
oleh Martha Hesty Susilowati
Warisan dan dampak penjajahan terhadap masyarakat adat merupakan fenomena global, yang di antara akibatnya adalah peminggiran kepercayaan tradisional, praktik budaya lokal, hingga pemiskinan secara ekonomi (Enriquez, 1995; Kingfisher, 2007). Di Indonesia sebagai negara jajajah, warisan dan dampak penjajahan tersebut terus berlanjut hingga saat ini. Dalam Ilmu psikologi misalnya, khusunya di bawah disiplin ilmu psikologi budaya, pengkajian isu atau fenomena masyarakat adat dipengaruhi oleh pengetahuan Barat. Akibatnya, peminggiran atau penolakan terhadap pengetahuan masyarakat adat seakan sesuatu yang normal, karena kesehatan mental dan kesejahteraan psikologis distandarisasi dan dievaluasi berdasarkan kerangka pengetahuan dan cara berpikir Barat, suatu bentuk keberlanjutan penjajahan (pengetahuan). Menyikapi fakta tersebut, disiplin dan ilmu psikologi dituntut untuk meninjau dominasi kerangka pikir dan kerja WEIRD (Barat, Terdidik, Terindustrialisasi, Kaya, dan Demokratis), dan mengusung dekolonisasi pengetahuan dalam pengembangan pengkajian psikologi masyarakat adat (Henrich et al., 2010). Psikologi adat (indigenous psychology) penting menegaskan bahwa pengetahuan dan praktik masyarakat adat adalah bagian dari pengetahuan psikologis, yang berkontribusi terhadap kehidupan manusia dan kesejahteraannya (Henrich et al., 2010). Ilmu psikologi dekolonial adalah alternatif yang patut dikembangkan di Indonesia karena bangsa tersebut kaya dengan pengetahuan dan praktik masyarakat adat terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan psikologis. Namun harus diakui bahwa tantangannya tidak mudah karena stigma negatif terhadap vitalitas masyarakat adat oleh pengetahuan modern sangat hegemonik.
Di tulisan ini, saya mengulas Joged Amerta (Amerta Movement), satu pengetahuan dan praktik yang berasal dari Jawa, yang juga populer di banyak beberapa negara, seperti Eropa, sebagai bahasan dalam bidang psikologi dan terapi gerakan. Joged Amerta menawarkan pendekatan unik yang menggabungkan gerak yang penuh kesadaran, ekspresi diri, dan transformasi diri. Dididirkan dan dikembangkan oleh seniman gerak dan guru Jawa, Suprapto Suryodarmo, Joged Amerta berakar kuat pada prinsip-prinsip gerak otentik, kehadiran, dan ketubuhan (Cohen, 2016). Joged Amerta mencipta jalan untuk menemukan jati diri dan penyembuhan. Tulisan ini secara khusus menunjukkan tawaran Joged Amerta pada penguatan dan pemberdayaan perempuan. Dalam psikologi, khususnya dalam psikoterapi, kajian dan praktik pemberdayaan perempuan umumnya mengurai dan menangani trauma, depresi, dan kecemasan (Hameed, et al., 2020). Lebih jauh dari itu, Joged Amerta menawarkan pendekatan holistik yang menuntun perempuan untuk merebut kembali tubuh, emosi, dan identitas mereka dari pembatasan-pembatasan oleh ragam norma dan praktik di masyarakat. Dalam tulisan ini, tawaran tersebut disinergikan dengan kerangka pemberdayaan perempuan dengan menekankan signifikansi dimensi psikologis dan potensi transformatifnya.
Memahami Joged Amerta dan Hubungannya dengan Pemberdayaan Perempuan
Joged Amerta adalah gerak tanpa gaya khusus atau tanpa format kaku yang menuntun individu untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan pengalaman ketubuhan. Melalui bentuknya yang bebas, Joged Amerta tidak terikat oleh teknik yang kaku. Ia menekankan spontanitas dan pendengaran tajam pada hasrat tubuh (Bloom et al., 2018). Joged Amerta menekankan pengalaman diri dan kesadaran sensori-motorik untuk merespons gravitasi dan lingkungan sekitar. Dengan permainan gerak bebas penuh perhatian, penekanan pada kesadaran ketubuhan dan gerak intuitif, para praktisi melibatkan diri dalam kekinian yang terus berubah dan menemukan makna terkait relasi mereka dengan ruang, lingkungan sekitar, dan alam. Geraknya bebas, tak berpusat, tetapi menciptakan dialog atau relasi antara diri, orang lain, dan lingkungan (Cohen, 2016; Dean, 2011). Melalui Joged Amerta, para praktisi membangun dan memperoleh kesadaran mendalam tentang diri mereka sendiri, tentang tubuh mereka, dan tentang reaksi-reaksi dalam tubuh (Dean, 2011). Dalam konteks itu, Joged Amerta juga dapat dipahami sebagai gerak spiritual.
Dalam bidang psikoterapi, gerak seperti tari sering digunakan sebagai metode dalam mengembangkan karakter kepribadian dan untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan psikologis. Terapi tari memiliki dampak signifikan pada pengembangan nilai diri, kepercayaan diri, dan ekspresi emosi terdalam. Terapi tari juga memperkaya kecerdasan emosional dan ikatan sosial (Szafraniec 2003 dalam Adamski, 2024). Selain itu, praktik seni yang memadukan berbagai karya kreatif seperti musik, gerak, dan seni visual dapat meningkatkan pertumbuhan emosional dan psikologis (Fres, 1990 dalam Adamski, 2024). Teori euritmik Steiner lebih jauh menekankan bahwa ritme dan gerak berfungsi sebagai ekspresi alami kepribadian seseorang, yang memadukan pikiran, emosi, dan identitas (Adamski, 2024). Praktik somatik memungkinkan seseorang untuk mengkalibrasi pengalaman batin dan lahirnya, menumbuhkan kesadaran diri saat terlibat dalam relasi sosial, budaya, dan politik (Reeve 2011, Weber 2021). Dengan demikian, terapi berbasis gerak, seperti Joged Amerta menawarkan pendekatan holistik terhadap pengembangan karkater kepribadian, yang memungkinkan individu terhubung dengan diri mereka sendiri dan lingkungan sekitar secara bermakna.
Pendekatan terapi tari, seperti Joged Amerta, dapat digunakan secara efektif untuk pemberdayaan perempuan khususnya di masyarakat di mana peran gender ditentukan oleh kesenjangan kekuasaan yang terstruktur (Freire, 1974; Chattopadhyay, 2005). Pemberdayaan perempuan membutuhkan kekuatan sosial, ekonomi, dan politik, seperti akses ke pendidikan tinggi. Faktor ekonomi dan politik berperan penting dalam pemberdayaan perempuan (Sushama, 1998; Pam Rajput, 2001; Tiwari, 2001; Chattopadhyay, 2005; Aspy dan Sandhu, 1999; Patricia et al, 2003). Namun selain itu, pemberdayaan perempuan juga perlu dikontekstualisasikan dan dikaitkan dengan kebutuhan psikologis individu (Pam Rajput, 2001; Tiwari, 2001; Cornwall & Brock, 2005). Lebih jauh, perhatian yang diperlukan dalam pemberdayaan untuk seorang individu atau kelompok adalah potensi dampaknya pada orang lain. Dampaknya dapat menyebabkan ketidakberdayaan orang lain. Dengan demikian, pemberdayaan membutuhkan kehati-hatian akan kecenderungan dampak paradoksnya, dan karena itu perlu dipraktikkan secara dialektis dan melalui beragam cara (Rappaport, 1987).
Dalam sebuah diskusi dan lokakarya, Widya Ayu Kusumawardani (lebih dikenal dengan Ayu), salah satu praktisi Joged Amerta di Indonesia, menegaskana bahwa Joged Amerta kental dengan pemberdayaan perempuan. Dalam lokakarya tersebut, kami membahas dan menekankan kontribusi Joged Amerta pada pengalaman dan pengembangan hubungan intrapersonal dan interpersonal. Pengalaman itu kami kaitkan dengan situasi perempuan yang sering kali dikondisikan untuk menyesuaikan diri dengan peran gender yang kaku, atau berdasarkan ekspektasi masyarakat. Gerak Amerta mendobrak batasan-batasan kekakuan dengan mendorong spontanitas dan orisinalitas diri. Dalam sesi-sesi gerak misalnya, gerak dilakukan tanpa ketetapan peran sebelumnya. Gerak-gerak bebas tak berformat tersebut memungkinkan setiap individu, termasuk khususnya perempuan untuk mengeksplorasi cara-cara untuk melepaskan diri dari narasi-narasi yang membatasi, dan selanjutnya memampukan untuk mendefinisikan ulang identitas diri dengan cara mereka sendiri, berdasarkan pada hasrat dan kebutuhan tubuhnya. Menurut Reeve (2016) dan Weber (2021), Joged Amerta mendorong para praktisi untuk mengembangkan potensi diri sepenuhnya. Praktisi dapat memainkan peran-peran gender untuk menemukan potensi tertinggi, atau dapat bergerak dengan fokus untuk melampaui peran gender yang kaku. Bersama Ayu dan beberapa teman lainnya, kami berlatih dan bergerak bersama, merefleksikan dan menyadari bahwa gerak-gerak kami membawa kami ke dalam hubungan yang lebih dalam dengan diri (intrapersonal) dan dengan lingkungan sekitar: sosial (interpersonal) hingga alam (ecological). Bangunan hubungan dengan lingkungan tersebut dapat membantu praktisi untuk melampaui cara mereka berperilaku sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, dan menawarkan cara baru untuk mengekspresikan diri mereka, termasuk melampaui batasan-batasan gender yang kaku. Merujuk pada gerak-gerak tersebut, Joged Amerta adalah pengalaman, pendekatan dan perspektif dalam mengembangkan pengalaman psikofisik individu dan kelompok (Bloom, 2006). Atas dasar pengalaman itu, saya memahami bahwa Joged Amerta merupakan salah satu alternatif yang efektif dalam program pemberdayaan perempuan. Pendekatan dan persepktif Joged Amerta tidak hanya mendefinisikan ulang pemberdayaan yang memungkinkan perempuan untuk bergerak bebas menembus batas, mengekspresikan diri secara autentik, dan hidup dengan berani, tetapi juga mengusung dekolonisasi pengetahuan terapeutik dalam psikologi.
Referensi
Adamski, A (2024). “The Development of the Child’s Personality through Movement and Art”. PriMera Scientific Surgical Research and Practice 3.2 (2024): 21-34.
Aspy, C. B., & Sandhu, D. S. (1999). Empowering women for equity: A counseling approach. American Counseling Association, Alexandria, VA. 22304
Bloom, K. (2006). Articulating Preverbal Experience in Emotion. Vol.XIV No.15 ISSN 1460-1281
Bloom, K., Galanter, M., & Reeve, S. (2018). Glimpses of Suprapto Suryodarmo’s Amerta Movement in Practice. Triarchy Press. ISBN: 978-1-909470-32-3
Chattopadhyay, A. (2005). Women and entrepreneurship. Yojana, a Monthly Journal of Ministry of Information and Broadcasting, 5(1), 123-156.
Cohen, M. I. (2016). Review of Embodied Lives: Reflections On the Influence of Suprapto Suryodarmo and Amerta Movement ed. by Katya Bloom, Margit Galanter, and Sandra Reeve. Asian Theatre Journal, 33(1), 233–236. https://doi.org/10.1353/atj.2016.0009
Cornwall, A., & Brock, K. (2005). Beyond Buzzwords: Poverty Reduction Participation and Empowerment in Development Policy. UNRISD 10.
Dean, S. E. (2011). Somatic movement and costume: A practical, investigative project. Journal of Dance & Somatic Practices, 3(1), 167–182. https://doi.org/10.1386/jdsp.3.1-2.167_1
Enriquez V (1995) From Colonial to Liberation Psychology. Manila: De La Salle University Press.
Freire, P. (1974). Pedagogy of the Oppressed .New York. Herder and Herder.
Henrich, J., Heine, S. J., & Norenzayan, A. (2010). The weirdest people in the world?. The Behavioral and brain sciences, 33(2-3), 61–135. https://doi.org/10.1017/S0140525X0999152X
Hameed, M., O’Doherty, L., Gilchrist, G., Tirado-Muñoz, J., Taft, A., Chondros, P., Feder, G., Tan, M., & Hegarty, K. (2020). Psychological therapies for women who experience intimate partner violence. The Cochrane database of systematic reviews, 7(7), CD013017. https://doi.org/10.1002/14651858.CD013017.pub2
Kingfisher C (2007) Discursive constructions of homelessness in a small city in the Canadian prairies. American Ethnologist 34: 91–107.
Patricia, S. E. D., & Mulvaney, B. M. (2003). Women, power., & ethnicity – Working toward reciprocal empowerment. The Haworth Press, New York, London, Oxford.
Rajput, P. (2001). Women’s political participation in India: An agenda for empowerment. In Promilla Kapur (ed.), Empowering the Indian Women, New Delhi, Ministry of Information and Broadcasting, Government of India.
Rappaport, J. (1987). Terms of empowerment/exemplars of prevention: Toward a theory for community psychology. American Journal of Community Psychology, 15, 121-148.
Reeve, S. (2011a). Nine Ways of Seeing a Body (Ed.). Axminster: Triarchy Press. https://doi.org/10.1037/e545962012-002
Reeve, S. (2011b). Reading, Gardening and “Non-Self”: Joged Amerta and its emerging influence on ecological somatic practice. Journal of Dance and Somatic Practices, 2(2), 189-203. https://doi.org/10.1386/jdsp.2.2.189_1
Reeve, S. (2016). Personal interview with Rebecca Weber. 4 March.
Sushama, S. (1998). Women and Empowerment- Approach and Strategies, Discovery Publishing House, Delhi.
Tiwari, R. S. (2001). Feminism and globalization versus Indian women’s empowerment. In Abha Avasti and A.K. Srivastava (eds.), Modernity, Feminism and Women’s Empowerment, Rawat Publication, New Delhi.
Weber, R. (2021). Somatics: Practices Toward Developing Environmental Empathy. Avant. XII. 1-21. 10.26913/avant.2021.02.06.
Klik tautan ini untuk artikel versi bahasa Inggris
______________________
Martha Hesty Susilowati adalah seorang profesional dengan sepuluh tahun pengalaman bekerja di LSM dan konsultan, dengan fokus pada kesetaraan gender dan inklusi sosial. Pekerjaan saya melibatkan kerja lapangan, penelitian, dan penilaian di daerah pedesaan di seluruh Indonesia. Saya juga mengelola program yang mendukung pencegahan dan intervensi terhadap GBV terutama di kalangan perempuan dan anak perempuan. Secara akademis, saya memegang gelar sarjana psikologi, menyelesaikan kursus tentang Gender & Seksualitas di Universiteit van Amsterdam, dan saat ini sedang melakukan tesis dan proyek penelitian tentang gerakan sosial-lingkungan di CRCS UGM. Saya mengetahui Joged Amerta di acara Srawung Rukun, kemudian mengikuti beberapa lokakarya dari Diane Butler & Ayu Wardhani sebagai praktisi Joged Amerta. Dari momen-momen ini, ia tertarik untuk mengetahui dan mempelajari lebih lanjut tentang Joged Amerta.
[wpdm_package id=’20104′]