
oleh Yuliana Meneses Orduño
Joged Amerta digambarkan sebagai praktik meditasi gerak tubuh yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah, diprakarsai oleh seorang seniman sekaligus filsuf, Suprapto Suryodarmo (Surakarta, 1945 – 2019). Praktik ini merupakan sintesis dari ketertarikannya terhadap filsafat, arkeologi, meditasi, tradisi, ritual, multikulturalisme, dan berbagai bidang lainnya. Seiring waktu, pendekatan ini berkembang menjadi metodologi dalam praktik dan pengajaran yang ia sebut sebagai Joged Amerta untuk gerakan personalnya, serta dikenal sebagai Amerta Movement dalam interaksinya dengan orang lain. Dalam praktik ini, para pendialog, pembawa pesan, atau penggerak (sebutan yang digunakan Pak Prapto) mengamati bagaimana tubuh (baik tubuh penggerak maupun lingkungan material) mengembangkan bentuk komunikasi satu sama lain: dengan afek sebagai medium untuk berinteraksi dan memahami lingkungan sekitar.
Implikasi dari afek hadir dalam kehidupan sehari-hari dalam cara kita berelasi satu sama lain, yang menunjukkan adanya relasi timbal balik antar tubuh. Titik berangkat yang umum dari Joged Amerta adalah kehidupan sehari-hari, mulai dari bagaimana kita bergerak, sebagai respons atau akibat dari kondisi keseharian. Merujuk pada hal ini, dapat dikatakan bahwa afek adalah karakteristik utama dan ekspresi mendasar manusia, yang senantiasa berkembang bersama orang lain, menciptakan efek timbal balik antara aksi dan reaksi yang berdampak pada gerakan tubuh. Dala tulisan ini, saya menghubungkan teori afek dengan Amerta Movement untuk memahami apa yang terjadi dalam pengalaman tubuh ketika ia bergerak.
Istilah “afek” digunakan dalam Poshumanisme untuk menjelaskan hubungan sensitif antara manusia dan nonmanusia, yang mengakui adanya vitalitas yang mendiami dunia ini. Poshumanisme sebagai arus filsafat kontemporer membuka diskusi mengenai tindakan manusia sepanjang sejarah yang memiliki dampak signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan: politik, sosial, ekonomi, ekologi, teknologi, dan lainnya. Oleh karena itu, pendekatan ini mendorong pergeseran dari figur manusia sebagai pusat menuju “pasca-manusia”, bahwa manusia mampu memikirkan ulang posisinya sebagai pusat dunia, dengan maksud untuk mendesentralisasi dan memberi ruang bagi agensi vital lainnya menjadi pusat. Rosi Braidotti menjelaskan bahwa kondisi pasca-manusia sedang dalam “proses menjadi”. Bagi Braidotti (2013, 12 dan 193): “Menjadi pascamanusia pada akhirnya adalah sebuah proses mendefinisikan ulang rasa keterikatan dan koneksi seseorang dengan dunia bersama, sebuah ruang teritorial: urban, sosial, psikis, ekologis, dan planeteri sebagaimana adanya. Proses ini mengekspresikan berbagai kepemilikan ekologis, sekaligus mewujudkan transformasi koordinat sensorik dan persepsi seseorang, untuk mengakui sifat kolektif dan arah batas luar dari apa yang kita sebut sebagai diri.”
Praktik gerak Pak Prapto erat kaitannya dengan pandangannya tentang kehidupan dan kemanusiaan dalam filsafat Jawa. Menurut Lise Lavelle (2006, hlm. 3; 227–228), beliau “bermaksud merintis konsep baru tentang manusia di Jawa, yang didasarkan pada penghormatan dan revitalisasi pandangan hidup tradisional kejawen […] untuk berdialog dengan modernitas.” Ia juga menunjukkan bahwa beliau mengembangkan “sikap rendah hati terhadap Kehidupan sebagai kekuatan ilahi”, melalui “doa”; sebuah sikap yang bisa kita praktikkan untuk menghormati dan menghargai Kehidupan. Saya mengusulkan bahwa sikap rendah hati terhadap kehidupan ini hadir melalui afek dalam gerakan, sebagai proses yang memfasilitasi persepsi atas vitalitas dan menciptakan pengaruh dalam kehidupan sehari-hari praktisi.
Amerta Movement berdampak pada cara tubuh mempersepsikan ruang, sejarah, lingkungan “nature-culture”, serta relasinya dengan tubuh-tubuh lainnya. Pendekatan utamanya adalah melalui pendengaran yang sensitif, penglihatan, dan pengamatan yang membentuk pola-pola gerakan halus. Cara bergerak, melihat, dan menyentuh dari kehalusan ini mengubah persepsi keseharian, membangkitkan afek antara tubuh-tubuh yang berbeda—baik manusia maupun non-manusia—yang menghuni ruang bersama. Pengalaman atas dunia melalui cara ini menyiratkan sikap-sikap yang berbeda dalam memahami, mendiami, dan hadir dalam “tubuh” melalui “gerakan”. Inilah yang dialami oleh seorang praktisi Amerta, yang akan memengaruhi kesehariannya. Segala sesuatu menjadi vital (hidup), dan para praktisi bergerak dengan kesadaran akan hal itu. Bahwa mereka tidak bergerak sendiri, melainkan bersama berbagai bentuk agensi yang mendiami, dan bertindak bersama. Dalam pemahmaman ini, saya menyebutnya sebagai “aksi yang bersatu”, atau gerakan bersama dalam sebuah “perkumpulan/komunitas”.
