Mustaghfiroh Rahayu* | CRCS | Artikel
Konflik bernuansa agama masih mewarnai Indonesia sejak awal era reformasi hingga saat ini. Beritanya masih sering kita baca, dengar dan lihat diberbagai media massa, dari mulai penyerangan masjid Ahmadiyah oleh massa di Tulungagung dan penyegelan mesjid Ahmadiyah di Bekasi oleh Pemda setempat; pengusiran warga Syi’ah dari kampungnya di Sampang, hingga kasus pendirian gereja dibeberapa tempat seperti GKI Taman Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelfia di Bekasi yang hingga kini belum menemukan jalan keluar.
Laporan-laporan terkait kehidupan beragama di Indonesia baik yang dikeluarkan oleh CRCS (laporan tahunan), the Wahid Institute, maupun Setara Institute menunjukkan bahwa kondisi keberagamaan di Indonesia semakin memprihatinkan. Pemerintah seringkali tidak dapat menyelesaikan permasalahan atau bahkan memperburuk keadaaan. Kondisi ini membuat aktivis-aktivis yang bergerak di bidang advokasi keragaman dan penyelesaian konflik keagamaan nyaris frustrasi.
Meski begitu, upaya mencari jalan keluar alternatif penyelesaian konflik keagamaan tetap dilakukan. Pada 28 Mei 2013 lalu, CRCS berinisiatif melakukan upaya itu dengan mengundang beberapa aktivis pluralisme untuk saling tukar pikiran dan pengalaman serta berefleksi bersama. Pertemuan ini diharapkan dapat mempercepat proses berpikir guna menemukan jalan keluar alternatif penyelesaian konflik keagamaan di Indonesia.
Model Penanganan Konflik Agama di Indonesia
Dalam diskusi ini dihadirkan pula Rizal Panggabean dari Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP), UGM. Ia memaparkan tiga model penanganan konflik keagamaan yang digunakan di Indonesia selama ini: pertama, penanganan berbasis kekuatan atau kekuasaan (power-based approach), yaitu pendekatan menggunakan represi, ancaman, dan intimidasi dalam penyelesaian konflik.
Model ini dominan digunakan pada masa Orde Baru dan juga juga masih diterapkan pada masa Reformasi terutama dalam konteks konflik horizontal. Paling tidak ada 3 hal yang memungkinkan praktik ini terus dilakukan: pertama, karena masyarakat kita belajar dari rejim otoriter mengenai penggunaan kekuatan/kekuasaan untuk menyelesaikan problem sosial,kedua, jurang yang lebar antara model penanganan berbasis kekuatan dan hak, dan yang ketiga,pendidikan kita yang lebih menekankan ketundukan dan kepatuhan kepada yang lebih berkuasa/berpengaruh, bukan berpikir kritis. Model penanganan ini tidak menyelesaikan masalah karena akar persoalannya tidak tersentuh.
Kedua, pendekatan berbasis hak melalui proses hukum di pengadilan (right-based approach). Penyelesaian persoalan melalui pendekatan ini menggunakan proses pengadilan yaitu mencari pelanggarnya, mengadili, dan memenjarakannya. Untuk itu dibutuhkan instumen perangkat hukum yang disepakati bersama, seperti UU, peraturan, konvensi kebijakan, kontrak, adat istiadat, dan lain-lain.
Model ini lebih banyak digunakan oleh para pegiat hak asasi manusia di era reformasi karena dianggap lebih baik dan lebih memberikan jaminan keadilan. Namun pendekatan ini memiliki sisi negatif karena dalam prosesnya dapat memperburuk relasi sosial; adanya yang menang dan kalah (logika win-lose) menjadikan relasi tidak setara. Model ini juga membutuhkan waktu lama dan kemungkinan ada kendala eksekusi. Model ini pun tidak menyelesaikan masalah. Pengalaman Indonesia menunjukkan, pendekatan hak ini memberi risiko adanya politik penyeimbang, di mana jika dari satu kelompok ada yang ditahan, maka dari kelompok lain pun harus diperlakukan demikian. Risiko lainnya, pendekatan ini dapat menjadi delusi dan simbolik karena menjadi kelanjutan pendekatan berbasis kekuatan.
Ketiga, pendekatan berbasis kepentingan atau interest-based approach, yang saat ini sedang diupayakan sebagai model penanganan alternatif dalam menyelesaikan konflik keberagaman di Indonesia. Dalam model ini, kewenangan paling besar ada di tangan pihak-pihak yang bertikai. Mereka sendiri yang menentukan model penyelesaian yang terbaik bagi mereka. Pendekatan ini lebih menjanjikan karena mengandaikan pihak yang berkonflik pada posisi setara, saling peduli dan mengakomodasi. Disamping itu model ini juga nirkekerasan, nirdominasi, nirdiskriminasi. Walaupun pendekatan ini belum menjadi arus utama dalam penanganan konflik agama di Indoensia, akan tetapi perlu terus diupayakan, dan model ini sebenarnya pernah dilakukan.
Contoh model penanganan konflik berbasis kepentingan bisa dilihat pada kasus penyerangan terhadap kelompok Syiah di Bangil dan MTA di Nganjuk. Proses mediasi terhadap dua kasus ini dianggap berhasil karena mampu meredam konflik yang berpotensi membesar. Keberhasilan ini ditentukan oleh munculnya suara-suara alternatif dan moderat dari dalam kedua kelompok yang bertikai tersebut yang mampu memecah konsentrasi wacana pertikaian.
Menurut Rizal, meskipun pendekatan berbasis kepentingan ini diyakini lebih humanis, bukan berarti model pendekatan lain harus ditinggalkan. Ia menegaskan, pendekatan terbaik untuk Indonesia ke depan adalah dengan menggunakan basis kepentingan sebagai azas dari semua penanganan konflik. Akan tetapi, selanjutnya mesti diikuti pendekatan berbasis hak yang menjamin semua warga negara memiliki hak yang sama di mata hukum. Terakhir, jika diperlukan, bisa digunakan pendekatan berbasis kekuatan, meskipun tetap dengan syarat bahwa negara memahami akan godaan penggunaan kekuatan ini.
Kegagalan pendekatan berbasis Hak
Sejak reformasi, gerakan masyarakat sipil pembela kebebasan beragama menekankan penggunaan pendekatan hak dalam menyelesaikan konflik agama. Upaya ini didukung oleh dunia internasional dengan berbagai laporan yang dikeluarkan seperti Human Rights Watch dan PEW Research Center. Kesepakatan dan Kovenan internasional menjadi instrumen penting untuk menilai yang menghasilkan jumlah pelanggaran, lengkap dengan aktor dan korban-korbannya. Namun, upaya ini belum juga menampakkan hasil. Kasus yang dibawa di Pengadilan belum memberikan jaminan keadilan, bahkan seringkali pihak korban justru yang dikorbankan. Kasus GKI Taman Yasmin adalah salah satu contoh pendekatan hak yang perlu dikaji kembali.
Gagalnya pendekatan berbasis hak di Indonesia disebabkan oleh dua hal, pertama, pendekatan ini adalah pendekatan baru setelah reformasi tetapi bukan bagian dari agenda Reformasi sehingga reformasi sistem hukum masih jauh ketinggalan. Kedua, pendekatan berbasis hak ini diajukan saat pendekatan berbasis kekuasan begitu kuat, sudah menjadi salah satu atau bahkan satu-satunya penyelesaian konflik di Indonesia.
Kalau menganalisa upaya-upaya penanganan berbasis hak dalam konflik agama di Indonesia, hampir di semua kasus, upaya ini tidak diajukan oleh korban konflik. Pilihan untuk menyelesaikan persoalan di pengadilan adalah saran negara. Ketika ada konflik, pihak yang terlibat (biasanya korban) ditahan, kemudian diadili. Hal ini terjadi karena proses ini dianggap lebih cepat meredam eskalasi konflik sekaligus untuk mengukuhkan kekuasaan negara. Dalam kasus GKI Taman Yasmin misalnya, jemaat gereja ini pada dasarnya enggan menyelesaikan persoalannya melalui jalur hukum. Akan tetapi, negara hadir dan memaksa penyelesaiannya lewat hukum. Dalam hal ini, belajar dari pengalaman penanganan konflik beragama di Indoensia, para korban sebenarnya cenderung untuk tidak menyelesaikan persoalannya di ranah hukum, namun negara “memaksa” mereka untuk masuk wilayah hukum (right-based approach) untuk mendukung pendekatan kekuatan/kekuasaan (power-based approach).
Mekanisme Putar Balik
Dalam kondisi yang seperti ini, bagaimana cara mengembangkan penanganan konflik berbasis kepentingan di Indonesia? Rizal menawarkan apa yang disebut dengan mekanisme transformasi dan loop back (putar balik). Pendekatan kekuatan saat ini mendominasi cara penanganan konflik keagamaan di Indonesia, namun perlahan-lahan diarahkan menuju penanganan berbasis hak, pada akhirnya diupayakan agar penanganan berbasis kepentingan sebagai jalan keluar. Baru setelah itu, dapat dipraktikkan spektrum yang sebaliknya: dari interest-based approach to right-based approach to power-based approach.
Namun harus diingat, kepentingan yang dimaksud bukan hanya kepentingan kelompok minoritas yang seringkali menjadi korban, akan tetapi juga kepentingan kelompok mayoritas. Pendekatan penanganan konflik berbasis kepentingan mengasumsikan bahwa pihak-pihak yang berkonflik ini punya kepentingan. Mereka bukan korban, mereka adalah pihak yang berkonflik, karena itu wajib dilibatkan dalam proses mewujudkan perdamaian.
Yang perlu digarisbawahi dari diskusi ini adalah jika disepakati bahwa interest-based approach adalah sebuah alternatif, maka juga diakui bahwa interest (kepentingan) itu juga milik mayoritas. Bagaimana mengakomodasi hal ini dan sejauh mana kepentingan mayoritas ini memengaruhi jalannya penanganan konflik? Diskusi mengenai hal terakhir ini diagendakan dibahas pada pertemuan lanjutan yang akan dilaksanakan oleh Institut Titian Perdamaian, Jakarta. (Njm/Bud)
*Penulis adalah mahasiswa S3 di University for Humanistics, Utrecht, Belanda