Menelusuri Jejak Terpinggirkannya Abangan
Tarmizi Abbas – 27 February 2020
Persebaran agama-agama di pelbagai belahan dunia sering melibatkan negosiasi dengan khazanah kepercayaan dan budaya lokal. Negosiasi ini bisa mewujud dalam beragam bentuk, yang disebut oleh para sarjana dengan ‘akulturasi’, ‘sinkretisme’, ‘eklektisisme’, atau istilah-istilah lain.
Dalam hal ini, Indonesia bukan perkecualian. Islam (dan sesungguhnya ini juga berlaku untuk agama lain seperti Kristen, Hindu, Buddha, dst) diterima, diadopsi, dan bernegosiasi dengan khazanah lokal. Hasil dari interaksi ini mengejawantah dalam pelbagai varian, dengan spektrum yang cukup luas. Di Indonesia, sebagian varian itu mewujud dalam apa yang disebut dengan ‘abangan’ di Jawa, Wetu Telu di Lombok, Gumai di Sumatera Selatan, dlsb.
Dari pelbagai varian ini, abangan, yang akan menjadi fokus tulisan ini, adalah yang paling menonjol. Abangan pernah menjadi identitas politik yang kuat pada era politik aliran 1950-an, hatta sejumlah sarjana menyebut saat itu abangan merupakan identitas bagi tak kurang dari 2/3 penduduk Jawa, pulau terpadat di Nusantara.
Walakin, hari ini tinggal sedikit orang yang berani terus terang mendaku diri sebagai abangan. Kalau ada praktik yang dulu disebut abangan dan kini masih dilakukan, ia disebut bukan sebagai praktik keagamaan, melainkan ‘adat’ atau ‘budaya’. Pendek kata, abangan kini terpinggirkan dari ruang publik. Mengapa? Why? Apa saja faktor yang bersaham dalam peminggiran abangan ini?
Robert Hefner berupaya menjawab pertanyaan itu dalam artikelnya, Where have all the abangan gone? (satu bab dalam The Politics of Religion in Indonesia, ed. Picard & Madinier, 2011). Hefner berargumen bahwa faktor utama peminggir abangan ialah apa yang ia sebut dengan ‘religionisasi’, yakni penyeragaman ekspresi keberagamaan agar mematuhi ‘ortodoksi’ (standar cara beragama yang ‘benar’). Seperti diuraikan Hefner, dalam sejarah Indonesia proses ‘religionisasi’ ini bukan saja terjadi antarmasyarakat secara horisontal melainkan juga melibatkan tangan negara. Tulisan ini akan meringkas gagasan Hefner di artikel itu. Namun sebelum masuk ke sana, kita perlu menelisik sebentar apa yang dimaksud Hefner dengan abangan.
Muslim (meski) abangan
Sejumlah sarjana terkenal seperti Clifford Geertz dan Robert Jay bersaham memopulerkan abangan dengan makna khusus, yakni mereka yang pada hakikatnya melakukan praktik Hindu-Buddha, dengan campuran animisme, kendati berbaju Islam. Sebagai sebuah varian cara beragama, abangan di sini bukan suatu hal unik—di belahan dunia lain ditemukan corak keberagamaan yang serupa.
Bagi Hefner, pengertian semacam itu memang bermanfaat dalam menggarisbawahi bahwa abangan merupakan suatu kepercayaan yang memiliki kosmologi atau cara pandang dunia tersendiri. Tetapi, masih menurut Hefner, konsepsi Geertz dan Jay itu abai pada pengaruh panteisme Sufistik dalam persebaran Islam di Jawa dan luput menangkap satu hal yang lebih krusial lagi: banyak dari kaum abangan itu yang mengidentifikasi praktik keberagamaan mereka sebagai praktik keberislaman yang valid.
Dengan kalimat lain, kaum abangan memercayai bahwa diri mereka adalah, ya, Muslim—bukan Muslim pura-pura, tapi Muslim beneran. Bahkan pada masa ketika identitas abangan mencapai puncaknya pada 1950-an, kaum yang disebut abangan itu tetap menyebut al-Quran dan hadis sebagai sumber ajaran dan sering mengundang Muslim-santri untuk memimpin ritual dalam acara kelahiran, khitanan, pernikahan, atau kematian.
Sejumlah perbedaan tentu saja ada, apalagi mengingat bahwa abangan tidaklah satu warna. Gradasi abangan (sekali lagi, yang juga menyatakan diri sebagai Muslim) merentang dari mereka yang, di samping melakukan praktik Islam normatif (meski kadang bolong-bolong), juga melakukan tawassulan dengan arwah leluhur, menyelenggarakan praktik sesaji, hingga yang memercayai dhanyang deso (arwah penjaga kampung) dan kesakralan tempat-tempat tertentu.
Bagi Hefner, karena corak keberagamaannya yang non-skripturalis, abangan cukup santai untuk melakukan ritual yang eklektis: diawali dengan hamdalah, salawat Nabi, dan doa-doa dari al-Quran, kemudian disambung dengan japa-mantra yang diyakini diperoleh dari wahyu leluhur. Corak inilah yang bagi Hefner membedakan abangan dari santri (mencakup tradisionalis dan modernis sekaligus). Sementara abangan menggantungkan otoritas keberagamaan mereka pada sesepuh desa (mbah kaum) dan bersifat lokal, keberagamaan santri mewajibkan landasan skriptural agar suatu praktik keberislaman bisa dianggap valid dan diproyeksikan berlaku universal.
Ketika berbicara mengenai terpinggirkannya abangan, yang dimaksud Hefner ialah terpinggirkannya corak keberagamaan seperti tersebut di atas, yang dianggap menyimpang dari standar Islam yang ‘benar’.
Tiga faktor
Hefner menyebut tiga faktor utama yang bersaham dalam terpinggirkannya abangan. Pertama adalah merebaknya lembaga pendidikan Islam, baik yang tradisionalis seperti pesantren maupun yang modernis.
Sejak beberapa dasawarsa akhir di abad 19, lembaga pendidikan Islam ini merebak, yang menurut Hefner digerakkan oleh dua hal. Pertama, koneksi antarkomunitas Muslim lintas bangsa yang makin mudah, dan kedua oleh munculnya gerakan reformasi-purifikasi di Arab. Dampak utama dari kedua hal ini ialah merangseknya wacana keislaman yang cenderung skriptural dan mengalami konvergensi di tingkat lintas bangsa. Ini satu hal yang di kemudian hari bersitegang dengan corak keberislaman abangan.
Faktor kedua adalah politik aliran 1950-an. Dua aliran besar yang membelah perpolitikan Indonesia pada saat itu ialah antara nasionalis dan komunis di satu sisi, dan politik Islam di sisi lain (mencakup tradisionalis seperti NU dan modernis seperti Masyumi). Di kalangan internal Muslim, bahan telah tersedia untuk makin mempolarisasi dua aliran ini, yakni antara abangan dan santri. Abangan umumnya terwadahi dalam aliran nasionalis atau komunis.
Ketika politik terpolarisasi, identitas akan menguat. Abangan pun demikian, dan banyak yang bahkan mengidentifikasi diri secara sadar sebagai kaum abangan, untuk membedakan diri dari kaum santri. Penelitian Hefner pada 1970-an di kampung-kampung di Jawa Timur mengabarkan cerita dari generasi tua abangan yang menceritakan bahwa pada 1950-an, mereka tak lagi pergi ke masjid semata-mata karena imam masjidnya dari NU.
Akibat dari polarisasi yang sedemikian panas ini, sebagian abangan lalu bergabung dengan kelompok yang saat itu disebut ‘aliran kebatinan’ atau membentuk sekte keagamaan lain yang baru. Aliran kebatinan ini kemudian melembaga dalam bentuk Badan Kongres Kebatinan Indonesia, berdiri pada 1955. Misi dari Kongres Kebatinan ini ialah agar pemerintah mengakui mereka sebagai kelompok agama tersendiri. Upaya ini gagal karena kelompok Muslim di Kementerian Agama telah lebih awal memancangkan definisi yang harus dipenuhi agar suatu kepercayaan bisa diakui sebagai ‘agama’. Kegagalan mendapat pengakuan ini membuat sebagian abangan kemudian menyatakan diri keluar dari Islam. Puncaknya, di akhir era Soekarno yang diikuti oleh peristiwa 1965, mayoritas korban di Jawa berasal dari latar belakang abangan. Dengan kata lain, punahnya banyak komunitas abangan terjadi seiring pembersihan komunisme oleh Orde Baru.
Faktor ketiga ialah kebijakan ‘Pembinaan Keagamaan’ oleh Orde Baru, yang pada awalnya dilakukan masih dalam kerangka pembersihan komunisme. Pada faktanya, program Pembinaan ini, yang dilakukan oleh Kementerian Agama bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri pada waktu itu, mula-mula menyasar kampung-kampung basis komunis.
Pembinaan ini bertujuan agar masyarakat yang ‘belum beragama’ (abangan termasuk di dalamnya) masuk ke dalam lima ‘agama yang diakui’. Dalam hal ini, abangan menjadi sasaran empuk dakwah/misi dari agama-agama besar, bukan hanya Islam, tapi juga Kristen dan bahkan Hindu. Pemerintah Orde Baru memfasilitasi progam ini bukan saja dengan mengeluarkan aturan resmi, tapi kadang juga memberikan bantuan finansial untuk pembangunan infrastruktur. Inilah inti dari ‘religionisasi’ sebagaimana dimaksud Hefner. Nantinya, di tahun 1980-an, Orde Baru mengeluarkan aturan yang membatasi upaya misionari Kristen. Praktis, tinggal dakwah Islam yang terbuka lebar, lebih-lebih sejak 1990-an, ketika Orde Baru berubah haluan untuk mendekati kelompok Muslim modernis.
Penelitian Hefner di Pasuruan, Malang, dan Yogyakarta tahun 1970-1980-an memberikan gambaran dari dampak semua hal ini. Pada 1960-an, 12 desa di Pasuruan masih aktif terlibat dalam festival tahunan sedekah dusun kepada dhanyang deso. Pada 1985, festival ini tak lagi dirayakan, bahkan situs yang diyakini tempat bersemayam dhanyang deso sudah rusak. ‘De-abangan-isasi’ juga terjadi serupa di daerah-daerah lain di Jawa Timur. Tinggal sedikit praktik yang demikian ini yang tersisa (antara lain, labuhan untuk Nyi Roro Kidul), tetapi ia kini lebih sering dinarasikan sebagai ‘budaya lokal’.
Refleksi
Di akhir artikelnya, Hefner menyampaikan beberapa refleksi dari penelusurannya terhadap sejarah abangan ini sebagai catatan bagi kajian perubahan corak keberagamaan masyarakat.
Pertama ialah fenomena terpinggirkannya corak keberagamaan seperti abangan ini bukan khas Indonesia. Di banyak negara lain, gelombang Islamisasi, atau ‘religionisasi’ secara lebih umum, menghasilkan dampak serupa. Satu catatan perkecualian barangkali adalah kelompok Alevis di Turki, yang mirip seperti abangan, tetapi kini masih memiliki nilai tawar politik yang relatif kuat.
Kedua, meski abangan terpinggirkan dari ruang publik dan modus keberislaman cenderung berkonvergensi pada Sunni Islam arus utama, fenomena ini tidak terterjemahkan di kancah politik praktis. Dari pemilu ke pemilu di era pasca-Reformasi, bukan partai Islamlah pemenangnya. Bahkan ketika partai Islam bergerak ke tengah, dan partai-partai sekuler mengakomodasi kelompok Muslim, hingga kini belum ada partai Islam yang memenangkan pemilu secara dominan.
Ketiga, di level kultur keagamaan, dengan adanya preseden keterlibatan negara dalam mengintervensi corak keberagamaan masyarakat, sebagian kelompok Muslim kerap terpicu untuk kembali menggunakan piranti negara dalam menanggulangi ‘kesesatan’ atau ‘penyimpangan’ keagamaan. Tren belakangan menunjukkan bahwa ini terjadi bukan saja terhadap mereka yang berada di luar Islam, melainkan juga kepada kelompok di dalam Islam sendiri.
Pun meski ada tren demikian, Hefner tetap berpandangan bahwa dibanding banyak negara mayoritas Muslim lainnya, Indonesia masih merupakan negara yang bineka dalam cara beragamanya, dan masih akan terus demikian asalkan negara tidak senantiasa tergoda meminjamkan tangannya untuk dipakai oleh kelompok yang ingin menyeragamkan cara beragama.
_____________
Tarmizi “Arief” Abbas adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, angkatan 2019. Baca tulisan Arief lainnya di sini.
Gambar header: Slametan di era prakemerdekaan, diambil dari Wikipedia Commons. Banyak orang, termasuk Geertz, akan menyebut Slametan sebagai ritual abangan, tapi banyak juga Muslim yang menyebutnya sebagai ritual yang Islami.