Sudarto | CRCS | Artikel
Harmoni kemajemukan keyakinan di Indonesia akhir-akhir ini sering mengalami ujian dengan munculnya sikap-sikap intoleran dari kelompok masyarakat yang merasa mayoritas. Sikap intoleran ini seringkali ditunjukkan dengan tindak kekerasan yang merenggut korban jiwa. Pemerintah yang diharapkan dapat melindungi hak berkeyakinan dan beribadah warga negaranya acapkali tidak hadir dan ambigu bahkan tidak adil dalam menyikapi tindakan-tindakan kekerasan yang dilatarbelakangi oleh perbedaan keyakinan ini. Berlapis-lapis kepentingan juga semakin menyulitkan proses pencarian keadilan bagi kelompok-kelompok yang dianggap minoritas.
Sebagai bagian dari kegiatan memperingati hari Perdamaian Internasional (HPI) dan Hari Tanpa Kekerasan Internasional (HTKI), beberapa waktu lalu CRCS, PSKP (Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian), Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga dan Institute of International Studies (IIS), UGM, mengadakan diskusi publik dengan tajuk, ”Agama, Kekerasan, dan Politik Penodaan: Membedah Kasus Sunni – Syiah di Sampang”. Empat orang pembicara yang dihadirkan untuk mengulas dari berbagai perspektif kasus kekerasan antara kelompok Sunni dan Syi’ah ini diantaranya: Dr. Zainal Abidin Bagir dari CRCS yang berbicara dari sudut pandang politik penodaan agama; Sahlan Said, S.H., mantan Hakim yang sekaligus salah satu anggota tim eksaminator proses hukum pimpinan kelompok Syi’ah Sampang (Tajul Muluk); A.M. Safwan, pengasuh Ponpes Murtadha Muthahhari Rausyan Fikr Institute, yang mengupas perbedaan mashab Sunni-Syiah dan kesalahpahaman yang sering memicu konflik antara sunni-syiah; serta Samsurizal Panggabean, MS., dari PSKP yang mengulas kasus ini dari perspektif konflik dan resolusi konflik.
Zainal Abidin menyampaikan bahwa kekerasan yang dialami komunitas Syiah di Sampang, Madura, telah terjadi sejak tahun 1980. Rentetan kekerasan ini terus berlangsung hingga terjadi ledakan kekerasan dan penyerangan pada Agustus 2012 lalu yang memakan korban jiwa dan harta benda. Kekerasan ini, sedikit atau banyak, termotivasi oleh pernyataan dari tokoh-tokoh agama dengan bahasa agama. Selain didorong oleh motivasi persaingan internal keluarga yang berbeda faham antara Rois (Sunni) dan Tajul Muluk (Syiah), pemicu lainnya adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Surabaya yang menyebutkan bahwa ajaran Syi’ah sebagai sesat. Zainal Abidin menambahkan, secara umum, peristiwa kekerasan selama ini di berbagai daerah di Indonesia adalah juga disebabkan oleh UU No. 1/PNPS/1965 yang sering dipahami dan ditafsirkan dengan tanpa memperhatikan secara serius asas kebebasan berkeyakinan dan beragama, sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Kata sakti ”penodaan agama” dalam undang-undang tersebut, yang juga dirujuk dalam KUHP pasal 156a, telah menjadi alat legitimasi untuk mengadili dan memenjarakan orang-orang yang memiliki keyakinan dan penafsiran yang berbeda dengan kelompok mainstream. Akibatnya, menurut Zainal Abidin, batasan atau pengertian antara perbedaan dengan penodaan menjadi kabur. Orang yang memiliki perbedaan penafsiran agama dengan kelompok dominan akan dituduh melakukan penodaan agama.
Dari sisi proses peradilan terhadap pimpinan Syiah Sampang (Tajul Muluk) yang dituduh melakukan penodaan agama, Sahlan Said menilai bahwa putusan hakim atas perkara ini tidak fair. Selain putusannya berdasarkan pertimbangan subyektif hakim tidak mengacu pada keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh terdakwa, dan persidangan itu pun tidak independen. Ketidakindependennya disebabkan oleh kuatnya tekanan dari massa anti-Syiah. Padahal menurut Sahlan, untuk menjaga netralitas dan independensi hakim, persidangan dapat dilakukan di luar daerah tempat kejadian seperti yang pernah dilakukan dalam kasus konflik Ambon dan Poso.
Lebih lanjut menurut Sahlan, dakwaan atas pimpinan Jama’ah Syiah Sampang itu selain didasarkan pada pasal penodaan agama, juga dikuatkan dengan tuduhan melanggar pasal 335 ayat 1 KUHP, di mana, menurut hakim, terdakwa terbukti bersalah melakukan penodaan agama dan telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dengan pernyataan bahwa al-Quran tidak orisinil lagi. Ini semua juga didasarkan pada keterangan saksi-saksi yang memberatkan terdakwa. Eksplisitnya, Tajul Muluk dituduh telah menodai agama, sehingga dianggap telah memenuhi ketentuan pasal 156 a UU PNPS dan pasal 335 KUHP, dengan vonis 2,6 tahun penjara.
