• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Artikel
  • Membaca Persepsi Jurnalis terhadap Agama (Islam)

Membaca Persepsi Jurnalis terhadap Agama (Islam)

  • Artikel
  • 13 May 2013, 00.00
  • Oleh:
  • 0

Suhadi Cholil* | CRCS | Artikel

Suhadi di diskusi pantauKebebasan pers di era Reformasi walaupun jauh lebih terbuka dibanding pada masa Orde Baru, namun, meminjam istilah Endy Bayuni, dalam bidang jurnalisme agama para jurnalis masih sulit memanfaatkan kebebasan ini untuk menyokong kesetaraan hak sipil warga. Hal ini terlihat dari hasil survei yang dilakukan Yayasan Pantau mengenai persepsi wartawan Indonesia terhadap Islam tahun 2012. Survei  yang dilakukan terhadap 600 wartawan di 16 propinsi ini memperlihatkan tingginya kecenderungan wartawan Indonesia yang mengidentifikasi diri sebagai Islam dari pada sebagai Indonesia. Identifikasi ini berimplikasi pada kentalnya bias wartawan ketika memberitakan kekerasan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Ini terlihat dari penggunaan kata-kata yang cenderung menghakimi seperti: “sesat”, “harus ditobatkan”, dan lain-lain. Bias ini menurut saya timbul karena jurnalis sulit  membedakan antara arena keberagamaan personalnya dengan arena profesinya sebagai jurnalis. Tulisan ini akan mencermati lebih jauh beberapa temuan, tidak semuanya karena keterbatasan ruang, dari hasil survei Yayasan Pantau tersebut.

 

Antara objektivitas dan religiositas

 

Manusia, termasuk jurnalis, merupakan sosok yang multi-dimensi dan komplek. Sedangkan  jurnalisme dan agama merupakan  dua field atau arena (Bordieu 1992) yang berbeda. Seperti ditunjukkan oleh survei Pantau, pada umumnya jurnalis Indonesia sulit membedakan dua arena tersebut. Ini terlihat dari:  pertama, tingginya prosentase wartawan  yang mengidentifikasi diri sebagai “Muslim relijius” (50,6%  di tahun 2009 dan 43,3%  di tahun 2012). Kedua, dari jawaban terhadap pertanyaan, “di atas segalanya, saya adalah …”. Sebanyak 41,5% menjawab Islam, 38 % menjawab Indonesia, dan hanya 11,8% yang menjawab sebagai wartawan. Ketiga, tingginya jumlah responden (66,5%) yang setuju bahwa  tugas wartawan  antara lain adalah “melindungi tradisi Islam”. Selain itu kuatnya identias keislaman responden ditunjukkan oleh kedekatan mereka (58,7%) pada dua ormas Islam arus utama di Indonesia yaitu NU (42,1%) dan Muhammadiyah (16,6%).

 

Situasi yang mungkin sangat menyulitkan  sehingga terjadi mixing arena atau dominasi arena agama atas arena jurnalisme terlihat dari: pertama, tingginya dukungan  jurnalis terhadap UU No. 1/PNPS/1965 tentang pencegahan, penyalahgunaan, dan penodaan agama (76,5%) . Kedua,  tingginya dukungan terhadap Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Ahmadiyah (56%).  Ketiga, tingginya dukungan terhadap fatwa MUI 2005 tentang pelarangan terhadap Ahmadiyah (59%).

 

Pantau dalam pengantar laporannya menyebutkan bahwa situasi ini memengaruhi wartawan dalam menjalankan tugasnya, dengan kata lain “kurangnya profesionalitas” jurnalis dalam peliputan kasus-kasus keagamaan. Pertanyaannya kemudian, apakah situasi ini dapat diselesaikan dengan penguatan knowledge sector atau tidak, karena sifatnya yang ideologis?  Saya cenderung melihat akar permasalahannya adalah mixing arena,  sehingga situasi ini bisa dipecahkan dengan mempertimbangkan poin dibawah ini.

 

Agama dalam ranah sivik

 

Dari sisi afiliasi media, pada umumnya para jurnalis dalam survei Pantau merupakan media publik dan bukan media komunitas keagamaan, sehingga penting untuk mempertimbangkan perspektif sivik (baca: pluralisme sivik).  Dalam perspektif ini anggota-anggota komunitas agama dilihat sebagai warga suatu negara demokratis yang setara dalam hak dan kewajibannya, sehingga keragaman sistem nilai perlu diakui masyarakat maupun negara, dan mesti dijaga agar tak diseragamkan atau dikurangi (Bagir, dkk. 2011).  Sebagai wujud pengakuan itu maka ruang bagi warga negara untuk mengekspresikan dirinya harus dihormati dan dilindungi.

 

Perspektif  pluralisme sivik tidak  mensyaratkan pemisahan antara agama dan negara karena  dipandang tak realistis baik di Indonesia maupun di banyak negara sekuler sekalipun. Tetapi negara juga tak seharusnya mengambil-alih otoritas keagamaan dengan menentukan apa yang dianggap terbaik bagi suatu komunitas agama. Peran negara adalah menjaga ruang publik untuk tetap aman, bebas dari intimidasi, dan tidak didominasi kelompok tertentu. Dalam ruang publik yang aman, deliberasi antar kelompok masyarakat yang beragam dapat dilakukan dengan baik, dan menjadi sarana partisipasi demokratis. Karena itu, kompetensi sivik, yang diperlukan untuk partisipasi itu, juga mesti dikembangkan (Bagir, dkk. 2011). Pertanyaannya kemudian,  apakah dunia pers Indonesia sungguh-sungguh berani mengambil posisi ini dalam meliput peristiwa keagamaan? Jika melihat hasil survei Pantau, jawabannya tidak. Ini terlihat dari tingginya persetujuan jurnalis terhadap penerapan syariat Islam (45,3 %).

 

Walaupun dari segi kognisi penyusunan pertanyaan survei mengenai syariat Islam masih menyisakan masalah, yakni bisa jadi persepsi terhadap syariat Islam antara penyusun survei dan responden berbeda, namun  temuan bagian ini dapat menjadi pintu masuk dalam membicarakan nilai-nilai sivik sehingga dominasi pandangan keagamaan tertentu dalam ruang publik dapat diminimalisir. Maka penguatan knowledge sector bagi jurnalis dalam bidang ini menjadi penting. 

 

Melihat Juga perusahaan Pers   

 

Saya melihat ada satu elemen penting yang diabaikan dalam survei Pantau, yakni perusahaan pers yang berada di belakang jurnalis, sehingga sebagian pertanyaan dalam survei sebaiknya tidak hanya ditujukan pada jurnalis tetapi juga pada perusahaan pers. Dalam pemberitaan isu-isu sensitif keagamaan ada kecenderungan  sebagian perusahaan pers untuk menghindar dari tekanan otoritas keagamaan. Sehingga ketika jurnalis memberitakan secara tepat dengan mengedepankan prinsip objektivitas dan kesetaraan umat beragama, belum tentu apa yang mereka tulis disetujui oleh perusahaan pers. Acapkali jika terjadi berbedaan antara pandangan jurnalis dengan perusahaan pers,  yang menang adalah suara perusahaan pers. Jadi, apakah jurnalis dapat bersikap independen dalam memproduksi “kebenaran” (Kovach & Rosenstiel 2012) berhadapan dengan konglomerasi  perusahaan pers?

 

Walaupun dalam beberapa poin yang cukup penting survei ini masih perlu dikritisi namun penelitian ini perlu diapresiasi. Penelitian yang dilakukan oleh lembaga pers untuk dunia pers ini memiliki posisi penting mengenai situasi kekinian literasi jurnalis dalam isu-isu keagamaan. Sehingga pemberdayaan jurnalis seharusnya mendasarkan diri pada hasil penelitian empiris seperti ini. Literasi isu-isu keagamaan yang kompleks diharapkan akan memperkuat dunia pers Indonesia, khususnya dalam mengembangkan diskursus relasi antar agama yang tidak diskriminatif, menjunjung tinggi nilai-nilai sivik, dan kebebasan beragama tanpa harus terjebak phobia terhadap identitas agama di ruang publik [njm].

 

Suhadi 

Suhadi Cholil adalah dosen di Prodi Agama dan Lintas Budaya (CRCS),

Sekolah Pascasarjana UGM. 

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
K O S M O P O L I S Kosmo bermakna semesta, sement K O S M O P O L I S
Kosmo bermakna semesta, sementara polis itu mengacu pada kota yang seupil. Sungguh istilah oksimoron dengan daya khayal maksimal. Namun, nyatanya, yang kosmopolis itu sudah hadir sejak dulu dan Nusantara adalah salah satu persimpangan kosmopolis paling ramai sejagad. Salah satu jejaknya ialah keberadaan Makco di tanah air. Ia bukan sekadar dewa samudra, melainkan kakak perempuan yang mengayomi saudara-saudara jauhnya. Tak heran, ketika sang kakak berpesta, saudara-saudara jauh itu ikut melebur dan berdendang dalam irama kosmopolis. Seperti di Lasem beberapa waktu silam, Yalal Wathon dinyanyikan secara koor oleh masyarakat keturunan tionghoa dan para santri dengan iringan musik barongsai. Klop!

Simak ulasan @seratrefan tentang makco di situs web crcs!
At first glance, religious conversion seems like a At first glance, religious conversion seems like a one-way process: a person converts to a new religion, leaving his old religion. In fact, what changes is not only the person, but also the religion itself. The wider the spread of religion from its place of origin, the more diverse the face of religion becomes. In fact, it often gives birth to variants of local religious expressions or even "new" religions. On the other hand, the Puritan movement emerged that wanted to curb and eradicate this phenomenon. But everywhere there has been a reflux, when people became disaffected with Puritan preachers and tried to return to what they believed their religion was before.

Come and join the #wednesdayforum discussion  at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju