Kendati lebih dari 90% responden di Indonesia mengatakan bahwa agama merupakan faktor penting bagi kebahagiaan mereka, agama bukanlah jawaban utama ketika mereka mengalami gangguan kesehatan mental.
Event report
Ketika terdesak oleh bencana yang sudah lugas di depan mata, masihkah faktor identitas sosial, politik, dan keagamaan menjadi penting? Apakah pertanyaan itu tidak lagi penting karena perbedaan sudah dilebur demi alasan kemanusiaan dan penderitaan bersama? Jangan-jangan, hilangnya pertanyaan itu justru adalah tanda marginalisasi terselubung yang justru makin tajam karena desakan keterbatasan sumber daya?
Agama dan spiritualitas seolah menjadi dua entitas yang berbeda. Di tengah zaman yang kian berpacu dan berkelindan, dinamika interaksi keduanya menjadi kunci untuk memahami hubungan antaragama di masa depan.
Pengalaman transendental nun di atas langit seringkali tidak bisa kita gapai dengan intelektual. Di sinilah humor bekerja. Dengan humor, agama yang adiluhung nan surgawi bisa menjadi sangat manusiawi dan membumi.
Memulihkan Literasi Agama-Agama Tionghoa
Rezza Maulana – 12 Januari 2024
By breadth of reading and the ties of courtesy, a gentleman is kept, too, from false paths (Confucius)
Eksistensi dan kiprah masyarakat keturunan Tionghoa dalam derap sejarah Nusantara seakan tenggelam oleh stigma negatif yang menyelimutinya. Padahal, dinamika pemikiran dan pergulatan mereka ikut menyumbang batu bata dalam bangunan negeri yang bernama Indonesia ini. Salah satu penyebabnya ialah minimnya kajian yang bersumber dari sudut pandang masyarakat keturunan Tionghoa itu sendiri. Kebijakan asimilasi, represi, dan aksi amuk massa yang kerap menyasar komunitas keturunan Tionghoa ikut menyumbang hilangnya berbagai dokumen penting dan sumber sejarah. Untungnya, di samping koleksi pribadi atau perorangan, beberapa arsip sejarah yang tersimpan di klenteng atau rumah ibadah masih terselamatkan.
Menuntut Keadilan Lingkungan Antargenerasi Melalui Konstitusionalisme Iklim
Rezza P. Setiawan – 8 November 2023
Hak Asasi Manusia tidak hanya dimiliki oleh generasi manusia yang hidup di hari ini, tetapi juga generasi yang akan datang. Salah satunya akses terhadap lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Istilah ‘konstitusionalisme iklim’ (Climate Constitutionalism) dibawa oleh Dr. Herlambang Perdana Wiratraman dalam diskusi pleno ketiga pada acara The 6th International Conference for Human Rights yang diadakan (26/10) di Fisipol UGM. Dalam presentasi berjudul “Climate Constitutionalism: A Search for Eco Social Justice in Indonesia’s Autocratic Legalism”, Dosen Hukum Tata Negara UGM ini menjabarkan konstitusionalisme iklim sebagai kerangka untuk memahami secara kritis hubungan tidak terpisahkan antara iklim dan hukum. Singkatnya, kerangka pikir ini menelisik apakah sistem hukum yang ada berpihak pada perusakan atau restorasi lingkungan. Konstitusionalisme iklim ini juga menjadi jembatan hukum untuk pemenuhan hak asasi manusia Indonesia, baik generasi saat ini maupun yang akan datang, atas lingkungan hidup. Lebih lanjut, Wiratraman juga menyoroti secara kritis narasi “politik hijau” yang ditawarkan kapitalisme global sebagai ancaman terhadap pemenuhan hak asasi antargenerasi.