• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Artikel
  • Khalifah dan Pelestarian Lingkungan

Khalifah dan Pelestarian Lingkungan

  • Artikel
  • 28 July 2011, 00.00
  • Oleh:
  • 0

Ahmad Syarif H | CRCS | Article

MASALAH kerusakan lingkungan bukan lagi suatu hal yang baru di telinga kita. Saking familiarnya hal tersebut, kita dengan mudah dan sistematis dapat menunjuk apa saja jenis kerusakan lingkungan yang terjadi serta menyebutkan akibat yang akan muncul dari kerusakan tersebut.

Misalnya, dengan cepat dan sistematis kita tahu bahwa ekploitasi alam dan penebangan hutan secara berlebihan akan mengakibatkan banjir, tanah longsor atau kekeringan. Membuang limbah industri ke sungai akan menggangu kematian ikan dan merusak habitatnya. Penangkapan ikan dengan dinamit akan menyebabkan rusaknya terumbu karang dan biota laut lainnya, dan masih banyak lagi jenis sebab akibat yang terjadi dalam lingkungan hidup kita.

Dari beberapa contoh pengetahuan kita terhadap sebab akibat dari tindakan terhadap lingkungan hidup di atas sayangnya ia tidak terjadi dalam pemeliharaan dan atau perawatan lingkungan hidup. Pengetahuan kita hanya seakan terhenti pada ‘mengetahui’ tanpa diikuti oleh kesadaran akan perawatan atau pemeliharaan lingkungan hidup. Sekarang pertanyaannya adalah, apakah kita tidak lagi bisa berfikir secara jernih, logis serta sistematis lagi sehingga pengetahuan atau tindakan kita untuk mengeksploitasi alam hanya terhenti pada pengetahuan atau tindakan pengekploitasian semata tanpa diikuti dengan rasa tanggung jawab untuk memelihara dan merawatnya.

Lemahnya kesadaran kita akan arti penting memelihara dan menjaga lingkungan hidup mungkin disebabkan oleh anggapan kita yang menganggap tindakan ekploitasi tersebut adalah hal yang wajar. Wajar karena kita adalah manusia yang di ciptakan oleh Tuhan sebagai khalifah, sebagai pengganti-Nya sekaligus penguasa atas ciptaan-Nya yang lain di muka bumi.

Sebagai penguasa, maka manusia berhak melakukan apa saja terhadap yang dikuasainya termasuk terhadap alam. Menebang pohon untuk kebutuhan manusia adalah hal yang sangat wajar, misalnya. Menambang untuk mencukupi keinginan hidup termasuk hal yang lumrah, atau dalam skala kecil membuang sampah sembarangan adalah juga termasuk hal yang biasa, tidak ada aturan tegas baik itu pemerintah apalagi agama yang mengatur hal tersebut. Namun, apakah semua anggapan kita di atas sepenuhnya benar? Dan apakah pemaknaan kita terhadap istilah khalifah seperti tersebut di atas sudah sesuai dengan sifat Kasih, sifat Sayang, dan sifat Pemeliharaan Allah atas semua ciptaanNya?

Makna Ke-khalifah-an

Jabatan khalifah untuk manusia secara ekplisit telah disebutkan oleh Allah di banyak ayat dalam al-Quran. Salah satu ayat yang paling masyhur tentang ke-khalifah-an manusia tersebut adalah ayat 165 QS. Al-Anam ; Dan Dia lah yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di muka bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat.

Namun apa makna istilah khalifah dalam ayat di atas? Istilah khalifah dalam bahasa Arab sering diartikan sebagai pengganti yang dalam konteks ‘khalifatullah’ diartikan sebagai menggantikan malaikat untuk mengurus bumi atau mendapat amanah dari Allah untuk mengelola bumi. Sedangkan dalam bahasa Inggris, istilah ini sering diterjemahkan dengan istilah viceregent yang berarti wakil yang berfungsi untuk mengawasi, menata atau menjaga serta melindungi suatu wilayah (guardianship).

Berdasarkan makna pemakaian kata khalifah di atas, kita bisa mengerti bahwa jabatan khalifah yang disandang oleh manusia itu berarti sebuah jabatan yang diamanahkan oleh Allah kepada manusia untuk mengawasi, menata, menjaga atau melindungi semua ciptaanNya yang terdapat di muka bumi, termasuk alam atau lingkungan hidup. Bukan sebaliknya, yakni sebuah jabatan yang difungsikan untuk menguasai yang bertendensi mengekploitasi bumi atau alam seperti yang selama ini kita pahami.

Tugas pengawasan dan penjagaan tersebut tentunya bukan berarti manusia dilarang untuk memanfaatkan hasil atau kekayaan yang dimiliki oleh atau berasal dari bumi. Memanfaatkan hasil atau kekayaan bumi untuk kebutuhan manusia itu bahkan dianjurkan oleh Allah selama hal tersebut tidak melampaui batas atau mengarah pada tindakan ekploitatif terhadap bumi.

Hal ini misalkan termaktub dalam QS. Al-Baqarah; 60, Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan, dan QS. Al-Araf: 31, Hai Manusia Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Dua dari banyak ayat yang menjelaskan hal serupa, cukup bagi kita sebagai acuan untuk merenungi bahwa tindakan kita yang berlebihan terhadap lingkungan merupakan suatu hal yang tidak mencerminkan sifat seorang khalifah seperti yang telah Allah amanahkan kepada kita, karena di samping hal tersebut tidak mencerminkan sifat Kasih, sifat Sayang, dan sifat Maha Pemeliharanya Allah sebagai ‘aktor’ yang kita wakili, sikap berlebihan dan menguasai (mengekploitasi) juga mengindikasikan arogansi dan kepongahan kita terhadap ciptaan Allah yang lain.

Apa yang Harus Dilakukan?

Sebagai pengemban amanah menjadi khalifah ada beberapa hal yang mesti dipertimbangkan untuk dilakukan. Sebagai pengambil kebijakan, misalnya, maka peraturan dan atau perundang-undangan yang berwawasan keadilan lingkungan harus ditegakkan secara maksimal tidak hanya sebatas dalam ranah retorika. Sebagai seorang pendidik, penanaman nilai-nilai ekologi seperti menghargai, rasa sayang, dan ramah terhadap alam dan lingkungan, kepada peserta didik harus dikembangkan dalam setiap proses pembelajaran yang tentunya diawali dengan sikap keteladan. Sebagai seorang petani, pedagang, dan peran sosial masyarakat lainnya, mengerti dan memahami akan pentingnya peranan alam atau lingkungan sebagai sumber kehidupan kita harus terus disadari dan diejawantahkan dalam setiap aksi dan aktifitas sehari-hari.

Sebagai seorang agamawan, pemahaman akan teks-teks keagamaan yang berwawasan lingkungan harus mulai digalakkan, mulai dari materi-materi ceramah yang akan disampaikan, perumusan hukum-hukum islam yang akan melahirkan fiqh lingkungan (Fiqh al-Biah), hingga mengadakan aksi-aksi social yang berhubungan dengan pelestarian lingkungan seperti eco-pesantren harus diprioritaskan dalam program-program keagamaan sebagai salah satu bagian dari usaha dalam menjalani peran sebagai khalifah Allah di muka bumi.

Dengan adanya kesadaran dari masing-masing kita dalam memahami tugas ke-khalifah-an yang telah Allah amanahkan ke pundak kita, pengrusakan terhadap lingkungan atau alam sebagai sumber kehidupan kita kiranya bisa diminimalisasi dan atau bahkan diakhiri, semoga.***

Mahasiswa CRCS UGM, Angkatan 2010

NB: Artikel ini dimuat oleh Tribun Bangka Edisi 22 Juli 2011

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

A M P A T Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan A M P A T
Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan aksi simsalabim dengan mencabut empat konsesi tambang di salah satu gugusan Red Line. Aksi "heroik" itu terlihat janggal ketika perusahaan yang paling bermasalah dalam perusakan lingkungan, bahkan yang menjadi pusat viral, justru dilindungi. Tentu bukan karena cocokologi dengan nama Raja Ampat sehingga hanya empat perusahaan yang dicabut konsesinya. Bukan cocokologi juga ketika Raja Ampat akan menjadi lokus tesis yang akan diuji esok di CRCS UGM. Berkebalikan dengan aksi badut jahat di Raja Ampat, @patricia_kabes akan bercerita bagaimana komunitas masyarakat di Aduwei mengelola laut dengan lestari melalui sasi. Berangkat dari negeri timur, peraih beasiswa LPDP ini justru menjadi yang pertama di angkatannya untuk menambahkan dua huruf pada akhir namanya.
For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju