• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Artikel
  • Agama dan Pemuliaan Bumi

Agama dan Pemuliaan Bumi

  • Artikel
  • 6 April 2011, 00.00
  • Oleh:
  • 0

Oleh: Dian Maya Safitri (Mahasiswa CRCS Angkatan 2009)

Apa yang diramalkan oleh Al-Gore tentang dampak pemanasan global dalam filmnya yang tersohor, Inconvenient Truth, kini benar-benar terjadi. Kebengalan manusia yang selalu ingin menggerus kekayaan bumi telah dijawab oleh alam, salah satunya melalui cuaca ekstrem musim dingin yang melanda Eropa tahun ini. Toh, akhirnya manusia itu sendiri yang rugi.

Menurut Syekh Hussein Nasr (The Problem, 2003), sikap manusia yang ingin mendominasi alam (man’s dominion over nature), ditambah sekularisasi sains dan teknologi modern, telah menghancurkan keteraturan alam. Industrialiasi dan kapitalisasi memperburuk pemanasan global karena menambah polusi udara dan air serta mengganggu keharmonisan ekosistem sekitar. Berawal dari keprihatinan akan krisis lingkungan hidup itulah, para ahli di dunia mulai beramai-ramai berkumpul dan berdiskusi untuk mencari pemecahan masalah atas pemanasan global dan perubahan iklim. Ternyata tak hanya para ilmuwan dan pemerintah dunia yang peduli dengan isu tersebut. Para pemuka agama juga turut memberikan respons dan mengajak umatnya untuk bersama-sama melakukan aksi nyata demi mengurangi dampak pemanasan global.

Menurut Thomas Berry dan para cendekiawan di bidang lingkungan lainnya (Mary Evelin Tucker dan John Grim, dalam Islam and Ecology, a Bestowed Trust, 2003), nilai-nilai agama dianggap masih memiliki peran yang kuat dalam membangun etika manusia, terutama dalam hubungannya terhadap alam di abad ke-21. Agama kini tak hanya berhubungan dengan teologi saja, tetapi juga telah berorientasi pada praktik-praktik berkesinambungan dan komitmen jangka panjang terhadap lingkungan.

Maka tak heran jika kini di seluruh dunia terdapat gerakan spiritual baru bernama ekoteologi yang memadukan antara ajaran agama dan ekologi sehingga melahirkan aksi sosial untuk menjaga lingkungan. Contohnya, dalam dunia Barat yang mayoritas dipengaruhi nilai-nilai Kristen terdapat gerakan eco-justice (dari ecology justice atau keadilan ekologi) yang menggerakkan pengikutnya menjaga alam dari kerusakan dengan menggunakan ajaran Injil.

Dalam agama Buddha, konsep tentang ahimsa (keharmonisan, tanpa kekerasan, tidak merusak) terhadap dunia tumbuhan sebagai bagian penting dari dhamma (ajaran Buddha) yang akan menentukan jalan menuju nibbana (pembebasan), telah menginspirasi anggota sangha (komunitas biksu) dan orang awam untuk “berbuat baik” terhadap alam (Ian Harris, Ecological Buddhism?, 2003). Dalam agama Taoisme, hubungan antara keselarasan alam, bumi, dan manusia dalam filosofi tzu-jan dan Tao telah membentuk cara pendekatan orang China terhadap alam dengan cara lebih menghargai alam (Cheung-Ying Cheng, On the Environmental Ethics of the Tao, 2003).

Islam sebagai agama yang berprinsip rahmatal lil alamin juga menekankan pentingnya menjaga hubungan dengan alam dan penghuninya, seperti larangan untuk merusak alam dan berlebih-lebihan dalam menggunakan apa yang ada di alam. Hal ini sejalan dengan pendapat Bruno, filsuf abad pertengahan, yang mengatakan bahwa makna alam yang sebenarnya adalah natura naturans, yaitu alam adalah sebuah organism yang “hidup” dan berkembang, bukan semata benda mati yang dapat dieksplor tanpa memikirkan kerusakannya (natura naturata) (ibid, hal. 226).

Berangkat dari hal tersebut, salah satu upaya yang efektif untuk mengurangi pemanasan global adalah dengan melibatkan institusi agama. Indonesia, sebagai negara dengan beragam agama, memiliki berbagai macam institusi, baik pendidikan maupun sosial yang berbasis agama, dapat menjadi instrumen ampuh untuk memotivasi pemeluk agama untuk menjaga lingkungan.

Bisa juga dibaca di link ini:

  • http://regional.kompas.com/read/2010/12/31/10004795/Agama.dan.Pemuliaan.Bumi
  • https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/73/699Tulisan%20Fitri%5B1%5D.pdf

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

When faith meets extraction, what or whose priorit When faith meets extraction, what or whose priority comes first: local communities, organizations, or the environment?

Both Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah have voiced their acceptance of mining concessions, each with their own set of carefully considered perspectives. But what lies beneath their words?  In this upcoming #wednesdayforum, @chitchatsalad will dive deep using critical discourse analysis to unravel the layers of these powerful statements. We'll explore how these two of the world’s largest Islamic mass organizations justify their positions and what it reveals about their goals, values, and the bigger narratives in play.

This is more than just a conversation about mining. Come and join #wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
J O G E D Kapan terakhir kali kamu menyapa teman d J O G E D
Kapan terakhir kali kamu menyapa teman dengan sebuah gestur tubuh, alih-alih meminjam seperangkat huruf dan emoji  dari balik layar? Tubuh kita menyimpan potensi ruang untuk berbicara satu sama lain, menggunakan perangkat bahasa yang sama-sama kita punya, saling menyelaraskan frekuensi melalui gerak. 

Simak artikel dari alexander GB pada seri amerta di web crcs ugm.
L I B A T Berbicara tentang kebebasan beragama ata L I B A T
Berbicara tentang kebebasan beragama atau berkeyakinan itu tidak cukup hanya di kelas; ataupun sebaliknya, bertungkus lumus penuh di lapangan. Keduanya saling melengkapi. Mengalami sendiri membuat pengetahuan kita lebih masuk dan berkembang. Menarik diri dan berefleksi membuat pengetahuan itu mengendap dan matang. Melibatkan diri adalah kunci.

Simak laporan lengkap Fellowship KBB 2025 hanya di situs web crcs ugm.
The Ecumenical Patriarchate has quietly built a mi The Ecumenical Patriarchate has quietly built a mission in Indonesia, nurturing faith while navigating a tough reality. Inside, the community faces its own struggles. Outside, it confronts Indonesia’s rigid rules on “legal religions,” leaving them without full recognition. This research uncovers their journey. This is a story of resilience, challenge, and the ongoing question of what religious freedom really means in Indonesia.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY