Ahmad Syarif H | CRCS | Article
MASALAH kerusakan lingkungan bukan lagi suatu hal yang baru di telinga kita. Saking familiarnya hal tersebut, kita dengan mudah dan sistematis dapat menunjuk apa saja jenis kerusakan lingkungan yang terjadi serta menyebutkan akibat yang akan muncul dari kerusakan tersebut.
Misalnya, dengan cepat dan sistematis kita tahu bahwa ekploitasi alam dan penebangan hutan secara berlebihan akan mengakibatkan banjir, tanah longsor atau kekeringan. Membuang limbah industri ke sungai akan menggangu kematian ikan dan merusak habitatnya. Penangkapan ikan dengan dinamit akan menyebabkan rusaknya terumbu karang dan biota laut lainnya, dan masih banyak lagi jenis sebab akibat yang terjadi dalam lingkungan hidup kita.
Dari beberapa contoh pengetahuan kita terhadap sebab akibat dari tindakan terhadap lingkungan hidup di atas sayangnya ia tidak terjadi dalam pemeliharaan dan atau perawatan lingkungan hidup. Pengetahuan kita hanya seakan terhenti pada ‘mengetahui’ tanpa diikuti oleh kesadaran akan perawatan atau pemeliharaan lingkungan hidup. Sekarang pertanyaannya adalah, apakah kita tidak lagi bisa berfikir secara jernih, logis serta sistematis lagi sehingga pengetahuan atau tindakan kita untuk mengeksploitasi alam hanya terhenti pada pengetahuan atau tindakan pengekploitasian semata tanpa diikuti dengan rasa tanggung jawab untuk memelihara dan merawatnya.
Lemahnya kesadaran kita akan arti penting memelihara dan menjaga lingkungan hidup mungkin disebabkan oleh anggapan kita yang menganggap tindakan ekploitasi tersebut adalah hal yang wajar. Wajar karena kita adalah manusia yang di ciptakan oleh Tuhan sebagai khalifah, sebagai pengganti-Nya sekaligus penguasa atas ciptaan-Nya yang lain di muka bumi.
Sebagai penguasa, maka manusia berhak melakukan apa saja terhadap yang dikuasainya termasuk terhadap alam. Menebang pohon untuk kebutuhan manusia adalah hal yang sangat wajar, misalnya. Menambang untuk mencukupi keinginan hidup termasuk hal yang lumrah, atau dalam skala kecil membuang sampah sembarangan adalah juga termasuk hal yang biasa, tidak ada aturan tegas baik itu pemerintah apalagi agama yang mengatur hal tersebut. Namun, apakah semua anggapan kita di atas sepenuhnya benar? Dan apakah pemaknaan kita terhadap istilah khalifah seperti tersebut di atas sudah sesuai dengan sifat Kasih, sifat Sayang, dan sifat Pemeliharaan Allah atas semua ciptaanNya?
Makna Ke-khalifah-an
Jabatan khalifah untuk manusia secara ekplisit telah disebutkan oleh Allah di banyak ayat dalam al-Quran. Salah satu ayat yang paling masyhur tentang ke-khalifah-an manusia tersebut adalah ayat 165 QS. Al-Anam ; Dan Dia lah yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di muka bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat.
Namun apa makna istilah khalifah dalam ayat di atas? Istilah khalifah dalam bahasa Arab sering diartikan sebagai pengganti yang dalam konteks ‘khalifatullah’ diartikan sebagai menggantikan malaikat untuk mengurus bumi atau mendapat amanah dari Allah untuk mengelola bumi. Sedangkan dalam bahasa Inggris, istilah ini sering diterjemahkan dengan istilah viceregent yang berarti wakil yang berfungsi untuk mengawasi, menata atau menjaga serta melindungi suatu wilayah (guardianship).
Berdasarkan makna pemakaian kata khalifah di atas, kita bisa mengerti bahwa jabatan khalifah yang disandang oleh manusia itu berarti sebuah jabatan yang diamanahkan oleh Allah kepada manusia untuk mengawasi, menata, menjaga atau melindungi semua ciptaanNya yang terdapat di muka bumi, termasuk alam atau lingkungan hidup. Bukan sebaliknya, yakni sebuah jabatan yang difungsikan untuk menguasai yang bertendensi mengekploitasi bumi atau alam seperti yang selama ini kita pahami.
Tugas pengawasan dan penjagaan tersebut tentunya bukan berarti manusia dilarang untuk memanfaatkan hasil atau kekayaan yang dimiliki oleh atau berasal dari bumi. Memanfaatkan hasil atau kekayaan bumi untuk kebutuhan manusia itu bahkan dianjurkan oleh Allah selama hal tersebut tidak melampaui batas atau mengarah pada tindakan ekploitatif terhadap bumi.
Hal ini misalkan termaktub dalam QS. Al-Baqarah; 60, Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan, dan QS. Al-Araf: 31, Hai Manusia Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Dua dari banyak ayat yang menjelaskan hal serupa, cukup bagi kita sebagai acuan untuk merenungi bahwa tindakan kita yang berlebihan terhadap lingkungan merupakan suatu hal yang tidak mencerminkan sifat seorang khalifah seperti yang telah Allah amanahkan kepada kita, karena di samping hal tersebut tidak mencerminkan sifat Kasih, sifat Sayang, dan sifat Maha Pemeliharanya Allah sebagai ‘aktor’ yang kita wakili, sikap berlebihan dan menguasai (mengekploitasi) juga mengindikasikan arogansi dan kepongahan kita terhadap ciptaan Allah yang lain.
Apa yang Harus Dilakukan?
Sebagai pengemban amanah menjadi khalifah ada beberapa hal yang mesti dipertimbangkan untuk dilakukan. Sebagai pengambil kebijakan, misalnya, maka peraturan dan atau perundang-undangan yang berwawasan keadilan lingkungan harus ditegakkan secara maksimal tidak hanya sebatas dalam ranah retorika. Sebagai seorang pendidik, penanaman nilai-nilai ekologi seperti menghargai, rasa sayang, dan ramah terhadap alam dan lingkungan, kepada peserta didik harus dikembangkan dalam setiap proses pembelajaran yang tentunya diawali dengan sikap keteladan. Sebagai seorang petani, pedagang, dan peran sosial masyarakat lainnya, mengerti dan memahami akan pentingnya peranan alam atau lingkungan sebagai sumber kehidupan kita harus terus disadari dan diejawantahkan dalam setiap aksi dan aktifitas sehari-hari.
Sebagai seorang agamawan, pemahaman akan teks-teks keagamaan yang berwawasan lingkungan harus mulai digalakkan, mulai dari materi-materi ceramah yang akan disampaikan, perumusan hukum-hukum islam yang akan melahirkan fiqh lingkungan (Fiqh al-Biah), hingga mengadakan aksi-aksi social yang berhubungan dengan pelestarian lingkungan seperti eco-pesantren harus diprioritaskan dalam program-program keagamaan sebagai salah satu bagian dari usaha dalam menjalani peran sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Dengan adanya kesadaran dari masing-masing kita dalam memahami tugas ke-khalifah-an yang telah Allah amanahkan ke pundak kita, pengrusakan terhadap lingkungan atau alam sebagai sumber kehidupan kita kiranya bisa diminimalisasi dan atau bahkan diakhiri, semoga.***
Mahasiswa CRCS UGM, Angkatan 2010
NB: Artikel ini dimuat oleh Tribun Bangka Edisi 22 Juli 2011