A Common Word: Sebuah Teori dan Praktik Dialog Islam-Kristen
Haris Fatwa Dinal Maula – 26 Juni 2021
Pada tahun 2006, Paus Benedictus XVI mengeluarkan pernyataan kontroversial bahwa agama Islam melegitimasi kekerasan. Para intelektual Muslim dan otoritas agama Islam menilai maklumat tersebut sebagai sebuah serangan kepada Islam. Sebulan kemudian, sebuah surat balasan pun dilayangkan oleh 38 intelektual Islam, yang mewakili berbagai aliran, kepada Paus Benedictus XVI yang bertajuk “An Open Letter to Pope”. Bertolak dari kasus itu, sebuah prakarsa muncul mengenai pentingnya komunitas-komunitas Islam dan Kristen, yang mewakili lebih dari separuh populasi dunia, untuk sama-sama meyakini dan bersepakat tentang mencintai Tuhan dan mencintai sesama manusia.
Gagasan tersebut kemudian teraktualisasi dalam wujud surat terbuka kepada para pemimpin gereja dan denominasi Kristen dari seluruh dunia pada tahun 2007 dengan judul “A Common Word Between Us and You”. Surat terbuka ini diprakarsai oleh 137 sarjana dan intelektual Muslim penting dari berbagai aliran yuridis dan teologi yang berbeda—termasuk mufti-mufti terkemuka dari Mesir, Suriah, Yordania, Oman, Bosnia, Rusia, dan Istanbul. “A Common Word” merupakan sebuah seruan lantang tentang pentingnya komunitas-komunitas Islam dan Kristen untuk melawan intoleransi beragama sekaligus mencapai kata bersama tentang mencintai Tuhan dan sesama manusia.
Muslim and Christian Understanding Theory and Application of “A Common Word” merupakan buku pertama yang mengkaji inisiatif “A Common Word” tersebut. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Kata Bersama: Antara Muslim dan Kristen. Alih-alih sekadar mengalihbahasakan, Kata Bersama juga merangkum beberapa tulisan dari intelektual Islam dan Kristen di Indonesia yang merespon dan mengontekstualisasikan “Kata Bersama”, baik secara teoritis maupun praksis, dengan situasi Tanah Air.
Seperti yang diulas oleh Waleed El-Ansary dan David K. Linnan di “Pendahuluan”, buku ini membincang titik temu religius berdasarkan pada dua aspek yaitu teoritis dan praksis. Aspek teoritis berisi isu-isu vertikal seperti teologi, mistisisme, dan metafisika. Pada saat yang sama, ia juga menyoroti aspek praksis yaitu isu-isu horizontal seperti kepemimpinan dan perkembangan hukum, pembangunan, lingkungan hidup, dan hak-hak asasi manusia. Dengan melibatkan aspek praksis bersamaan dengan tataran dialog teoritis, “Kata Bersama” diproyeksikan akan melampaui pendekatan dialog yang konvensional, misalnya dialog dalam level akademis dan dialog antarpemuka agama. David K. Linnan mengilustrasikan bahwa pendekatan-pendekatan akademis dalam dialog antaragama bersifat reduksionis, sedangkan dialog yang dilakukan oleh otoritas-otoritas agama cenderung bersifat apologetik. Buku ini ditulis untuk menyeimbangkan kedua kecenderungan tersebut dalam kerangka “Kata Bersama” dengan memanfaatkan keterbukaan atmosfer akademis sekaligus tetap menjaga integritas tradisi agama masing-masing.
Peta Ideologi Islam dalam Kerangka “Kata Bersama”
Sebagai sebuah pernyataan yang lahir atas dasar kesalahpahaman Barat melihat seluk beluk dunia Islam, buku ini membuka perbincangan dengan memetakan secara singkat peta ideologi Islam untuk menunjukkan Islam yang bagaimana yang terlibat dalam inisiatif “Kata Bersama” tersebut. David K. Linnan, menjabarkan kompleksitas ini secara aktual di bagian “Pendahuluan”. Setidaknya ada tiga kelompok besar dalam dinamika umat Islam dewasa ini. Pertama, pihak yang sama sekali menolak agama sebagai kekuatan normatif untuk mengatur masyarakat. Pihak ini beranggapan bahwa peradaban Islam harus ditinggalkan dan diganti dengan peradaban modern Barat. Kemal Atatürk, dengan sekulerisme ekstrem yang ia terapkan untuk memodernisasi Turki, menjadi perwakilan pihak ini. Sebaliknya, pihak kedua yang sama-sama ekstrem adalah kaum takfiri militan. Kelompok ini mengklaim siapa saja yang menghalangi visi misi mereka tentang Islam boleh dijadikan sasaran kekerasan, misalnya kelompok militan Islamic Jihad Mesir yang bertanggung jawab atas pembunuhan Presiden Mesir, Anwar Sadat.
Di antara kedua pihak tersebut, ada kelompok yang berkeyakinan bahwa ajaran Islam sangat kontekstual dengan perkembangan generasi dan situasi, Kelompok ini disebut sebagai kelompok Muslim tradisional poros tengah. Jika kategori militan menyumbang 0,01% dan gabungan dari kategori-kategori lain menyumbang tidak lebih dari 10%, maka kelompok poros tengah ini mewakili 90% dari total keseluruhan kelompok-kelompok Muslim di dunia. Kelompok inilah yang menjadi kelompok penting dalam penanganan berbagai isu global bersama dengan kelompok-kelompok Kristen dalam kerangka “Kata Bersama”. Linnan menambahkan, “Kata Bersama” berfungsi untuk merekonstruksi pemahaman Barat yang seringkali salah kaprah dalam menyamaratakan kelompok Muslim tradisional tengah dengan fundamentalisme agresif.
Landasan Inisiatif “Kata Bersama” dalam Tataran Teoritis
Meskipun masih berumur singkat, inisiatif Kata Bersama berhasil menorehkan sejarah signifikan dalam mempengaruhi kehidupan umat Islam dan Kristen di seluruh dunia. Konferensi-konferensi internasional bertemakan a Common Word Initiative di Universitas Yale dan Universitas Cambridge serta pertemuan penting di Vatikan pada November 2011 tentang topik yang sama membuktikan implikasi dari prakarsa “Kata Bersama” itu. Berangkat dari catatan sejarah ini, Sayyed Hossein Nasr, dalam tulisannya, “’a Common Word’ Initiative, Theoria and Praxis”, menegaskan urgensi untuk meninjau ulang term theoria yang seringkali dalam bahasa Inggris artinya tereduksi menjadi hanya sebatas ‘teori’. Menurutnya, theoria perlu diartikan dalam arti Latin yang berarti ‘visi’. Nasr mencoba untuk melebarkan makna terminologi “teori” untuk mencapai cita-cita “Kata Bersama”. Tanpa visi praksis, “Kata Bersama” akan kering dari ambisi untuk mencapai kompromi antara kedua belah pihak. Dalam konteks ini, visi yang dimaksud Hossein Nasr adalah visi dalam menemukan landasan bersama di antara Islam dan Kristen.
Lebih lanjut, Hossein Nasr menjelaskan bahwa pada dasarnya theoria kita bukanlah penciptaan, melainkan lebih merupakan penemuan. Artinya, baik umat Islam dan Kristen tidak perlu menciptakan persamaan-persamaan antara kedua agama, karena landasan persamaan tersebut sudah ada dalam realitas batin iman manusia. Maka prinsipnya adalah menemukan landasan bersama itu, alih-alih memaksakan untuk menciptakannya sendiri.
Argumen Hossein Nasr tersebut meniscayakan hilangnya perbedaan-perbedaan dalam tataran teoritis dan lebih berfokus pada persamaan-persamaannya yang cenderung lebih dalam. Misalnya, baik Muslim maupun Kristen percaya kepada Allah yang transenden, yang berada di atas dan melampaui semua perubahan dan kejadian, yang menciptakan, mengasihi, dan memiliki cinta kasih bagi seluruh makhluk-Nya. Meskipun Allah adalah mutlak sebagai dasar keberadaan, Dia juga tetap sebagai Pribadi yang menyapa kita dan yang bisa kita sapa sebagai Engkau. Hossein Nasr memberikan refleksi pertanyaan mengenai hal ini, “Jika keyakinan kita sebagai Muslim dan Kristen mengatakan bahwa Allah adalah realitas terbesar dan bahkan satu-satunya realitas, lalu bagaimana mungkin itu tidak dilihat sebagai sumber terbesar persamaan kita yang tak satu perselisihan pun di dunia ini dapat membatalkannya?”
Urgensi Perspektif Religius dalam Dialog Praksis
Di samping membincang proses dialog dalam tataran teoritis, “Kata Bersama” juga terlibat dalam konvergensi horizontal. Cinnamon P. Carlane, misalnya, dalam tulisannya “Reassessing the Role of Religion in Western Climate Change Decision-Making”, menegaskan pentingnya keterlibatan narasi religius dalam isu-isu dan perumusan kebijakan lingkungan yang sebelumnya banyak diisi oleh diskursus sekuler. Margot Wallström, mantan Wakil Presiden Komisi Eropa, seperti yang dikutip Carlane, mengatakan bahwa konvergensi antaragama akan membawa perspektif lain pada perdebatan perubahan iklim, perspektif etis dan moral, serta perdebatan yang mungkin banyak politisi tidak mau menyentuh wilayah tersebut.
Seperti misalnya ketika George W. Bush, Presiden AS periode 2001-2009, menolak meratifikasi Protokol Kyoto yang berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon dioksida di dunia. Menurut Bush, Protokol Kyoto secara spesifik berdampak pada kemunduran aktivitas perekonomian Amerika Serikat, yang sangat bergantung pada penggunaan energi fosil. Oleh sebab itu, Carlane mengatakan, dukungan dari kelompok-kelompok religius seperti NAE (National Association of Evangelicals)—yang membawahi 45 ribu gereja dan 40% suara Partai Republik—mampu memberi terobosan peluang dalam melawan kebijakan negara, misalnya terhadap emisi karbon dioksida, persis seperti yang dinyatakan oleh Margot Wallström.
Dalam konteks negara-negara Islam di Asia, salah satu kendala utama dalam perkembangan lingkungan adalah kebanyakan elite yang berkuasa lebih tertarik meniru perkembangan Barat konvensional dengan ide-ide modernisasi. Berangkat dari kenyataan itu, Waleed El-Ansary dalam tulisannya “Islamic Environmental Economics and the Three Dimensions of Islam: A Common Word on the Environment as Neighbor” menggarisbawahi peran penting otoritas agama di Barat dalam menyediakan modal politik etis berbasis agama dalam isu-isu lingkungan. Paus Benediktus XVI, misalnya, menempatkan masalah lingkungan pada bagian sentral ajaran-ajarannya. Tokoh yang kerap dijuluki “Paus Hijau” ini senantiasa mengajak umatnya untuk merealisasikan prinsip sustainable development, salah satu contoh konkritnya adalah menjadikan Vatikan sebagai satu-satunya kota di dunia yang bebas dari karbon.
Sejalan dengan prinsip utama “Kata Bersama”, yaitu kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama, Paus Benediktus VXI juga menegaskan dalam ensikliknya, Caritas in Veritate, bahwa alam mengungkapkan suatu rancangan kasih dan kebenaran. Pernyatannya tersebut mengindikasikan suatu basis ontologi bagi nilai-nilai yang konsisten dengan alam sebagai vestigia Dei atau ayat Allah. Karena teologi alam berhubungan erat dengan teologi perbandingan agama, baik dunia Islam di Timur maupun Kristen di Barat membutuhkan “Kata Bersama” untuk memulihkan pandangan yang sakral mengenai tatanan alam.
“Kata Bersama” sebagai Advokasi Keberagaman di Indonesia
“Kata Bersama” memang kerap dipahami sebagai dokumen penting historis yang ditujukan kepada para pemuka agama Kristen untuk melaksanakan dialog. Namun, Zainal Abidin Bagir memilih menafsirkannya dengan definisi yang lebih fundamental. Dalam tulisannya, “Kata Bersama Dan Risalah Amman Sebagai Advokasi Muslim Bagi Keragaman Indonesia”, Bagir memahami bahwa “Kata Bersama” tidak hanya dialamatkan kepada pemimpin Kristen, tetapi juga kepada sesama Muslim. Artinya,” Kata Bersama” dalam tataran tertentu bisa dipandang sebagai upaya pendefinisian (ulang) Islam. Bukan Islam dengan wajah yang baru, melainkan Islam otentik yang berakar kuat dalam teks dan tradisi.
Bagir mencoba mencari benang merah antara dokumen “Kata Bersama” dan Risalah Amman, yang dikeluarkan pada 2004. Risalah Amman merupakan dokumen percakapan internal Islam yang berisi tentang respon-respon terkait hubungan dengan komunitas non-Muslim di Yordania. Kedua risalah yang merupakan upaya konsensus ratusan ulama Islam dam belum ada presedennya di dunia Muslim modern tersebut menurutnya relevan bagi Muslim Indonesia untuk mengatasi masalah-masalah yang ada dalam kehidupan beragama di Indonesia.
Di Indonesia, kedua dokumen ini bisa ditafsirkan berbicara kepada dua kelompok Muslim Indonesia, kelompok toleran (yang masih diakui sebagai mayoritas hingga kini) dan kelompok intoleran (yang cenderung kecil dari segi kuantitas tetapi efektif dalam pergerakan). Tantangannya jelas tentu terlihat ketika “Kata Bersama” berbicara vis a vis dengan kelompok intoleran yang secara agresif menawarkan perspektif bertentangan. Perlu diingat, kelompok kedua ini juga mengklaim sebagai Islam yang otentik. Mereka menjustifikasi pandangan mereka sebagai Islam yang berakar dalam tradisi. Namun, menurut Bagir, yang paling penting adalah adanya perimbangan gagasan dengan perspektif yang berbeda. Memang kita tidak mungkin berharap bahwa gagasan konseptual “Kata Bersama” akan menjadi satu-satunya yang hidup, akan tetapi gagasan “Kata Bersama” paling tidak mampu menjadi inisiatif baru perimbangan sudut pandang mengenai relasi antar agama di Indonesia.
Maka dari itu, salah satu upaya produktif dalam mengimplementasikan “Kata Bersama” di Indonesia adalah dengan tidak menganggapnya sebagai suatu fatwa teologis yang harus diikuti atau ditolak secara literal. Dokumen tersebut menampilkan suatu etika-etika menghadapi perbedaan dengan tidak menegakkan semangat superioritas, tetapi mencari dasar bersama untuk bekerja sama. Karenanya, perlu adanya upaya institusional dan kontekstual dalam pengembangan etik “Kata Bersama” ini di Indonesia. Dalam konteks Indonesia, upaya realisasi dan pengembangan “Kata Bersama” ini bisa dilanggengkan oleh dua organisasi besar yang menaungi Islam, Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah.
Buku Kata Bersama: Antara Muslim dan Kristen mampu mengembangkan kerangka teori “Kata Bersama” dengan sangat baik. Berbagai definisi yang disinggung berbagai tokoh di awal-awal buku, misalnya oleh Seyyed Hossein Nasr, mengantar pembaca pada tataran praktis yang lebih fundamental dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya. Perluasan ruang wilayah kajian, seperti misalnya dalam konteks Indonesia, seperti yang ditulis oleh Zainal Abidin Bagir, memberi warna dan nilai tambah baru pengenai penafsiran alternatif nilai-nilai etis “Kata Bersama” di Indonesia. Hal itu sekaligus menegaskan bahwa “Kata Bersama” memang harus dimaknai secara fleksibel dan tidak kaku. Itulah yang membuat nilai-nilai etis ini relevan diaplikasikan oleh siapa pun dan di mana pun.
Judul Buku: Kata Bersama: Antara Muslim dan Kristen
Editor: Waleed El-Ansary , David K. Linnan, Siti Ruhaini Dzuhayatin , Paripurna P. Sugarda , Harkristuti Harkrisnowo
Penerbit UGM Press | ISBN: 978-602-386-381-5
Cetakan Pertama, Agustus 2019 | 574 halaman | Ukuran 15,5 cm x 23 cm
__________________________________
Haris Fatwa Dinal Maula adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Haris lainnya di sini.