Sebagai the City of Tolerance, Yogyakarta dikenal sebagai miniatur Indonesia, sebuah negara yang dibangun diatas kesadaran akan keragaman. Namun saat ini apa yang menjadi masalah dilevel nasional, Indonesia, juga terjadi di level lokal, Yogyakarta, yaitu masalah pengelolaan keragaman yang ditandai oleh maraknya tindakan-tindakan intoleransi dan konflik-konflik terkait berbedaan. Demikian salah satu bahan evaluasi dan refleksi pada pembukaan Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) ketiga di Kaliurang, Yogyakarta, 24 April 2014. Kegiatan yang bertujuan untuk melakukan konsolidasi antara elemen akademik dengan aktivis ini terselenggara atas kerjasama antara CRCS dengan American Friends Service Committee. Diharapkan upaya ini dapat berkontribusi dalam mewujudkan Yogyakarta sebagai the City of Tolerance, demikian papar Dr. Samsul Maarif, ketua pelaksana prodi Agama dan Lintas Budaya (CRCS).
Sekretaris Nasional Gus Durian, Alissa Wahid yang dihadirkan pada acara pembukaan mengungkapkan, meskipun komunikasi pemuka agama relatif masih baik, namun terdapat perkembangan yang mulai mengkhawatirkan, diantaranya adalah munculnya spanduk-spanduk kebencian kepada kelompok lain, anti syiah maupun anti komunis, adanya insiden-insiden protes terhadap perbedaan dan kelompok minoritas. Serta penyelesaian masalah-masalah itu yang cenderung instan dan segera bergerak ke arah isu lain dengan cepat, sehingga insiden dan konflik tersebut akan mudah terulang.
Dihadapan 25 peserta dari berbagai organisasi di Yogyakarta, Alissa Wahid menilai bahwa kondisi Indonesia saat ini sangat ironis. Menurutnya Indonesia yang berdiri atas kesepakan bersama dari berbagai suku bangsa seharusnya menyadari bahwa keberagaman menjadi sesuatu yang given dan dihormati. Namun, ruang-ruang diskusi pengelolaan keragaman menjadi sangat resmi dan harus dilakukan berulang-ulang sebagai upaya untuk mempertahankan keragaman tersebut, karena semakin langkanya penghormatan dan pengakuan hak-hak kewargaan, khususnya untuk kelompok minoritas.
Lebih lanjut Alissa menerangkan, efek globalisasi menyebabkan komunitas tidak lagi terbentuk berdasarkan kekerabatan dan kedekatan geografis. Apa yang dulu disebut suku saat ini lebih pada kelompok masyarakat berdasarkan kesamaan ideologi dan minat. Konsekuensinya arus tersebut tidak bisa ditahan, dimana seseorang memiliki kesamaan minat dari berbagai penjuru dunia. Sayangnya, hal itu tidak dibarengi dengan kepercayaan terhadap orang yang berbeda di sekililingnya. Dengan demikian, tumbuh perasaan curiga dan jika pun tidak terdapat konflik, hanya berdasarkan pada toleransi semu semata.
Alissa menambahkan terdapat beberapa indikator masyarakat yang menuju pada kondisi destruktif, salah satunya adalah akses mendapatkan senjata yang mudah. Indonesia tidak sampai pada kondisi tersebut namun masih terdapat indikator masyarakat destruktif lainnya yang ditemukan, yaitu bagaimana Negara (maupun kelompok mayoritas) memperlakukan masyarakat yang rentan (minoritas) sebagai sesuatu yang harus dikendalikan. Dalam pengeloaan konflik, kelompok tersebut dianggap sebagai ancaman yang harus dilokalisir. Berbeda dengan indikator masyarakat berkembang dimana masyarakat kecil tidak dilihat sebagai minoritas, tetapi warga sipil yang seharusnya tetap mendapatkan hak-hak kewarganegaraannya.