Judul: Dialog Antariman di Tingkat Akar Rumput: Sebuah Studi Kasus tentang Program-Program Pemberdayaan Dialog Antariman di Jawa Timur
Penulis: Siti Sarah Muwahidah (CRCS, 2007)
Kata-kata Kunci: dialog antariman, pemberdayaan, akar rumput, identitas agama
Abstrak:
Dialog antariman umumnya digunakan dalam membangun perdamaian dan pengertian antar kelompok-kelompok agama. Swidler (2000) mengatakan bahwa program antariman tidak bisa hanya dilaksanakan oleh kaum akademisi dan elite agama. Ide dan problem dari komunitas akar rumput haruslah disuarakan dan didengar. Program-program semacam ini harus dilakukan di ketiga tingkatan: akademisi, pemimpin agama, dan masyarakat akar rumput, atau program tersebut akan gagal. Dalam tesis ini, saya melaporkan hasil riset lapangan saya di sebuah dusun kecil di Jawa Timur, Banyu Urip, di mana masalah kepemilikan tanah menjadi common ground (dasar) terlaksananya kerjasama antariman. Saya meneliti upaya pemberdayaan antariman yang dimulai oleh sekelompok aktivis Katolik pada tahun 1997. Program ini berhasil mendukung warga dusun mengklaim hak atas tanah mereka. Menurut Paul Knitter (1995), kerjasama antariman di level akar rumput niscaya akan memunculkan dialog antariman. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam tesis ini adalah: apakah dialog yang mengikuti kerjasama antariman di Banyu Urip bisa dinyatakan sebagai dialog antariman? Dan apa signifikansi program antariman di Banyu Urip?
Pelaksanaan program antariman di Banyu Urip menjadi lebih sulit karena alasan-alasan berikut. Pertama, warga Banyu Urip telah menderita secara ekonomi dan politik di bawah kepemimpinan berbagai rezim, dari zaman kolonial Belanda, PKI, dan pemerintah lokal. Warga Banyu Urip juga tidak memiliki kontrol dan penguasaan atas tanah tempat tinggal mereka. Oleh karena itu, mereka seolah tersisih di negaranya sendiri. Lebih jauh lagi, pilihan agama mereka banyak dipengaruhi tekanan dari pihak luar: tradisi Kejawen yang dulu dipraktekkan oleh sebagian besar warga telah dibatasi, dan mereka diharuskan untuk memilih salah satu dari lima agama yang diakui pemerintah.
Kombinasi tekanan dari luar ini baik dari segi agama dan politik-membuat penduduk Banyu Urip tertindas dua kali. Hal ini menyebabkan munculnya ”sinisme” terhadap agama formal dan pemerintah. Meskipun begitu, umumnya warga Banyu Urip merasa bahwa umat Kristen dan Muslim menyembah Tuhan yang sama. Pendekatan pragmatis ini mungkin terbangun karena kecurigaan yang lama terhadap agenda pihak luar; warga menjadi lebih nyaman bergaul dengan orang sedusun, dibanding dengan orang dari daerah lain seperti para misionaris, aktivis LSM, dan kelompok lain yang mencoba masuk dalam kehidupan mereka. Namun ini juga berarti mereka tidak memikirkan problem keimanan mereka dengan serius.
Temuan umum saya adalah bahwa dalam masyarakat yang miskin pengetahuan akan agama yang mereka anut, dialog tentang agama yang muncul menjadi berbeda dengan apa yang telah dideskripsikan Knitter. Sebuah dialog liberatif menjadi penting untuk mengatasi kesinisan dan kecurigaan warga, dan untuk membentuk suatu forum di mana warga dapat memperjuangkan kontrol atas dusun dan kehidupan mereka, dan untuk memperkuat hubungan antaragama di antara mereka. Keberhasilan di bidang ekonomi dan politik akan mendorong keberhasilan hubungan antariman, dan sebaliknya.