Oleh: Dr. Arqom Kuswanjono (Wakil Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada)
Pancasila merupakan konsensus politik the founding fathers Indonesia ketika merumuskan dasar negara. Pluralisme dan multikulturalisme menjadi frame besar yang membingkai pemikiran mereka. Hal ini terlihat jelas pada usulan “kebangsaan/nasionalisme” sebagai sila pertama Pancasila yang dikemukakan oleh tiga tokoh besar dalam Sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yaitu Muhammad Yamin, Soepomo dan Soekarno. Bukan sesuatu yang kebetulan, tetapi beranjak dari refleksi atas realitas keragaman bangsa Indonesia.
Pancasila secara etimologis berarti lima dasar, yaitu 1). Ketuhanan Yang Maha Esa; 2). Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; 3). Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan; 5). Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Dalam buku Risalah BPUPKI dijelaskan bahwa Soekarno pun tidak ‘mensakralkan’ konsep Pancasila yang dirumuskannya. Bahkan ia mengatakan kalau ada yang tidak suka dengan bilangan 5 (lima) bisa diperas menjadi 3 (tiga) dengan nama Trisila, dan dapat pula diperas menjadi 1 (satu) sila dengan nama Eka Sila. Bagi Soekarno, hal yang jauh lebih penting dari sekedar bilangan-bilangan itu adalah terbentuknya dasar negara yang mewadahi dan mempersatukan seluruh keragaman bangsa Indonesia. Ketika ditanya mengapa Ketuhanan tidak dijadikan sebagai sila pertama, Soekarno menjawab bahwa kalau pun tidak ada sila ketuhanan dalam Pancasila, toh semua orang Indonesia sudah beragama. Agama, dalam arti kepenganutan agama, tidak menjadi persoalan untuk negara ini. Namun, keberadaan berbagai agamalah yang harus diwadahi dan disatukan.
Di era Presiden Soeharto, Pancasila semakin memiliki posisi yang kuat sebagai konsensus politik dan dijadikan konsensus moral. Artinya, Pancasila tidak hanya sebagai dasar negara, tetapi diangkat sebagai pandangan hidup, jiwa, kepribadian serta dasar moralitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini ditegaskan melalui penetapan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 1978. Seluruh warganegara wajib mengikuti Penataran P4 ini baik melalui jalur pendidikan maupun struktural.
Seiring dengan kejatuhan Soeharto, P4 turut dihapuskan karena dinilai menyimpang dari tujuan awal (menanamkan nilai-nilai Pancasila) menjadi alat politik penguasa. Beberapa tahun belakangan, wacana Pancasila cenderung bergulir ke arah ilmiah. Ada yang menempatkannya sebagai objek material yang dikaji dari perspektif beragam ilmu, adapula yang memposisikannya sebagai objek formal (pisau analisis untuk melihat persoalan). Tulisan ini mencoba menelisik Pancasila sebagai perspektif dalam melihat pluralisme agama.
Pluralisme adalah fenonema yang sangat lekat dengan Indonesia. Enam agama resmi negara (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu) dan lebih dari 150 aliran kepercayaan, cukup menjadi bukti bahwa Indonesia termasuk salah satu negara pluralis terbesar di dunia. Pluralitas bisa menjadi potensi, namun dapat pula menjadi problem. Dalam konteks inilah pluralisme diperlukan untuk mengelola keragaman itu.
Harus dipahami bahwa satu pandangan pluralisme tidak dapat mewakili, menggambarkan dan memberi solusi terhadap seluruh kenyataan manusia di dunia ini. Para tokoh pluralisme menyadari berbagai varian dalam pluralisme itu sendiri.
Pluralisme Pancasila adalah dirkursus menarik yang perlu dipikirkan secara filosofis. Sejauh penelusuran saya, Pluralisme Pancasila telah lama hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Pela Gandong (aturan adat di Ambon), misalnya, mengandung ajaran toleransi yang sangat tinggi. Apabila masyarakat Kristen memiliki hajat maka orang Islam yang menjadi panitia, demikian pula sebaliknya. Hanya saja, tradisi-tradisi bermuatan nilai pluralisme ini belum banyak diangkat oleh para ilmuan yang konsen dengan Pancasila.
Secara garis besar, Pluralisme Pancasila didasarkan pada konsep Tuhan yang Satu, Kemanusiaan, Persatuan/kebangsaan, Demokrasi dan Keadilan. Secara filosofis kelima sila ini dapat klasifikasikan sebagai berikut: sila 1 merupakan dasar ontologis pluralisme, sila 2,3,4 sebagai dasar epistemologis dan sila 5 menjadi dasar aksiologis.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengafirmasi konsep ketuhanan seluruh agama yang ada di Indonesia. Dari segi eksoterik, pemahaman manusia tentang Tuhan sangat beragam. Namun secara esoterik Tuhan itu satu. Ungkapan terkenal yang menyiratkan hal ini adalah Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hanna Dharma Mangrua (berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada pengabdian yang mendua, artinya berbeda-beda jalan, namun sesungguhnya semua menuju pada Tuhan yang satu.)
Dasar ontologis di atas menjadi pijakan bagi landasan epistemologis Pluralisme Pancasila yaitu kemanusiaan, persatuan dan kerakyatan. Pluralisme harus didasarkan pada pemahaman kolektif bahwa semua manusia memilki hak yang sama dan harus diperlakukan secara adil dan beradab. Konsep pluralisme perlu ditarik dari dimensi teologis menuju dimensi sosial-kemanusiaan.
Husserl mengatakan, “selera itu tidak dapat diperdebatkan”. Demikian pula dengan agama, yang lebih dari sekedar selera. Agama yang masuk ke ranah keyakinan, sangat bias jika diperdebatkan. Wilayah pemahaman teologis bersifat privat, sehingga setiap orang harus saling menghormati baik dalam posisinya sebagai individu spiritual maupun sebagai bagian suatu bangsa. Konsep demokrasi beragama di Indonesia diatur dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 29, dimana negara menjamin setiap warganya untuk memeluk dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
Landasan aksiologis Pluralisme Pancasila adalah nilai ‘keadilan’ (sila ke-5). Negara harus dapat menjamin keadilan di segala bidang kehidupan agar kerukunan antarumat beragama dapat diwujudkan. Beragam kasus konflik antarumat beragama salah satu disebabkan oleh masalah keadilan, baik keadilan hukum, ekonomi, politik, sosial dan lain-lain. Secara distributif negara harus memperlakukan setiap pemeluk agama secara adil. Secara legalis, setiap pemeluk agama wajib taat dengan aturan yang dibuat oleh negara, dan secara komutatif antar pemeluk agama satu dengan yang lain harus membangun rasa keadilan secara bersama-sama. Notonagoro mengatakan bahwa nilai-nilai Pancasila merupakan ‘kesatuan organis’ (tidak dapat dipisahkan satu sila dengan yang lain). Maka dalam pluralisme Pancasila, kelima sila dengan ketiga dasar filosofisnya harus dilaksanakan dalam satu napas yang bersamaan.