Pada bagian ini terlihat kecenderungan inkonsistensi dari pemerintah. Satu sisi pemerintah menyatakan konflik yang terjadi di Sampang bukanlah konflik agama, bahkan Mendagri serta dan Menteri agama beberapa kali membuat pernyataan bahwa kasus Sampang bukanlah konflik agama, melainkan konflik keluarga, akan tetapi pada saat yang sama, Tajul Muluk divonis dengan pasal 156a dengan dakwaan terbukti melakukan penodaan agama, di sini jelas sekali pemerintah bermasalah dalam setiap kali merespon kasus konflik bernuansa agama yang terjadi dibeberapa daerah, antara pencitraan bahwa Indonesia sebagai negara toleran, namun justru pencitraan itu menjadi tidak sehat karena pemerintah setiap kali merespon konflik bernuansa agama selalu ada pembelokan dalam upaya penyelesaiannya.
Sementara dari perspektif teologis, AM Syafwan, dari komunitas Syi’ah menjelaskan bahwa perbedaan antara Sunni dan Syiah sesungguhnya bukan pada wilayah yang substansial (ushuluddin) atau teologis, melainkan terkait dengan metode dan pendekatan yang digunakan dalam memahami ajaran, atau ushul al-mazhab. Sedangkan fenomena kekerasan terhadap Syiah di Sampang menurutnya merupakan bagian dari dinamika keagamaan Islam baik intelektual, spiritual, maupun tanggungjawab sosial dalam berlomba-lomba menuju kebenaran. Baginya, objektivitas sebuah ajaran akan teruji dalam dinamika keagamaan ini. Keyakinan keagamaan tidak akan mungkin dewasa tanpa dinamika-dinamika ini dalam kontekstualisasi ke-Indonesiaan sebagai puncak budaya masyarakat yang dasar obyektivasinya adalah negara berdasarkan hukum/konstitusi, Pancasila, dan UUD 1945.
Safwan menambahkan, sesungguhnya yang diperlukan adalah bagaimana agar komponen bangsa dapat saling menghargai dalam upaya menunaikan tugas berlomba-lomba menuju kebaikan sebagai bentuk spirit dan tanggungjawab sosial.
Sebagai pembicara terakhir, Syamsurizal Panggabean melihat bahwa walaupun banyak kekerasan terjadi di Indonesia namun baginya Indonesia belum kiamat. Menurutnya, masih ada harapan bagi pematangan proses demokrasi di Indonesia. Berbagai fenomena konflik adalah bagian dari dinamika pematangan tersebut. Justru yang mendesak untuk dilakukan adalah bagaimana merespon berbagai fenomena konflik, termasuk kasus Syiah di Sampang, Madura, ini dengan membangun resolusi konflik yang partisipatif. Seluruh kelompok yang berkepentingan mesti dilibatkan. Dan yang lebih penting lagi menurutnya adalah perlunya dilakukan upaya penghindaran dari berbagai kemungkinan yang justru akan memicu konflik di tempat yang berbeda. Konspirasi tidak perlu dikembangkan dan tidak boleh ada judgement. Dan yang lebih penting lagi, perlu secara partisipatif melibatkan kelompok-kelompok yang bertikai tersebut sebagai pelaku utama perdamaian.
Selain itu yang menjadi sangat penting juga menurut Samsurizal Panggabean adalah, dalam pemecahan masalah, setiap konflik harus memiliki cara-cara tertentu agar kegiatan resolusi konflik terus berkesinambungan. Sebab setiap konflik akan selalu menciptakan hubungan baru dan tentunya juga masalah baru, sehingga proses resolusi konfliknyapun harus dilakukan terus menerus. Dan yang tidak kalah penting lagi, harus selalu ada rekonsiliasi yang terus menerus, karena dalam setiap kekerasan antar kelompok masyarakat bukan saja persoalan hubungan antara yang ditindas dengan yang merepresi, melainkan berbagai masalah lain yang harus dipecahkan. Selain itu adalah bagaimana berupaya menangani masalah kekerasan dilihat dari sumbernya bukan hanya terkait dengan pemicunya. Untuk itu diperlukan keseriusan untuk melakukan penanganan masalah konflik secara totalitas, dan harus melihat keseluruhan konteks konflik dimaksud.
Diskusi pada sesi tanya jawab semakin hangat ketika banyak peserta yang menanyakan tentang perbedaan Sunni dan Syiah terutama menyangkut hal-hal yang oleh sebagian peserta non-Syiah dianggap sebagai ajaran esensial seperti Jum’atan, nikah mut’ah dan tentang bagaiman komunitas Syi’ah memandang ketiga sahabat Nabi lainnya. Syafwan menimpali bahwa perbedaan Sunni dan Syiah hanyalah pada wilayah furu’yah alias bukan pada masalah yang substansi atau Ushuluddin. Antara Islam Sunni dan Islam Syi’ah bertemu dalam Ushuluddin atau teologis, yang berbeda hanyalah dalam hal metodologi atau pendekatan. Misalnya mengenai Shalat Jumat dan Kawin Kontrak, Shafwan menjelaskan, sekalipun teks yang dipegang oleh Syiah memang menyebutkan kebolehan itu, namun bukan berarti harus dijalankan.
Diskusi publik yang dihadiri dua ratusan peserta yang sangat antusias tersebut ditutup dengan pernyataan moderator, Iqbal Ahnaf dari CRCS, bahwa benar demokrasi kita masih dihadapkan pada masalah ”pendewasaan” dengan berbagai dinamikanya, namun yang terpenting adalah dengan alasan apa pun kita menolak segala bentuk kekerasan (ed-njm, bud).