Judul: TUTUP LAYANG (Manifestasi Kebersamaan Masyarakat Brondong, Lamongan, Jawa Timur)
Penulis: Budi Ashari (CRCS, 2006)
Kata-kata Kunci : Pluralitas, Brondong, Tutup Layang, organisasi keagamaan, kebersamaan, harmoni sosial, dan ideologi disembunyikan.
Abstrak:
Penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan bahwa pluralitas pemahaman keagamaan dalam sebuah masyarakat tidak selalu melahirkan konflik atau ketegangan. Perbedaan dapat juga melahirkan saling pengertian dan pemahaman yang tercermin dalam sebuah ritual Tutup Layang di kelurahan Brondong. Multikulturalitas dan pluralitas dapat menumbuhkan sikap toleran dan kebersamaan dalam masyarakat. Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana konteks masyarakat Brondong? Bagaimana pula sejarah dan proses ritual Tutup Layang? dan Mengapa ritual tersebut mampu memanifestasikan kebersamaan mesyarakat? Permasalahan pokok penelitian adalah mengapa dalam sebuah masyarakat yang memiliki banyak organisasi keagamaan berbeda-beda tetapi dapat menciptakan suasana harmonis, toleran, saling kerjasama, dan tidak terlalu menghiraukan perbedaan ideologis? Kerangka teori penelitian ini menggunakan teori Andrew Beatty tentang slametan di Bayu. Slametan menjadi arena multivokalitas. Slametan memunculkan harmoni sosial. Slametan mampu menyembunyikan pemahaman ideologis pesertanya. Metode penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Data penelitian ini diperoleh melalui observasi, wawancara, dan partisipasi langsung. Teknik analisis data penelitian dilakukan dengan cara (a) pereduksian data; (b) eksplorasi data; (c) verifikasi data; dan (d) analisis dan penyimpulan data.
Penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan pemahaman keagamaan dapat memunculkan sikap kebersamaan melalui kerjasama. Kerjasama yang paling tampak adalah jalinan yang dilakukan dalam ritual Tutup Layang. Tutup Layang adalah sebuah ritual pemujaan atau penghormatan terhadap Kiai Anjir yang dianggap memiliki kekuatan supernatural oleh masyarakat Brondong. Ritual ini memiliki gagasan spiritual dan gagasan sosial. Gagasan spiritual berupa pemujaan terhadap Kiai Anjir. Gagasan sosial memperkuat ikatan sosial di dalam masyarakat. Gagasan sosial ini yang menjadikan Tutup Layang sebagai kekuatan kohesif. Kohesifitas Tutup Layang tercermin pada beberapa kompromi dan akomodasi dalam upacara lanjutan. Semua rangkaian upacara lanjutan adalah akomodasi dari seluruh kepentingan organisasi keagamaan di Brondong.
Setiap organisasi keagamaan memiliki tanggungjawab mengorganisir satu atau dua kegiatan. Pembagian tugas ini menggambarkan Tutup Layang adalah ritual milik masyarakat. Setiap partisipan dalam ritual memiliki kepentingan. Organisasi keagamaan, partai politik, juragan dan nelayan, serta masyarakat memiliki kepentingan. Kepentingan mereka sangat beragam, baik kepentingan ideologis maupun kepentingan untuk masyarakat. Tutup Layang kemudian menjadi ajang rebutan pengaruh dari kepentingankepentingan tersebut. Meskipun demikian, kepentingan ini sedapat mungkin dieliminir.
Sebenarnya, masyarakat Brondong memiliki potensi konflik. Potensi terjadi antar nelayan, antar organisasi keagamaan, dan persaingan antar juragan. Pada sisi ini, masyarakat Brondong adalah tidak stabil. Maka, masyarakat sangat membutuhkan ritual tertentu untuk mengeliminir potensi konflik dan meneguhkan kembali ikatan sosial masyarakat. Ritual Tutup Layang adalah sebuah mekanisme kultural yang memberi ruang seluruh elemen masyarakat Brondong berpartisipasi dan memperkuat ikatan sosial mereka. Partisipasi tersebut kemudian memunculkan harmoni sosial (rukun). Keharmonisan ini berimplikasi pada tidak pentingnya memunculkan pemahaman ideologis dalam ritual. Oleh karena itu, segala ideologi tidak diberi ruang untuk muncul secara terbuka. Ideologi disembunyikan.