Judul: Kerukunan Umat Beragama di Desa Kotesan Kecamatan Prambanan Klaten: Telaah Dialog Antaragama dalam Perspektif Agama Buddha
Penulis: Heriyah (CRCS, 2005)
Kata-kata kunci: Pluralitas agama, Common Ground, dan sinkretisme
Abstrak:
Pluralitas Agama adalah sebuah potret masyarakat Indonesia yang tidak dapat dipungkiri. Keberadaan common ground atau common cause merupakan syarat untuk terjadinya dialog antaragama yang bisa menyatukan perbedaan dan menciptakan kerukunan umat beragama. Sikap eksklusif, inklusif dan pluralis biasanya kita dapati di dalam proses dialog antaragama. Setiap agama memiliki konsep hubungan dengan Yang Transenden (ultimate reality), cara pandang melihat realitas kehidupan dengan jalan berbeda-beda, dan memiliki tujuan akhir yang sama, yaitu memperoleh kebahagiaan. Dialog antaragama terealisasi pada tataran teologis, filosofis dan praktik kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks ini, dialog kehidupan menjadi lebih penting dalam menciptakan kerukunan umat beragama. Masing-masing agama diyakini memiliki ajaran tentang cintakasih, toleransi, tolong-menolong dan hormat-menghormati sesama umat manusia yang bisa mendorong kepada terciptanya dialog dan harmonisasi kehidupan umat beragama di tengah masyarakat yang multikultural dan multireligius.
Desa Kotesan dikenal sebagai masyarakat plural dan multireligius. Selain beberapa agama besar seperti Buddha, Hindu, Kristen dan Islam, juga terdapat aliran kepercayaan yaitu Sapta Dharma. Kehidupan masyarakat desa Kotesan ini masih dipengaruhi oleh tradisi Hindu dan Buddha. Adanya dialektika antara agama dan budaya lokal, sampai saat ini menjadi media dialog untuk menciptakan harmonisasi kehidupan umat beragama di desa Kotesan, termasuk agama Buddha. Selain Buddha Dhamma yang membabarkan ajaran cinta kasih (metta) dan kebebasan dari hawa nafsu (vimutti), juga menyerukan latihan meditasi dan memperkecil sifat ke’aku’an (anatta) merupakan bagian dari cara pandang dan perilaku umat Buddha. Demikian halnya, jalan umat Buddha dalam menyelesaikan konflik kehidupan, termasuk konflik antarumat beragama, yaitu berasaskan pada hukum karma yang berimplikasi kepada praktek hidup bersama tanpa kekerasan. Namun demikian, praktek sinkretisme; penerimaan, penyesuaian, dan respon agama Buddha terhadap budaya lokal menjadi kontribusi penting bagi keberlangsungan hidup yang plural dan harmonis di desa Kotesan. Melalui upacara-upacara ritus agama maupun desa (baca: slametan) telah membuka ruang-ruang sosial sebagai sarana dialog antaragama dan sarana untuk mewariskan kerukunan umat beragama.
Proses pengumpulan data di lapangan di peroleh melalui dua tahap; pertama, mengobservasi secara langsung; dan kedua, menginterpretasi informasi yang dilakukan secara in-depth interview. Ditambah juga perolehan data-data sekunder yang berkenaan dengan pengalaman Buddhis, yang melukiskan kesesuaian antara praktek dan pemahaman terhadap ajaran yang dianut. Keterbukaan umat Buddha terhadap yang lain dan budaya lokal setempat, dalam pembacaan penulis, bisa menjadi representasi dari kerukunan umat beragama di Indonesia yang bercorak pada penguatan budaya nenek sebagai satu model dialog antaragama.