Oleh: Dian Maya Safitri (Mahasiswa CRCS Angkatan 2009)
Apa yang diramalkan oleh Al-Gore tentang dampak pemanasan global dalam filmnya yang tersohor, Inconvenient Truth, kini benar-benar terjadi. Kebengalan manusia yang selalu ingin menggerus kekayaan bumi telah dijawab oleh alam, salah satunya melalui cuaca ekstrem musim dingin yang melanda Eropa tahun ini. Toh, akhirnya manusia itu sendiri yang rugi.
Menurut Syekh Hussein Nasr (The Problem, 2003), sikap manusia yang ingin mendominasi alam (man’s dominion over nature), ditambah sekularisasi sains dan teknologi modern, telah menghancurkan keteraturan alam. Industrialiasi dan kapitalisasi memperburuk pemanasan global karena menambah polusi udara dan air serta mengganggu keharmonisan ekosistem sekitar. Berawal dari keprihatinan akan krisis lingkungan hidup itulah, para ahli di dunia mulai beramai-ramai berkumpul dan berdiskusi untuk mencari pemecahan masalah atas pemanasan global dan perubahan iklim. Ternyata tak hanya para ilmuwan dan pemerintah dunia yang peduli dengan isu tersebut. Para pemuka agama juga turut memberikan respons dan mengajak umatnya untuk bersama-sama melakukan aksi nyata demi mengurangi dampak pemanasan global.
Menurut Thomas Berry dan para cendekiawan di bidang lingkungan lainnya (Mary Evelin Tucker dan John Grim, dalam Islam and Ecology, a Bestowed Trust, 2003), nilai-nilai agama dianggap masih memiliki peran yang kuat dalam membangun etika manusia, terutama dalam hubungannya terhadap alam di abad ke-21. Agama kini tak hanya berhubungan dengan teologi saja, tetapi juga telah berorientasi pada praktik-praktik berkesinambungan dan komitmen jangka panjang terhadap lingkungan.
Maka tak heran jika kini di seluruh dunia terdapat gerakan spiritual baru bernama ekoteologi yang memadukan antara ajaran agama dan ekologi sehingga melahirkan aksi sosial untuk menjaga lingkungan. Contohnya, dalam dunia Barat yang mayoritas dipengaruhi nilai-nilai Kristen terdapat gerakan eco-justice (dari ecology justice atau keadilan ekologi) yang menggerakkan pengikutnya menjaga alam dari kerusakan dengan menggunakan ajaran Injil.
Dalam agama Buddha, konsep tentang ahimsa (keharmonisan, tanpa kekerasan, tidak merusak) terhadap dunia tumbuhan sebagai bagian penting dari dhamma (ajaran Buddha) yang akan menentukan jalan menuju nibbana (pembebasan), telah menginspirasi anggota sangha (komunitas biksu) dan orang awam untuk “berbuat baik” terhadap alam (Ian Harris, Ecological Buddhism?, 2003). Dalam agama Taoisme, hubungan antara keselarasan alam, bumi, dan manusia dalam filosofi tzu-jan dan Tao telah membentuk cara pendekatan orang China terhadap alam dengan cara lebih menghargai alam (Cheung-Ying Cheng, On the Environmental Ethics of the Tao, 2003).
Islam sebagai agama yang berprinsip rahmatal lil alamin juga menekankan pentingnya menjaga hubungan dengan alam dan penghuninya, seperti larangan untuk merusak alam dan berlebih-lebihan dalam menggunakan apa yang ada di alam. Hal ini sejalan dengan pendapat Bruno, filsuf abad pertengahan, yang mengatakan bahwa makna alam yang sebenarnya adalah natura naturans, yaitu alam adalah sebuah organism yang “hidup” dan berkembang, bukan semata benda mati yang dapat dieksplor tanpa memikirkan kerusakannya (natura naturata) (ibid, hal. 226).
Berangkat dari hal tersebut, salah satu upaya yang efektif untuk mengurangi pemanasan global adalah dengan melibatkan institusi agama. Indonesia, sebagai negara dengan beragam agama, memiliki berbagai macam institusi, baik pendidikan maupun sosial yang berbasis agama, dapat menjadi instrumen ampuh untuk memotivasi pemeluk agama untuk menjaga lingkungan.
Bisa juga dibaca di link ini: