Suhadi Cholil* | CRCS | Artikel
Kebebasan pers di era Reformasi walaupun jauh lebih terbuka dibanding pada masa Orde Baru, namun, meminjam istilah Endy Bayuni, dalam bidang jurnalisme agama para jurnalis masih sulit memanfaatkan kebebasan ini untuk menyokong kesetaraan hak sipil warga. Hal ini terlihat dari hasil survei yang dilakukan Yayasan Pantau mengenai persepsi wartawan Indonesia terhadap Islam tahun 2012. Survei yang dilakukan terhadap 600 wartawan di 16 propinsi ini memperlihatkan tingginya kecenderungan wartawan Indonesia yang mengidentifikasi diri sebagai Islam dari pada sebagai Indonesia. Identifikasi ini berimplikasi pada kentalnya bias wartawan ketika memberitakan kekerasan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Ini terlihat dari penggunaan kata-kata yang cenderung menghakimi seperti: “sesat”, “harus ditobatkan”, dan lain-lain. Bias ini menurut saya timbul karena jurnalis sulit membedakan antara arena keberagamaan personalnya dengan arena profesinya sebagai jurnalis. Tulisan ini akan mencermati lebih jauh beberapa temuan, tidak semuanya karena keterbatasan ruang, dari hasil survei Yayasan Pantau tersebut.
Antara objektivitas dan religiositas
Manusia, termasuk jurnalis, merupakan sosok yang multi-dimensi dan komplek. Sedangkan jurnalisme dan agama merupakan dua field atau arena (Bordieu 1992) yang berbeda. Seperti ditunjukkan oleh survei Pantau, pada umumnya jurnalis Indonesia sulit membedakan dua arena tersebut. Ini terlihat dari: pertama, tingginya prosentase wartawan yang mengidentifikasi diri sebagai “Muslim relijius” (50,6% di tahun 2009 dan 43,3% di tahun 2012). Kedua, dari jawaban terhadap pertanyaan, “di atas segalanya, saya adalah …”. Sebanyak 41,5% menjawab Islam, 38 % menjawab Indonesia, dan hanya 11,8% yang menjawab sebagai wartawan. Ketiga, tingginya jumlah responden (66,5%) yang setuju bahwa tugas wartawan antara lain adalah “melindungi tradisi Islam”. Selain itu kuatnya identias keislaman responden ditunjukkan oleh kedekatan mereka (58,7%) pada dua ormas Islam arus utama di Indonesia yaitu NU (42,1%) dan Muhammadiyah (16,6%).
Situasi yang mungkin sangat menyulitkan sehingga terjadi mixing arena atau dominasi arena agama atas arena jurnalisme terlihat dari: pertama, tingginya dukungan jurnalis terhadap UU No. 1/PNPS/1965 tentang pencegahan, penyalahgunaan, dan penodaan agama (76,5%) . Kedua, tingginya dukungan terhadap Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Ahmadiyah (56%). Ketiga, tingginya dukungan terhadap fatwa MUI 2005 tentang pelarangan terhadap Ahmadiyah (59%).
Pantau dalam pengantar laporannya menyebutkan bahwa situasi ini memengaruhi wartawan dalam menjalankan tugasnya, dengan kata lain “kurangnya profesionalitas” jurnalis dalam peliputan kasus-kasus keagamaan. Pertanyaannya kemudian, apakah situasi ini dapat diselesaikan dengan penguatan knowledge sector atau tidak, karena sifatnya yang ideologis? Saya cenderung melihat akar permasalahannya adalah mixing arena, sehingga situasi ini bisa dipecahkan dengan mempertimbangkan poin dibawah ini.
Agama dalam ranah sivik
Dari sisi afiliasi media, pada umumnya para jurnalis dalam survei Pantau merupakan media publik dan bukan media komunitas keagamaan, sehingga penting untuk mempertimbangkan perspektif sivik (baca: pluralisme sivik). Dalam perspektif ini anggota-anggota komunitas agama dilihat sebagai warga suatu negara demokratis yang setara dalam hak dan kewajibannya, sehingga keragaman sistem nilai perlu diakui masyarakat maupun negara, dan mesti dijaga agar tak diseragamkan atau dikurangi (Bagir, dkk. 2011). Sebagai wujud pengakuan itu maka ruang bagi warga negara untuk mengekspresikan dirinya harus dihormati dan dilindungi.
Perspektif pluralisme sivik tidak mensyaratkan pemisahan antara agama dan negara karena dipandang tak realistis baik di Indonesia maupun di banyak negara sekuler sekalipun. Tetapi negara juga tak seharusnya mengambil-alih otoritas keagamaan dengan menentukan apa yang dianggap terbaik bagi suatu komunitas agama. Peran negara adalah menjaga ruang publik untuk tetap aman, bebas dari intimidasi, dan tidak didominasi kelompok tertentu. Dalam ruang publik yang aman, deliberasi antar kelompok masyarakat yang beragam dapat dilakukan dengan baik, dan menjadi sarana partisipasi demokratis. Karena itu, kompetensi sivik, yang diperlukan untuk partisipasi itu, juga mesti dikembangkan (Bagir, dkk. 2011). Pertanyaannya kemudian, apakah dunia pers Indonesia sungguh-sungguh berani mengambil posisi ini dalam meliput peristiwa keagamaan? Jika melihat hasil survei Pantau, jawabannya tidak. Ini terlihat dari tingginya persetujuan jurnalis terhadap penerapan syariat Islam (45,3 %).
Walaupun dari segi kognisi penyusunan pertanyaan survei mengenai syariat Islam masih menyisakan masalah, yakni bisa jadi persepsi terhadap syariat Islam antara penyusun survei dan responden berbeda, namun temuan bagian ini dapat menjadi pintu masuk dalam membicarakan nilai-nilai sivik sehingga dominasi pandangan keagamaan tertentu dalam ruang publik dapat diminimalisir. Maka penguatan knowledge sector bagi jurnalis dalam bidang ini menjadi penting.
Melihat Juga perusahaan Pers
Saya melihat ada satu elemen penting yang diabaikan dalam survei Pantau, yakni perusahaan pers yang berada di belakang jurnalis, sehingga sebagian pertanyaan dalam survei sebaiknya tidak hanya ditujukan pada jurnalis tetapi juga pada perusahaan pers. Dalam pemberitaan isu-isu sensitif keagamaan ada kecenderungan sebagian perusahaan pers untuk menghindar dari tekanan otoritas keagamaan. Sehingga ketika jurnalis memberitakan secara tepat dengan mengedepankan prinsip objektivitas dan kesetaraan umat beragama, belum tentu apa yang mereka tulis disetujui oleh perusahaan pers. Acapkali jika terjadi berbedaan antara pandangan jurnalis dengan perusahaan pers, yang menang adalah suara perusahaan pers. Jadi, apakah jurnalis dapat bersikap independen dalam memproduksi “kebenaran” (Kovach & Rosenstiel 2012) berhadapan dengan konglomerasi perusahaan pers?
Walaupun dalam beberapa poin yang cukup penting survei ini masih perlu dikritisi namun penelitian ini perlu diapresiasi. Penelitian yang dilakukan oleh lembaga pers untuk dunia pers ini memiliki posisi penting mengenai situasi kekinian literasi jurnalis dalam isu-isu keagamaan. Sehingga pemberdayaan jurnalis seharusnya mendasarkan diri pada hasil penelitian empiris seperti ini. Literasi isu-isu keagamaan yang kompleks diharapkan akan memperkuat dunia pers Indonesia, khususnya dalam mengembangkan diskursus relasi antar agama yang tidak diskriminatif, menjunjung tinggi nilai-nilai sivik, dan kebebasan beragama tanpa harus terjebak phobia terhadap identitas agama di ruang publik [njm].
Suhadi Cholil adalah dosen di Prodi Agama dan Lintas Budaya (CRCS),
Sekolah Pascasarjana UGM.