Dalam proses tersebut, tubuh para praktisi Amerta Movement menjadi lebih peka terhadap agensi tubuh-tubuh nonmanusia. Hal yang menarik adalah bahwa bentuk gerakan tubuh ini mampu mengubah persepsi terhadap keseharian. Brian Massumi (1995:97) mendefinisikan afek sebagai sesuatu yang terus berlangsung dalam kehidupan sehari-hari, “seperti persepsi latar belakang yang menyertai setiap peristiwa, bagaimanapun kesehariannya.” Keseharian hidup kita—dan gerakan yang menyertainya—berada dalam alur persepsi yang berkelanjutan. Dalam konteks Amerta Movement, bisa dikatakan bahwa keputusan untuk memahami kehidupan sebagai kekuatan vital turut memengaruhi cara kita bergerak. Perubahan persepsi terhadap vitalitas dan penerimaan afek inilah yang menghasilkan pengalaman tubuh melampaui keseharian.
Setelah menjalani praktik Amerta dalam jangka waktu tertentu, aspek keseharian dari “persepsi latar belakang” akan meluas ke lapisan persepsi lainnya, memberikan dampak pada cara kita melihat dan menjalani keseharian. Seorang praktisi dapat membiarkan dirinya dipengaruhi lebih dalam oleh “zoe”—kekuatan vital kehidupan, non-manusia—dan materialitas vital lainnya dengan lebih sadar. Braidotti (2013, 60) menjelaskan mengapa ia menggunakan zoe, bukan bios, dalam posthumanisme. Bios “secara tradisional diperuntukkan bagi antropos”, dan zoe adalah lingkup yang lebih luas dari kehidupan hewan dan nonmanusia. Istilah ini paralel dengan materialitas vital dalam Materialisme Baru, yang mengakui bahwa materi tidaklah lembam, tetapi memiliki vitalitas. Bagi Jane Bennet (2010, 14), “Kita adalah materialitas vital dan kita dikelilingi olehnya, meskipun kita tidak selalu melihatnya seperti itu”. Kita dapat melihat contohnya tidak hanya dengan berlatih di alam, tetapi juga di tempat-tempat seperti kuil ketika memungkinkan untuk membangkitkan afek melalui materialitas vital mereka. Persepsi latar belakang ini berpindah ke latar depan, yang menuntun tubuh mengalami sendiri vitalitas kehidupan melalui gerakan. Massumi (1995, hlm. 97) menyatakan, “perasaan hidup seseorang adalah persepsi diri yang berkesinambungan dan tidak disadari (refleksi diri bawah sadar).”
Pengalaman praktisi menjadi elemen penting dalam mendukung dan memperkaya teori ini. Meurut saya, pendekatan ini tepat untuk memahami apa yang terjadi dalam latihan saya. Saya memahami bahwa afek merupakan proses korespondensi, karena itu kita dapat terlebih dahulu menghadirkan refleksi diri atas persepsi kita terhadap vitalitas kehidupan sehari-hari, dan bagaimana hal itu memengaruhi pengalaman tubuh serta gerak kita.
Referensi
Bennett, Jane (2010). Vibrant Matter. A Political Ecology of Things. Duke University Press, London.
Braidotti, Rosi (2013). The Posthuman. Cambridge: Polity.
Lavelle, Lise (2006). Amerta Movement of Java 1986-1997. An Asian Movement Improvisation. Centre for Languages and Literature/Lund University, Sweden.
Massumi, Brian (1995). “The Autonomy of Affect”, Cultural Critique, No. 31, The Politics of Systems and Environments, Part II (Autumn). http://www.jstor.org/stable/1354446
Suryodarmo, Suprapto (2009). Meditation in Dance: “Dance Meditation?” Paper for National Seminar on The Art of Dance in Human Life convened by Jurusan Tari, Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, 19 December. Translated from Bahasa Indonesia by Diane Butler.
Klik tautan ini untuk artikel versi bahasa Inggris
______________________
Yuliana Meneses Orduño adalah seniman gerak dan peneliti yang mengeksplorasi persimpangan antara tubuh, ekologi, dan budaya melalui pendekatan transdisipliner. Ia memulai pelatihan tari Butoh pada 2010 bersamaan dengan studi tari klasik India. Pada 2018, ia menerima beasiswa Darmasiswa untuk belajar tari Jawa di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, tempat ia mulai berlatih Joged Amerta di bawah bimbingan Suprapto Suryodarmo. Setelah kembali ke Meksiko pada 2019, Yuliana mengembangkan BE: Body Experiences, sebuah platform yang mempromosikan persepsi sensorik, afek, dan kedekatan relasional sebagai praktik penting untuk hidup berdampingan—mengacu pada ekosomatik, ekopuisi, biologi, filsafat, pengetahuan adat, dan berbagai seni visual dan media.
[wpdm_package id=’20101′]