
oleh Diane Butler
Kata Pengantar untuk Pembaca
Melihat panggilan dari CRCS UGM untuk berkontribusi artikel dan video bertema “Amerta Movement” dari berbagai perspektif, saya berpikir bahwa akan bermanfaat untuk berbagi suatu korespondensi tahun 2010 dengan Suprapto Suryodarmo (1945–2019)—lebih akrab disapa Pak Prapto atau Prapto—dalam bahasa Indonesia yang dipacu oleh pertanyaannya kepada saya: “Apa perbedaan antara terapi tari dan tari?”
Bagi praktisi tari/gerak pada pertengahan tahun 2020-an mungkin tidak mengherankan jika istilah-istilah tertentu diangkat dalam sebuah diskusi atau artikel seperti tari, terapi tari, meditasi, dan juga praktik somatik (meskipun istilah somatik di ranah seni Indonesia baru muncul pada tahun 2000-an). Sebenarnya, esai singkat ini berangkat dari ide bahwa salah satu proses Prapto sejak awal 1970-an adalah untuk berdiskusi tentang konsep-konsep gerak, mengupas ide-ide, dan kemudian mencoba “under stand” melalui pengalaman latihan gerak. Ia juga sering ingin tahu tentang pendekatan praktisi berbasis-gerak lain dalam arti dialogis. Bukan untuk memegang identitas atau kategori karya; melainkan untuk “re-cognizing” (mengenali lagi) bahwa pemahaman dan kesadaran seseorang terhadap seni gerak dan kehidupan akan selalu berubah sesuai dengan lingkungan dan perjalanan waktu.
Jadi, pertama, izinkan saya memberikan suatu gambaran fase itu dalam perkembangan praktik Joged Amerta saat Prapto mengajukan pertanyaannya mengenai terapi tari dan tari. Kemudian, saya akan membagi respons saya terhadapnya (asli dalam bahasa Indonesia). Setelah itu, esai saya mengajak pembaca untuk mendalami lebih jauh eksplorasi Prapto pada sumber seni gerak dengan menyediakan tautan ke situs web Amerta Movers untuk mengakses esai versi bahasa Inggrisnya tahun 2009 berjudul “Meditation in Dance: ‘Dance Meditation?’”. Artikel tersebut menyertakan bagan latihan yang Prapto rancang: The Idea of Joged Amerta.
Menjelang akhir 2009, Prapto diundang untuk menjadi pembicara pada seminar nasional yang diselenggarakan oleh Jurusan Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia (ISI), Surakarta. Prapto dikenal karena kiprahnya dalam mengembangkan seni pertunjukan ritual, terutama berkaitan dengan seni gerak melalui praktik Joged Amerta dan pendirian Padepokan Lemah Putih. Dalam seminar yang bertema “Seni Tari dalam Kehidupan Manusia” (19/12/2009) itu, Prapto membawakan topik “Meditasi dalam Tari: ‘Tari Meditasi?’”.
Dalam menggubah deskripsi lokakarya, korespondensi, dan ceramah umum; Prapto tidak menggunakan komputer. Ia lebih suka merenungkan secara lisan topik yang ia angkat dan meminta seseorang untuk mengetik topik tersebut termasuk revisinya. Prapto biasanya mengajak seorang mahasiswa program studi seni di suatu sekolah tinggi atau seniman atau pendidik seni sebagai juru ketiknya. Baginya, praktik mendengar, mengetik, dan membaca kembali secara lisan pada dasarnya merupakan semacam cara bimbingan bagi juru ketik untuk terlibat dalam menggali pola pikir dan ide serta mendengar dan menyuarakan kepekaan pada apa yang dikomunikasikan.
Demikianlah yang terjadi pada 12 Desember 2009 ketika Purnawan Andra (mahasiswa Jurusan Tari ISI Surakarta) ditugaskan oleh ketua program studi untuk mewawancarai Pak Prapto mengenai konsep keseniannya dan menuangkan hasil wawancara itu dalam bentuk makalah. Rupanya, kehendak Prapto sendirilah yang memilih Purnawan sebagai pencatat untuk makalah yang akan ia sajikan pada seminar nasional tersebut.
Dalam makalahnya, Prapto menjelaskan dan membedakan berbagai aspek konsep dan latihan gerak dalam Joged Amerta. Saat itu juga merupakan fase ketika ia sedang menyempurnakan istilah-istilah yang digunakan pada brosur lokakarya tahunan untuk program “Art in Amerta Movement” di Indonesia dan luar negeri. Jadi, rasanya wajar bahwa tak lama kemudian, pada awal Januari 2010, Prapto mengirimkan sebuah pesan singkat kepada saya melalui telepon genggamnya. Ia menanyakan, “Apa perbedaan antara terapi tari dan tari?” Maka, pada 28 Januari 2010, saya kirim suatu surat elektronik ke padanya dengan catatan sederhana dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.
Beberapa Butir tentang Terapi Tari/Gerak dan Tari (2010)
Selamat sore Pak Prapto. Tulisan ini berisi beberapa butir tentang terapi tari/gerak dan tari. Bukan tulisan “formal”, melainkan hanya beberapa ide sederhana . Pada bagian awal, saya mengutip suatu artikel* dari e-motion, publikasi dari Association for Dance Movement Therapy UK, dan dari situs web American Dance Therapy Association. Bagian terakhir merupakan pengertian saya dari pengalaman sebagai guru tari-gerak dan interarts yang berdialog dengan murid dan kawan-kawan seniman.
Nomenklatur dance therapy, yang juga disebut dance/movement therapy, adalah “penggunaan gerak secara psikoterapeutik untuk memelihara pengintegrasian emosional, sosial, kognitif, dan fisik pada individu”. Terapis tari/gerak memusatkan perhatian pada kelakuan gerak sebagaimana muncul dalam relasi terapeutik. Kelakuan ekspresif, komunikatif dan adaptif digunakan untuk perawatan.
Di budaya Eropa dan Anglo, seawal tahun 1609 ada tulisan di Inggris oleh seorang aktor John Lowin Roscio mengenai penggunaan tari untuk “tujuan kudus dan sehat”. Lalu, tahun 1837, W.A.F. Browne, seorang ahli bedah dan pengawas medis Crichton Royal Institution di Skotlandia, menulis tentang suatu ball (pesta dansa) yang digelar tahun 1835 untuk pasien wanita di suatu rumah sakit jiwa Perancis, “yang menimbulkan efek positif pada kondisi mentalnya, khususnya bagi yang menderita ‘melankolia.’”
Bahkan, Roscio meninjau acuan tentang tari dalam Bible dan pada tahun 1609 ia menulis pamflet dengan suatu bagian bertajuk “What sort of Dancing is more convenient for the health” (Jenis Tarian mana yang lebih cocok untuk kesehatan). Dengan huruf besar sesuai tulisan asli, Roscio menyampaikan:
Di antara tarian acuh tak acuh, tarian seperti yang kita pikirkan, yang pasti jumlahnya sedikit, yang seperti dilakukan untuk melatih tubuh yang agar kesehatan jasmani dapat dipelihara lebih baik karenanya dalam hal keragaman watak, yang ditemukan pada seluruh zaman pada umat manusia, tidak akan menjadi salah, untuk meletakkan satu kata dalam tujuan ini, untuk menyatakan jenis Tarian mana yang lebih cocok untuk ini dan untuk itu.
Tarian Itu yang secara kuat mengaduk tubuh, harus dipilih di antarnya, yang memiliki beberapa hambatan dalam cara-cara Air Kencing, atau hambatan lain yang serupa. Dan sebaliknya harus digunakan oleh orang-orang tersebut, yang menganggap Otak mereka sendiri lemah, atau kelemahan serupa di bagian lain. Tetapi untuk yang lain Tarian itu lebih cocok, yang melatih tubuh dengan ukuran agitasi yang sesuai. Oleh karena itu mengizinkan semua orang, yang biasanya melatih-diri dalam Tarian-Tarian, dengan cermat mengamati dan memandang konstitusi tubuh mereka: untuk niat, bahwa mereka sebaiknya tidak menggunakan segala jenis Tarian, yang dengan rasa jijik mungkin menyakitkan kulit wajah mereka: Mengingat secara tekun dalam diri mereka, dan begitu lebih dalam hal ini, untuk mengakui Tuhan sebagai Penulis semua hal yang baik: menjadi Rasul S. Paulus dalam Bab 4, Epistle pertama kepada Timotheus, yang mengutuk latihan fisik, ketika itu tidak dilaksanakan dengan rasa ketuhanan.
