Adakah Keadilan dalam Pernikahan Poligami?
Inasshabihah – 21 Okt 2019
Sering kita dengar kampanye bahwa poligami adalah “bagian dari syariat Islam” dan bisa dilakukan asal adil kepada para istri. Tetapi, apa yang riil terjadi di masyarakat? Pada kenyataannya, mayoritas praktik poligami melenceng dari prinsip keadilan yang harus menjadi syarat ketika seorang lelaki Muslim menikahi lebih dari satu perempuan.
Melalui buku Women, Islam, and Everyday Life: Renegotiating Polygamy in Indonesia (Routledge 2009), Nina Nurmila menunjukkan hal itu ketika menjabarkan hasil penelitiannya mengenai praktik poligami dengan sampel 39 rumah tangga, yang berisi 74 responden, di Bandung, Bogor, Depok, dan Jakarta. Dari responden Nina itu, ada tiga perempuan yang meninggalkan pernikahan poligami; satu istri pertama yang diceraikan suaminya yang berpoligami; dan sisanya masih berada dalam pernikahan, yang terdiri dari 5 perempuan dan 4 laki-laki dalam pernikahan monogami, 20 suami poligami, 16 istri pertama, 9 istri kedua, 3 istri ketiga, dan satu istri keempat
Meski ada slogan-slogan seperti poligami adalah “bagian dari syariat”, “sunnah Rasul”, “lebih baik daripada zina”, dan “solusi bagi prostitusi”, penelitian Nina menunjukkan bahwa mayoritas lelaki praktisi poligami melandasi pernikahannya dengan beragam alasan mulai dari ingin mendapat keturunan, pemuasan hasrat seksual, dan ‘jalan keluar’ dari perselingkuhan. Sementara itu, banyak perempuan yang dipoligami merasa dikhianati. Alasan keagamaan bahwa “poligami adalah bagian dari syariat” memberikan justifikasi bagi tekanan sosial terhadap para perempuan ini ketika mereka ingin melawan, sehingga bukannya suami yang dipertanyakan, malah istri yang dituding “tidak bisa melayani suami dengan baik”.
Pelbagai alasan berpoligami
Ada beragam alasan orang berpoligami, baik keagamaan maupun non-keagamaan. Alasan keagamaan pun kerap didasari pada tafsir yang juga beragam meski merujuk pada ayat yang sama. Dari berbagai alasan itu, cara pandang lelaki dan perempuan terhadap pernikahan poligami juga bisa berbeda.
Untuk mengategorikan alasan berpoligami berdasarkan justifikasi keagamaanya, Nina meminjam konsep Abdullah Saeed yang membagi jenis tafsir terhadap ayat-ayat etiko-legal dalam al-Qur’an. Berdasarkan pada tingkat ketergantungan penafsir terhadap kriteria linguistik dan pertimbangan konteks sosial ketika suatu ayat turun, Saeed membagi corak tafsir ke dalam tiga jenis, yakni tekstualis, semi-tekstualis, dan kontekstualis. Pendekatan ini digunakan Nina untuk mengelompokkan pandangan respondennya terhadap QS an-Nisa [4]:3.
Kelompok perempuan tekstualis memegang teguh pembacaan literal terhadap bagian ayat “nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat,” sehingga mereka percaya Islam mengizinkan poligami seraya menguatkan opini mereka dengan mengacu pada praktik poligami yang dilakukan Nabi Muhammad. Kelompok semi-tekstualis meyakini bahwa poligami hanya dilakukan pada kondisi ketika istri-istri dapat diperlakukan secara adil. Dasar keyakinan ini ada pada ayat yang sama, dengan pembacaan yang lebih luas, yakni bahwa ayat tersebut juga menghimbau agar poligami dihindari jika seorang suami tidak mampu berlaku adil. Sementara kelompok ketiga, yang kontekstualis, dengan tegas menolak dipoligami dan memilih bercerai. Mereka memaknai ayat QS 4:3 secara menyeluruh dan kontekstual, tidak hanya fokus pada ayat 4:3, tetapi mulai dari QS 4:2 dan melanjutkan pembacaan dengan QS 4:129.
Dari para responden Nina itu, kelompok perempuan tekstualis cenderung menerima poligami yang dilakukan suaminya, karena itulah tanda pengabdian mereka terhadap agama. Perceraian hanya akan membuat mereka kesepian dan membiarkan istri kedua menang. Kelompok perempuan semi-tekstualis hanya beda sedikit, yakni bahwa mereka sebenarnya ingin bercerai daripada terjebak dalam pernikahan poligami, tetapi memilih bertahan karena mempertimbangkan nasib anak-anak mereka.
Di luar persolan justifikasi keagamaan, di sebagian responden Nina kenyataan yang terjadi ialah: tidak sedikit dari mereka yang mengungkapkan kekecewaan ketika suaminya berpoligami (sebagian bahkan tak diberitahu suaminya sendiri ketika suaminya menikahi perempuan lain) dan sebagian mengalami kekerasan dalam rumah tangga, yang kemudian berakibat pada depresi. Istri kedua pun tak niscaya aman—mereka kadang dianggap “perebut laki orang” atau “mau dinikahi karena harta suami”. Konflik antar-istri juga tak jarang terjadi dalam pernikahan poligami yang diteliti Nina.
Dari pihak lelaki yang berpoligami, alasannya beragam pula. Responden Nina yang berasal dari kelompok yang berpoligami secara terang-terangan (transparent poligamy) menyatakan alasan yang berbagai, mulai dari hasrat seksual yang tinggi dan tidak bisa tersalurkan ketika istri dalam masa menstruasi; istri pertama tidak bisa memberikan keturunan; atau karena ingin menghindari pacaran dengan perempuan lain, sehingga pernikahan menjadi solusi untuk menghalalkannya. Pada kelompok poligami poligami diam-diam dan tak dicatatkan (secret, unregistered polygamy), responden menikahi istri kedua tanpa sepengetahuan istri pertama.
Pertanyaannya kemudian: bagaimana ketidakadilan dalam praktik-praktik poligami ini diatasi? Perlukah ada pembaruan terhadap aturan perkawinan yang berlaku?
Lihat ulang aturan perkawinan
Hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku hingga saat ini sudah mengidealkan monogami, tetapi juga membuka ruang bagi poligami. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 3 ayat 1 menyatakan, “Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.” Namun pasal-pasal berikutnya membolehkan poligami dengan syarat-syarat yang antara lain adalah: mendapat izin dari istri pertama; istri tidak bisa menjalankan kewajibannya seperti karena cacat badan; istri tidak dapat melahirkan keturunan; kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak; dan jaminan bahwa suami dapat berlaku adil.
Namun, meski poligami telah diatur ketat, pada kenyataannya hukum perkawinan di Indonesia belum sepenuhnya melindungi perempuan yang suaminya berpoligami tanpa memenuhi syarat-syarat dalam UU Perkawinan. Penelitian Nina jelas menunjukkan bagaimana para suami memberikan keterangan palsu di pengadilan agar bisa diizinkan berpoligami, seperti bahwa istri sakit atau cacat (padahal sehat) dan penghasilan mencukupi untuk menafkahi lebih dari satu istri (padahal tidak).
Bagi para aktivis perempuan, yang belum penuh terwadahi dalam hukum perkawinan saat ini ialah penguatan posisi perempuan dan perlindungan terhadap perempuan yang diperlakukan tidak adil dalam praktik poligami. Melawan Kompilasi Hukum Islam (KHI), sejumlah aktivis perempuan pernah meluncurkan Counter Legal Draft (CLD) pada 2004 yang antara lain menyebutkan bahwa “asas perkawinan adalah monogami” (pasal 3 ayat 1) dan bahwa “perkawinan yang dilakukan di luar asas sebagaimana pada ayat (1) dinyatakan batal secara hukum” (pasal 3 ayat 2). CLD ini berangkat dari pertimbangan akan posisi perempuan yang rentan mengalami ketidakdilan dalam praktik poligami.
Yang lebih mendasar lagi dari soal pengetatan aturan poligami dan perlindungan perempuan dalam pernikahan poligami sebenarnya ada dalam persoalan cara pandang: yang lebih dominan bersuara dalam konstruk hukum perkawinan masih lelaki. Suara perempuan sendiri, sebagai pihak yang dipoligami, kurang mendapat nilai dengar yang setara sebagaimana lelaki. Maka, bila ada upaya pembaruan hukum perkawinan, pertama-tama ia harus didasari pada penelitian terhadap praktik poligami selama ini: apakah mayoritas dari praktik-praktik itu benar-benar berjalan adil dan, tak kalah penting, mengangkat suara perempuan sebagai subjek bagi diri mereka sendiri.
_______________
Penulis, Inasshabihah, adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2018.
Baca juga: Siapa Berhak Berbicara atas Nama Perempuan?