Sudarto | CRCS | Reportase
Apa model studi agama (religious studies) yang tepat untuk diajarkan di perguruan tinggi pada khususnya dan bagi dunia intelektual muda pada umumnya? Bagaimana studi semacam itu diajarkan untuk konteks Indonesia pasca-“kegagalan” studi perbandingan agama (comparative study of religions) yang dulunya pernah diajarkan di seluruh perguruan tinggi agama dan yang sebagian masih diajarkan di UIN,IAIN, dan/atau STAIN saat ini? Dan bagaimana model studi agama ini seharusnya diajarkan di Indonesia agar dapat memenuhi kebutuhan dan kekhasan masyarakat Indonesia yang pluralistik?
Demikianlah setidak-tidaknya beberapa pertanyaan paradigmatik yang mengemuka dalam diskusi terfokus bertajuk “Merumuskan Kajian Religi sebagai Bagian dari Kajian Budaya” yang diselenggarakan oleh Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada 16 November 2012. Forum ini pada hakikatnya dilatarbelakangi oleh kegelisahan praktis terkait dengan belum ditemukannya definisi dan/atau formula yang tepat bagi studi agama di Indonesia saat ini. Focused Group Discussion(FGD) yang berlangsung selama tujuh jam itu menghadirkan 4 pemantik diskusi yang berasal dari tiga perguruan tinggi di Yogyakarta, yaitu Dr. Zainal Abidin Bagir (CRCS UGM), Dr. St. Sunardi dan Dr. A. Bagus Laksana, SJ, Ph.D (masing-masing dari Studi Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma), sertaDr. Phil. Al-Makin, M.A.(UIN Sunan Kalijaga).
Sebagai pembicara pertama, St. Sunardi menjelaskan pokok-pokok pemikiran yang harus ada untuk memosisikan kajian religi (baca: studi agama) dalam kajian budaya. Bagi dosen IRB Sadhar ini, memasukkan kajian religi ke dalam kajian budaya berarti menempatkan kajian religi dalam ilmu sosial humaniora. Ini juga menyiratkan bahwa agama yang dikaji dalam konteks studi agama bukanlah “agama” dalam pengertian kaidah UU Perguruan Tinggi, yang umumnya memaknai agama sebagai doktrin atau ajaran tentang Tuhan, melainkan agama yang lebih dekat dengan studi kemanusiaan. Sejalan dengan itu, menurut St. Sunardi, studi budaya sebaiknya dilihat dalam bingkai produksi budaya, teks budaya, dan konsumsi budaya. Dengan pendekatan ini diharapkan studi agama dapat menerangi kondisi sosial-budaya yang di dalamnya umat manusia memiliki dan memaknai agama mereka. Begitu pula, yang juga sangat penting, menurutnya, adalah bagaimana menempatkan studi agama agar mampu melampaui kajian budaya. Dalam kerangka inilah kajian budaya akan mampu keluar dari paradigma humanistik borjuis—di mana ekses yang umumnya dilahirkan adalah sikap antipasti atau sinis pada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan oleh kajian budaya—karena kajian budaya cenderung direduksi ke dalam analisis relasi kekuasaan, ekonomi, dan politik, namunjarang melalui proses pemaknaan praktis-filosofis.
Akan tetapi, model pendekatan ini menurutnya masih dirasa terlalu esoterik, absurd, dan cenderung berat, mengingat studi agama harus masuk kedalam tiga pengalaman sekaligus, yakni pengalaman moral, pengalaman tanggungjawab sosial terhadap yang-baik dan yang-jahat, dan pengalaman estetis terhadap yang-sublim dan yang-religius, baik melalui relasi sosial maupun ritual keagamaan. Mengakhiri uraiannya pada sesi pertama, St. Sunardi mengutip Derrida dengan mengusulkan bahwa kajian religi untuk saat ini seharusnya dimulai dari pengalaman kemanusiaan setuntas-tuntasnya hingga orang pada akhirnya dapat melihat horizon baru yang tidak bisa sekadar dijelaskan secara positivistik.
Sementara itu, Bagus Laksana, yang menjuduli makalahnya “Meretas Jalan Baru Perkembangan Religious Study Kontemporer”, menyatakan bahwa saat ini belum ditemukan adanya semacam nomenklatur yang menjadi kesepakatan bersama untuk memotret kajian religi. Menurut Romo Bagus (begitu biasa ia dipanggil), setidak-tidaknya ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam konteks kebutuhan kekinian dalam menyusun kurikulum studi agama: pertama, pentingnya mempertimbangkan aspek global, regional, dan lokal, mengingat bahwa religi tidak bisa dipahami sebagai fenomena sosial yang terisolasi karena ia selalu terikat satu sama lain secara mondial; kedua, perlunya mempertimbangkan aspek historis, termasuk hubungannya dengan arus ekonomi, sosiologi, dan politik; dan ketiga, perlunya mempertimbangkan keterkaitan antara studi agama dan bidang-bidang studi lain, sehingga kompetensi yang dimiliki oleh para mahasiswa/sarjana studi agama bisa membantu mereka untuk merespon fenomena global secara fleksibel, seperti fenomena Global Christianity, Global Islam, Global Hinduism, dan sebagainya.
Selain objek kajian, studi agama juga harus mempertimbangkan beberapa kecenderungan tematis dan metodologis mutakhir, yang antara lain mencakup: pertama, fenomena agama sebagai praktik yang partikular beserta dengan kompleksitas dan ambiguitasnya, yang berarti studi agama tidak lagi sekadar berkutat pada ranah tekstual, tetapi juga harus didorong untuk menelaah interaksi antar berbagai tradisi religius yang berbeda melalui praktik-praktik agama kerayatan; kedua,kecenderungan materialitas, yakni bahwa studi agama harus menyentuh ranah realitas yang menarik dan dialami secara langsung oleh orang-orang yang beragama, seperti estetika religius, arsitektur, atau—meminjam istilah David Morgan—visual culture yang terkait dengan dimensi materialitas faktual dan praktik beragama itu sendiri; dan ketiga, kompleksitas tradisi agama sebagai tradisi kehidupan yang tidak sekadar empiris, tetapi juga menyangkut hal-hal yang transendental dan spiritual sebagaimana pengalaman para sufi yang akhir-akhir ini juga menjadi trendi Barat.
Pada sesi ketiga, Zainal Abidin Bagir, selaku direktur CRCS UGM, mengawali paparannya dengan melihat adanya kebutuhan mendesak untuk semakin memantapkan studi agama di CRCS UGM yang ternyata memiliki relevansi dengan kebutuhan Universitas Sanata Dharma dalam memperbarui kurikulum IRB-nya. Menurut Pak Zain (begitu sapaan akrabnya), dalam merumuskan kurikulum studi agama atau religi, ada beberapa persoalan paradigmatik yang perlu dipertimbangkan, antara lain: Apa yang ingin dihasilkan dari kajian agama?Termasuk juga, konstribusi apa yang akan diberikan dari kajian agama di Indonesia untuk dunia global? Keterampilan seperti apa yang akan dimiliki oleh output studi agama? Selain itu, yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana prospek kerja alumni studi agama itu?
Sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan penting di atas, maka berdasarkan refleksi pribadinya terkait dengan pengalaman mengampu mata kuliah academic study of religiondi CRCS UGM, Pak Zain selalu menegaskan bahwa mata kuliah ini dimaksudkan untuk mengantarkan mahasiswa pada studi agama, mengajak mereka untuk mempertanyakan secara kritis dasar-dasar epistimologis bidang studi ini, dan pada saat yang sama “memaksa” mereka untuk mengambil jarak dari pengalaman keberagamaanya sendiri saat malakukan studi atas agama-agama lain. Yang juga penting adalah bagaimana memantik pemikiran baru untuk mengonseptualisasi agama yang tidak harus tunduk pada konseptualisasi “resmi” dari pemerintah. Dengan meminjam gagasan Foucault, studi agama di Indonesia perlu selalu melakukan problematisasi (problematization) terhadap konsep “agama” untuk kepentingan akademis.
Sementara itu, catatan reflektif terkait dengan studi keislaman untuk konteks keindonesiaan disampaikan oleh pemantik keempat, Al-Makin, dosen UIN Sunan Kalijaga yang juga alumni IRB Universitas Sanata Dharma. Dalam catatan Al Makin, setidak-tidaknya ada dua kecenderungan umum dalam studi keislaman untuk konteks keindonesiaan, terutama pasca tragedi 9/11. Pertama, hampir semua tawaran studi keislaman larut dalam isu-isudan tema-tema besar untuk kepentingan keamanan, terorisme, dan radikalisme, sehingga kajian materi dalam studi keislaman tak ubahnya seperti kajian teks sejarah klasik, sementara perjumpaannya dengan bidang seni dan arsitektur, serta dialog antariman tampaknya tidak lagi muncul atau bahkan tenggelam dalam narasi besar radikalisme Islam. Kedua, adanya kecenderungan bahwa “kita” tidak memiliki kepercayaan diri yang cukup kuat untuk mendefinisikan diri sendiri. Akibatnya, kebudayaan dan keberagamaan kita selalu didefinisikan oleh outsiders dari Barat, seperti Clifford Geertz, William Liddle, Greg Barton, dan sebagainya, sementara pemahaman tentang diri sendiri, misalnya yang terkait dengan apa dan siapa Muslim Indonesia, justru kurang mendapat perhatian serius. Dengan kata lain, menurut Al-Makin, kita lebih sering didefinisikan oleh orang lain dibandingkan mendefinisikan diri kita sendiri, meskipun pada dasarnya kita memiliki cukup kemampuan untuk itu.
Menurut Al-Makin,akan lebih baik jika kita mendefinisikan diri kita sendiri, setidak-tidaknya yang sesuai dengan perspektif kita, karena kita tidak hanya terlibat tetapi juga terlahir dan harus hidup di sini, dalam tradisi ayang kita miliki. Kesarjanaan di Indonesia sesungguhnya memiliki potensi untuk itu. Hal ini bisa dilihat dari para pemikir kita yang relatif bisa diterima secara luas di negeri sendiri, seperti Kuntowijoyo, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Ahmad Wahib, dan para pendahulunya, seperti Mukti Ali dan Driyarkara. Mereka umumnya berkarya untuk mendefinisikan kediriannya tanpa harus bermigrasi ke luar. Kondisi semacam ini akan lebih baik dibandingkan dengan kondisi ketika para sarjana luar, sepertiMohammad Arkoun, Fazlur Rahman, dan sebagainya, menjadi pemain tunggal di negeri kita disebabkan mereka tidak bisa diterima di negerinya sendiri.
Pada sesi dialog, beragam respons diajukan oleh para peserta FGD, yang di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, bagaimana menghadirkan studi agama agar mampu menjawab kebutuhan kekinian yang semakin kompleks dan menantang, sehingga tidak sekadar mengaktualkan kurikulum, melainkan juga mampu menjaga agama itu sendiri dari ancaman irrelavansinya dengan konteks sosial? Kedua, bagaimana studi agama mampu mendorong fenomena sinisme—yang selama ini begitu lekat dengan agama—ke arah yang lebih konstruktif, tidak sekadar sebagai judgement yang melumpuhkan? Ketiga, bagaimana menghadirkan studi agama yang lebih peka terhadap perkembangan dan pengalaman orang-orang beragama itu sendiri? Keempat, pendekatan apa yang diyakini paling efektif dimiliki oleh studi agama dalam menghadapi realitas kemajemukan Indonesia yang semakin nyata?
Para narasumber sependapat bahwa program studi agama memang harus mempertimbangkan prospek alumni studi agama itu sendiri, sehingga pertanyaan tentang prospek kerja alumninya tidak lagi dianggap sebagai pertanyaan yang tabu. Studi agama perlu memiliki rumusan-rumusan dan agenda-agenda yang lebih aplikatif, yang memungkinkan para alumninya untuk tidak hanya bisa berkarya dalam menghidupi kehidupannya sendiri, namun juga mampu menghidupi agamanya. Selain itu, studi agama juga harus mampu mendewasakan peserta didiknya dalam merespons agama secara kritis, mengingat bahwa selama ini agama begitu lekat dengan konsep-konsep yang sengaja diintervensi oleh kekuatan politik. Dengan kata lain, studi agama harus mampu mewajarkan kembali agama-agama tanpa bias kekuasaan yang cenderung hegemonik.Terkait dengan sinisme subjektif yang sampai saat ini masih “menghantui” para peneliti dan peserta didik studi agama di Indonesia, Pak Zain menjelaskan bahwa pada kadar tertentu sinisme itu bisa ditekan dengan berusaha menunda “judment” terhadap yang-beda dan yang-lain, sehingga sikap kritis dalam studi agama masih bisa terjaga dan tidak melahirkan sinisme patologisyang tidak sehat.
Mengahiri diskusi ini, narasumber juga sependapat bahwa studi agama harus terus direlevansikan dengan kondisi dimana orang-orang yang beragama itu mengalaminya secara praksis. Pendekatan studi agama juga harus mengikuti irama perubahan secara dinamis tanpa harus menghilangkan sisi transedentalitas agama. Artinya, pendekatan studi agama harus mampu menyentuh berbagai pendekatan dan disiplin pengetahuan yang lain, seperti seni, arsitektur, ekonomi, politik, dan kebudayaan, agar kehadirannya menjadi lebih hidup dan tidak marjinal. Begitu pula, penting untuk dipertimbangkan bahwa Indonesia dengan segala potensi kemajemukan dan antusismenya dalam beragama sudah cukup membantu untuk menjadikan studi agama ala Indonesia mampu berkontribusi terhadap fenomena dan isu-isu agama berskala global.(Ed-Fawaid).