudah berlangsung selama beberapa bulan. Setelah Pilkada, berdasarkan hasil exit poll beberapa lembaga, kesimpulannya sulit dibantah: Faktor agama memainkan peran utama bagi kekalahan Ahok-Djarot. (Lihat grafik exit poll SMRC dan 3 lembaga lain di Tempo di bawah; dan dari Indikator Politik) Yang lebih impresif adalah kenyataan bahwa Ahok kalah meskipun, seperti ditunjukkan LSI dan Median, tingkat kepuasan warga Jakarta atas kepemimpinannya sangat tinggi!
Suka atau tidak, sentralnya isu agama telah meminggirkan debat-debat lebih penting tentang kebijakan perkotaan yang meskipun ada namun tak menonjol. Pilkada DKI 2017 memang berbeda dari beberapa pilkada, pemilu, dan pemilihan presiden sebelumnya, yang hampir selalu menunjukkan rendahnya faktor agama. Karena itulah beberapa media, khususnya media berbahasa Inggris, dengan cepat mengambil kesimpulan luas yang bukan saja menekankan faktor agama dalam Pilkada (misalnya “Christian governor ousted”, atau “Muslim candidate elected”), tapi lebih jauh lagi menyimpulkan bahwa “Indonesia makin konservatif”, bahkan kemenangan Anies-Sandi adalah “kemenangan prasangka atas pluralisme”.
Sejauh mana ketepatan klaim-klaim di atas? Imam Shamsi Ali (dan juga Yenni Wahid) mengkritik keras media yang menyebut bahwa kemenangan Anies-Sandi adalah kemenangan kelompok radikal. Baginya, ini adalah kemenangan demokrasi Indonesia; adanya sebagian kelompok Muslim “radikal” tak berarti kemenangan Anies adalah kemenangan radikalisme.
Benar juga bahwa sebagian pendukung Anies-Sandi berharap akan membantu penegakan syariat, dalam pemahaman spesifik mereka, namun keduanya tak menjanjikan itu. Bagi sebagian kelas bawah Muslim, agama mungkin sekadar menjadi ungkapan dari kekecewaan lebih nyata atas kebijakan-kebijakan Ahok (seperti yang diungkapkan Ian Wilson). Berdasarkan survei, tak sedikit (artinya banyak “Muslim biasa”) yang meyakini bahwa Ahok memang melakukan penodaan agama (meskipun mayoritas tak pernah mendengar ucapan Ahok), dan ini juga tidak selalu berarti mereka intoleran, namun ada konteks khusus yang tidak bisa diabaikan dalam hal ini.
Beragam makna kemenangan Anies-Sandi
Sebagaimana semua peristiwa politik, khususnya pemilihan umum, yang terjadi adalah koalisi saling memanfaatkan: ada kelompok-kelompok agama, politik, dan kepentingan ekonomi. Makna kemenangan ini bisa berbeda bagi Anies-Sandi, mantan capres Prabowo, Partai Gerindra dan PKS, konglomerat mitra Donald Trump di Indonesia, Hary Tanoesoedibjo, kelompok-kelompok yang menentang Ahok karena kebijakan penggusuran dan reklamasi, dan berbeda pula bagi kelompok-kelompok Muslim di atas.
Bagi yang terakhir, kemenangan Anies-Sandi telah menaikkan posisi tawar mereka dan meningkatkan kepercayaan diri yang luar biasa. Dalam Pemilihan Presiden 2004, 2009, 2014, dan Pilkada DKI 2012, Pemilu 2014, bahkan Pilkada DKI 2017 putaran pertama (!), semua tokoh yang didukung FPI tak pernah menang. Baru kali ini menang secara cukup meyakinkan.
Kalaupun klaim bahwa kemenangan Anies-Sandi adalah kemenangan radikalisme tak bisa diterima, yang lebih jelas adalah bahwa Pilkada DKI telah menjadi upaya scaling-up kelompok-kelompok seperti FPI, FUI, HTI dan GNPF-MUI yang berhasil. Yaitu upaya untuk menjadikan agenda-agenda mereka diterima lebih banyak Muslim hingga, harapannya, bisa diinstitusionalisasikan. Dalam Pilkada DKI, caranya adalah dengan melipatgandakan dosis argumen dan sentimen agama selama masa kampanye, jauh melampaui pilkada-pilkada lain, hingga ke tingkat yang belum pernah kita lihat. Merekalah yang mengkampanyekan untuk memilih gubernur Muslim sejak setahun silam, mengorganisasi rangkaian demonstrasi yang fenomenal untuk menjaga kemurnian Islam dari “penistaan” Ahok, memimpin gerakan doa dan salat berjamaah bertema anti-Ahok sebagai “pemimpin kafir”, lalu memasuki masjid-masjid di banyak wilayah Jakarta hingga, puncaknya, sempat muncul gerakan untuk tidak mensalatkan pendukung Ahok karena mereka adalah Muslim “munafik”.
Kepada merekalah (yang disebut khusus adalah nama Rizieq Shihab, Imam Besar FPI, dan Ustadz Sambo, ketua panitia Tamasya Al-Maidah) Prabowo menyampaikan ucapan terimakasih. Ketika Rizieq datang ke Istiqlal untuk syukuran kemenangan pada 19 April malam, di antara teriakan yang terdengar adalah “Islam menang”.
Tonggak pencapaian baru
Dilihat dalam rentang sejarah yang sedikit lebih jauh, gerakan “NKRI Bersyariah” ala FPI, khilafah ala HTI, atau ide-ide lain oleh kelompok-kelompok yang bersatu dalam Pilkada DKI itu, telah diupayakan melalui banyak jalur sejak Reformasi 1998. Di jalur hukum: memasukkan kembali “syariah” dalam proses Amandemen UUD 1945 yang tak terlalu berhasil; mempengaruhi pembentukan beberapa UU (seperti tampak dalam polarisasi UU Anti-Pronografi dan UU Sistem Pendidikan Nasional); pembuatan perda-perda keagamaan atau regulasi lebih rendah seperti SK Bupati dan Gubernur (untuk isu anti-maksiat, baca Qur’an, pakaian muslimah, dan sebagainya); upaya pemurnian agama melalui pengadilan (seperti ditunjukkan meningkatnya kasus-kasus pengadilan terkait “penodaan agama” setelah 1998); juga upaya mempengaruhi lembaga judisial tertinggi, Mahkamah Konstitusi (judicial review UU Pencegahan Penodaan Agama, UU Perkawinan, dan yang sedang berjalan kini adalah pasal terkait zina dalam KUHP yang ingin diperluas).
Di luar itu, FPI di Jakarta atau kelompok-kelompok vigilante lain di tingkat lebih lokal berupaya “memurnikan” ruang publik melalui kekerasan, pemaksaan penutupan tempat-tempat hiburan, atau penyerangan kelompok-kelompok “sesat”. Jalur lain adalah masuk dan menjadi bagian lembaga-lembaga keislaman yang lebih mainstream seperti MUI, bahkan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Sekolah-sekolah umum pun menjadi saluran strategis lain untuk “diislamkan”.
Tentu beragam peristiwa itu, yang dilakukan beragam kelompok, dengan strategi berbeda—mulai dari yang halus hingga kekerasan fisik—tak bisa disamakan. Namun yang terjadi dalam enam bulan terakhir ini adalah bahwa serangkaian Aksi Bela Islam hingga kampanye Pilkada DKI telah mempersatukan kelompok-kelompok itu, dengan partisipasi massif dari banyak wilayah, melampaui Jakarta.
Pamor organisasi yang lebih mapan seperti Muhammadiyah dan NU tampak kalah, anggotanya berhasil ditarik, bahkan beberapa tokoh Muslim moderat pun mendukung. Elite pemimpin gerakan itu, seperti Rizieq Shihab, Bachtiar Nasir, Zaitun Rasmin, dan banyak lainnya, telah berhasil menarik Presiden Jokowi untuk berbagi panggung dengan mereka pada aksi terbesar 2 Desember 2016; mereka masuk ke Istana untuk bertemu Wakil Presiden; tampil bersama beberapa Menteri, dan duduk bersama Kapolri dan Panglima TNI. Ini adalah tonggak baru pencapaian.
Persaingan, pemaksaan, dan politisasi
Yang dibahas di sini adalah keberhasilan scaling-up kelompok-kelompok Islam tersebut melalui arena Pilkada DKI. Mengenai aspirasi yang mereka perjuangkan, banyak yang dapat dikritik, tapi tidak semua dapat dengan serta-merta dianggap tidak layak untuk suatu negara demokrasi. Bahkan ide “NKRI Bersyariah”, misalnya, dijustifikasi Rizieq Shihab sebagai ide yang demokratis. Ia menunjukkan sebagian dari syariat yang sifatnya personal dan terkait hukum keluarga telah lama diakomodasi dalam negara Pancasila ini; yang diperjuangkannya adalah memperluas akomodasi itu, melalui mekanisme yang sesuai dengan peraturan Indonesia.
Demokrasi Indonesia menyediakan arena bagi aspirasi semua warga negara, termasuk kelompok-kelompok Muslim tertentu, yang bersaing dengan banyak aspirasi kelompok-kelompok Muslim lain dan beragam kelompok lain yang diidentifikasi dengan agama atau tidak. Jika batas-batas bagi aspirasi yang legitimate didefinisikan melalui, misalnya, empat pilar atau pondasi yang menopang Indonesia (NKRI, UUD 1945, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika), kenyataannya batas-batas itu terus ditafsirkan.
Sementara kontestasi penafsiran tak bisa dihindari, yang seharusnya dijaga di alam demokrasi adalah keamanan ruang deliberasi itu bagi semua warga dan tak ada dominasi oleh kelompok manapun. Namun kenyataannya, penafsiran itu bukan hanya berlangsung melalui argumentasi verbal, namun kerap dipaksakan dengan keras, kalau tidak brutal, melalui aksi-aksi vigilante (main hakim sendiri).
