Judul: Pandangan Pesantren Salaf terhadap “The Other” (Studi terhadap Pesantren Sidogiri di Pasuruan, Jawa Timur)
Penulis: Akhmad Munir (CRCS, 2005)
Kata-kata kunci: Pesantren salaf, eksklusivitas agama, truth and salvation claim, ideologisasi agama.
Abstrak:
Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur adalah pesantren salaf tertua yang tetap eksis di Indonesia. Sebuah pesantren besar yang memiliki sistem pendidikan sendiri dengan mempertahankan model salaf yang tidak berafiliasi dengan sistem pendidikan pemerintah. Sistem pendidikan salaf yang mengacu kepada karya-karya ulama terdahulu telah membentuk karakter khas pesantren dalam melihat komunitas lainnya (“the other” –komunitas Yahudi dan Kristen). Internalisasi nilai-nilai salaf, seperti: pengagungan yang besar terhadap karya ulama-ulama terdahulu, kepatuhan yang penuh kepada Kyai, dan fanatisme yang kuat terhadap Islam telah memberikan pandangan yang unik dalam melihat komunitas umat agama lainnya.
Penelitian ini adalah field research (penelitian lapangan) yang menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, participant observation, dan metode visual. Meskipun jenis penelitian ini adalah field research, namun penulis juga memadukan dengan library research sebagai bahan data-data sekunder. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan teologis-sosiologis-antropologis yang berupaya memaparkan pemahaman terhadap doktrin-doktrin keislaman yang berimplikasi pada relasi antar komunitas agama melalui seperangkat infrastruktur pendidikan pesantren.
Pesantren Sidogiri memiliki sikap yang tegas dalam melihat komunitas lain (the other). Pada tataran i’tiqady (aqidah), masing-masing komunitas agama dibatasi oleh garis yang tegas bahwa: Agamamu adalah agamamu dan agamaku adalah agamaku. Namun, dalam relasi sosial, semuanya dapat menjalin kerjasama yang erat tanpa melihat perbedaan agama masing-masing. Dalam konteks ini, pesantren Sidogiri memiliki pemahaman keagamaan eksklusif bahwa hanya agama Islam yang memiliki kebenaran (truth and salvation claim). Namun, eksklusivitas pesantren Sidogiri tidak menyebabkan adanya suatu upaya untuk merealisasikan ideologisasi agama yang berimplikasi pada penegakan syari’at Islam. Dalam pandangannya, sistem demokrasi tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Bahkan sistem demokrasi justru memiliki substansi yang sama dengan nilai-nilai keislaman, seperti: syura (musyawarah), musawah (egaliter), dan ‘adalah (keadilan). Dalam konteks ini, “the other” –dalam perspektif Sidogiri- adalah komunitas lain yang secara sosiologis merupakan kekuatan untuk membangun peaceful pro-existence meskipun secara teologis memiliki keyakinan berbeda. Namun, pada saat yang sama, Sidogiri memiliki kesadaran akan implementasi universalitas Islam yang dapat diterima bersama tanpa ‘pemaksaan’ ideologi Islam. Jadi, Eksklusivitas agama berada dalam tataran i’tiqady (keyakinan) bukan dalam tataran sosial dan upaya penegakan ideologi Islam.