Juga di Eropa pada tahun 1910-an di bidang pendidikan anak-anak muncul metode Dalcroze yang dirumuskan oleh pemusik Émile Jaques-Dalcroze asal Swiss dan metode Eurythmy oleh filsuf dan arsitek Rudolph Steiner asal Austria. Keduanya menggunakan kesenian untuk memelihara pengintegrasian jiwa-raga anak-anak serta para remaja.
Pada tahun 1940-an secara jelas muncul bidang terapi gerak di Inggris dan di Amerika Serikat. Pada tahun 1942, Marian Chace, penari dalam grup Denishawn yang didirikan oleh Ruth St. Denis dan Ted Shawn yang mendirikan Jacob’s Pillow Dance Festival, mulai menggunakan tari dengan grup-grup di sebuah rumah sakit jiwa. Pada periode tersebut grup Denishawn juga dipengaruhi oleh koreografi Martha Graham, Mary Wigman dan Harold Kreutzberg. Marian tetap bekerja sebagai penari dan guru tari sambil belajar psikoterapi dan psikodrama, kemudian menggarap “Dance for Communication”. Pada tahun 1947, Marian menjadi orang pertama yang diakui sebagai terapis tari oleh institusi medis. Dua dekade kemudian muncul American Dance Therapy Association pada tahun 1966.
Dalam budaya Euro-Amerika juga ada upaya untuk membedakan antara terapi tari/gerak dan tari terapeutik. Tari terapeutik dapat dipraktikkan oleh guru tari yang tidak dilatih sebagai terapis tetapi bekerja dalam berbagai konteks seperti sekolah, studio, penjara, hunian lansia, dan sebagainya. Ada pendekatan gerak dan tari yang juga bisa disebut sebagai “bersekutu”, semisal Body-Mind Centering yang dirumuskan oleh Bonnie Bainbridge Cohen, Life Art Process yang dirumuskan oleh Anna Halprin, Authentic Movement yang dirumuskan oleh Janet Adler, 5Rhythms yang dirumuskan oleh Gabrielle Roth, dan lain-lain.
Dalam bidang seni rupa, musik dan teater, pada tahun 1930-an muncul pendekatan seni ritual yang berhubungan dengan penyembuhan. Seni perdukunan (shamanic) juga, khususnya dalam bidang teater dan seni rupa, dipadukan dengan gerak dan tari. Asosiasi Terapi Seni Amerika didirikan pada tahun 1969. Pendekatan lain adalah seni kontemplatif yang tidak hanya berdasarkan latihan vipassana Budhis, tetapi juga liturgis, yaitu tari kudus Kristen, atau Circle Dance yang banyak berasal dari budaya petani, gerak alam, dan sebagainya.
Yang menarik, beberapa tokoh terkemuka Euro-Amerika di bidang tari dan praktik somatik tidak belajar secara langsung dari orang budaya Timur di wilayah Asia atau Asia Tenggara. Mereka menghadapi penyakit atau tantangan dalam tubuhnya dan mencoba sembuh-diri melalui gerak dan tari. Kemudian, selanjutnya, mencoba mengembangkan cara agar orang lain juga bisa sembuh-diri melalui kebijaksanaan tubuh dan tari-geraknya.
Semoga catatan sederhana ini berguna. ~Diane
Ketika membaca kembali korespondensi di atas, saya teringat bahwa Prapto sering memprakarsai sesrawungan antarpraktisi berbasis gerak dari berbagai budaya yang menerangi keragaman pendekatan serta kedekatan. Ia menikmati pertukaran dengan beberapa inovator somatik Euro-Amerika yang punya latar belakang dalam tari seperti Anna, Gabriellem dan Bonnie. Barangkali Prapto mengajukan pertanyaan itu dalam bahasa Indonesia untuk merangsang respons saya dalam bahasa Indonesia tentang cara-cara dalam pelatihan tari-gerak kontemporer Barat dan aplikasi terapeutiknya (termasuk menyebut anteseden dari abad ke-17). Ketika ia meminta saya meneruskan catatan ini ke beberapa rekan seniman Indonesia, barangkali itu untuk merangsang mereka mengartikulasikan tradisi-tradisi Asia Tenggara dan juga teknik terkini. Dengan semangat dialog ini, Prapto juga menulis tentang praktik-praktik geraknya dari pandangan “seni dalam Joged Amerta”.
The Idea of Joged Amerta bagan oleh Suprapto Suryodarmo (2009)
Topik obrolan di atas hanyalah satu dari banyak tema tentang seni gerak yang Prapto diskusikan bertahun-tahun bersama orang-orang dari berbagai bidang dan negara. Akhir April 2010, ia ingin membuat versi bahasa Inggris makalah “Meditasi dalam Tari: ‘Tari Meditasi?’” dan meminta bantuan Supriyati Pantarei, seorang pembuat film animasi 3D dan seniman performance asal Jawa. Lalu, Prapto meminta saya menerjemahkan dan hasilnya bertajuk “Meditation in Dance: “Dance Meditation?”. Halaman terakhir berisi bagan bertajuk The Idea of Joged Amerta. Bagan buatan Prapto ini kemudian disempurnakan dalam bentuk grafis oleh Kurnia Arianto dan R.S. Lawu, keduanya merupakan staf Padepokan Lemah Putih. Prapto bilang jika seseorang ingin belajar pendekatan seni gerak yang ia kembangkan sejak tahun 1970-an, mereka dapat melihat bagan The Idea of Joged Amerta sebagai peta untuk latihan.
* Ringkasan dan teks yang dikutip diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Diane Butler.
Referensi
American Dance Therapy Association (ADTA). (n.d.). “What is Dance/Movement Therapy”
Butler, Diane and McHugh, Jamie. (2001). Body Melting/Nature Melting: an exchange between Anna Halprin & Suprapto Suryodarmo. In Contact Quarterly: Journal of Dance & Improvisation, Vol. 26, No. 1, winter/spring.
Butler, Diane; King, Evangel; and Maltrud, Kristine. (2003). Art Human Nature: An International Gathering of Movement Artists. With contributing writers: Helen Poynor, Annie Brook, and Jamie McHugh; video stills: Pooh Kaye. In Contact Quarterly: Journal of Dance & Improvisation, Vol. 28, No. 2 summer/fall.
Digiseni LPPM-UNS. (2005). One Lesson from the Garden with Suprapto Suryodarmo video by Digiseni LPPM-UNS, Surakarta. [Indonesian with English subtitles archived on Michael Sapp youtube channel] https://www.youtube.com/watch?v=SpImCoXGU0M
Meekums, Bonnie and Casson, John. (2007). “The Earliest Document of Dance Movement Therapy in Britain?”
In e-motion Vol. XIV, No. 22, Winter, pp.6–7. Association for Dance Movement Therapy (ADMT) U.K. See in particular section by Roscio. Available online at: https://admp.org.uk/wp-content/uploads/2007Winter.pdf
Morgan, Kate Tarlow and Butler, Diane (transcribers). (2012). An Improvised Conversation with Bonnie Bainbridge-Cohen and Suprapto Suryodarmo. In Currents: a journal of the Body-Mind Centering® Association, winter.
Padepokan Lemah Putih. (2010). Art in Amerta Movement 2010–2011 Program in Indonesia.
Suryodarmo, Suprapto. (2009). “Meditasi dalam Tari: ‘Tari Meditasi?’”. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Seni Tari dalam Kehidupan Manusia. Departemen Pendidikan Nasional, Jurusan Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia (ISI) Surakata. 19 Desember. [“Meditation in Dance: ‘Dance Meditation?’”], translation by Diane Butler. English version and The Idea of Joged Amerta diagram available on the Amerta Movers website at: https://amertamovers.wordpress.com/wp-content/uploads/2021/11/meditation-in-dance_dance-meditation_by-suprapto-suryodarmo-2009.pdf
Klik tautan ini untuk artikel versi bahasa Inggris
______________________
Diane Butler , Ph.D., adalah seniman tari-gerak, pendidik, dan direktur program budaya asal Amerika Serikat yang telah berkolaborasi dengan seniman tradisional dan kontemporer dari beragam budaya dan agama di Amerika Utara dan Selatan, Eropa, dan Asia selama empat dekade dan sejak tahun 2001 ia menetap di Desa Bedulu dan Desa Tejakula, Bali, Indonesia. Pada tahun 2001 bersama Suprapto Suryodarmo, ia mendirikan Dharma Nature Time, suatu yayasan internasional untuk mendukung antarbudaya dalam lingkungan budaya melalui “sharing” dalam kesenian, ketuhanan, dan alam. Sejak tahun 1997, Diane membina lokakarya Awakening InterArts dan menjadi pengajar tamu di berbagai negara.
[wpdm_package id=’20102′]