Dalam kasus dugaan penodaan agama yang dilakukan Gubernur DKI, dan menjadi titik sentral dinamika Pilkada DKI 2017, tuntutan penegakan hukum dilakukan dengan mobilisasi ratusan ribu (atau, sebagian mengklaim jutaan) orang. Dan setiap langkah proses itu diwarnai dengan beragam bentuk intimidasi. Aksi-aksi besar itu disebut “super damai”, dan bebas dari kerusuhan, namun tak kurang diwarnai siar kebencian. Harus diingat juga bahwa sebelum ini, penolakan Ahmadiyah, Syiah, dan Millah Abraham dilakukan bukan hanya dalam perdebatan publik dan mengikuti mekanisme hukum, tapi juga dengan pengusiran paksa ribuan orang, bahkan ada yang berakibat korban jiwa.
Di dunia media sosial yang sulit dikendalikan, batas-batas keadaban digerus dengan lebih keras. Ungkapan kebencian pada etnis Tionghoa dilakukan tanpa kendali, diwarnai ancaman “halal darahnya” dan makin lama tampak seperti makin ditoleransi. Di kalangan Muslim, ungkapan seperti “kafir” dan “munafik” dimaknai dan diterjemahkan dalam pernyataan verbal yang makin lama makin sempit.
Ini bukanlah persoalan teologis bahwa ungkapan yang memiliki dasar dalam Qur’an itu bisa dimaknai sedemikian atau tidak. Tetapi menyebut sesama warga negara dalam pergaulan sehari-hari sebagai “kafir” atau “munafik” adalah tindakan politik yang sekaligus menandai makin rendahnya batas keadaban dan toleransi. Ketika diterjemahkan menjadi penolakan mensalatkan jenazah pendukung kandidat gubernur, ini bukan soal akidah atau syariah, tapi politisasi agama secara oportunistik.
Mengatasi polarisasi
Sebagian dampak Pilkada DKI tak berhenti setelah pilkada usai. Wacana yang berkembang dalam beberapa bulan terakhir ini telah mengubah sikap keberagamaan sebagian masyarakat. Karenanya sulit diingkari bahwa Pilkada DKI bukan sekadar mencerminkan aspirasi masyarakat, tapi—melalui proses politisasi agama, mobilisasi, dan “pelintiran kebencian” (hate-spin)—telah mengubah keberagamaan masyarakat.
Keberhasilan politisasi agama secara masif bisa dibayangkan akan memotivasi pengulangannya di pilkada-pilkada dan pilpres berikutnya,. Penggunaan wacana “penodaan agama”, yang didasarkan pada UU yang sudah terbukti problematis dan menimbulkan banyak korban, mungkin akan lebih marak juga, karena ia makin terbukti efektif. Dampak lain yang belum banyak dibicarakan adalah aktifnya kembali laskar-laskar adat/agama lain di wilayah-wilayah di mana Muslim adalah minoritas, seperti di Manado dan Kupang. Jika tren ini didiamkan, integritas NKRI adalah taruhannya.
Dengan semua dampak ini, meskipun Pilkada berjalan sukses tanpa gugatan kecurangan, dan hasilnya diterima semua pihak, sulit merayakan keberhasilan itu dengan suka cita. Ini memang demokrasi, tapi dengan kualitas rendah, yang meninggalkan luka-luka serius.
Sementara persaingan antara beragam kelompok masyarakat adalah hal yang inheren dalam demokrasi, yang diharapkan dari negara adalah ketegasan untuk menjaga ruang kontestasi agar tak didominasi atau diwarnai intimidasi, bahkan kekerasan. Jika negara bersikap “netral” dalam hal ini, sesungguhnya ia telah berpihak pada kelompok-kelompok yang bersuara lebih nyaring dan berusaha mendominasi.
Perdebatan selanjutnya mesti masuk ke wilayah yang lebih teknis, mengenai instrumen-instrumen demokratis untuk menghindari polarisasi dan potensi disintegrasi itu. Bagi polisi, misalnya, tugas terbesar bukan sekadar mengamankan aksi-aksi massa, tapi juga mencegah tercemarnya ruang publik dengan hasutan dan ujaran kebencian yang makin marak dan bahkan sebagiannya telah diterjemahkan menjadi tindakan. Polisi telah memiliki instrumennya, dan tak perlu ragu-ragu menggunakannya, ketimbang bermain-main dengan tuduhan makar atau skandal seks untuk menjaga “keseimbangan” di antara pihak-pihak yang bertikai.
Pada akhirnya problem yang kita hadapi bukanlah masalah agama, yang sejak awal sejarah Indonesia telah memainkan peran penting dan menemukan saluran-saluran perjuangannya yang beradab. Persoalannya juga bukan semata masalah hukum. Tapi bagaimana membangun masyarakat beradab dan berkeadilan, agar demokrasi tetap bermakna.[]
_________________
Zainal Abidin Bagir adalah dosen di Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM.