Agama Leluhur, Pengetahuan Adat, dan Bumi yang Darurat
Haris Fatwa Dinal Maula – 14 Januari 2022
Pengetahuan adat sering kali tersisih ketika dihadapkan dengan isu-isu kontemporer. Dalam konteks inovasi pertanian, misalnya. Untuk menjawab kebutuhan pangan dunia, agrikultur modern menawarkan apa yang disebut dengan Genetically Modified Organism (GMO) atau organisme yang termodifikasi secara genetika. Melalui rekayasa genetika, kita bisa memberikan sifat khusus yang diinginkan pada suatu tanaman, semisal menghasilkan bulir padi yang bernas dan mampu panen tiga kali dalam setahun. Budidaya tanaman GMO ini kemudian diikuti oleh penggunaan pupuk kimia sintesis secara masif. Namun, inovasi ini rupanya berakibat buruk pada keanekaragaman hayati yang pada akhirnya malah mempercepat kerusakan di bumi. Adalah Vandana Shiva, salah satu perempuan asal India yang dengan gigih menentang keras segala bentuk modifikasi genetika dan penggunaan pupuk kimia sintetis dalam pengembangan ilmu pertanian. Keresahannya bermula ketika di Punjab, salah satu wilayah tersubur di India, tiba-tiba timbul protes besar dari petani yang direspon dengan kekerasan. Protes yang terjadi sekitar awal 1980-an ini mengakibatkan tak kurang dari 3.000 nyawa melayang. Shiva yang gelisah akhirnya menelisik hal tersebut dan menemukan bahwa akar dari masalahnya adalah “perang kimia” atas nama agrikultur modern. Menurutnya, GMO merupakan resep atas kerusakan keanekaragaman hayati. Jika keanekaragamaan hayati meniscayakan integritas dan keterkaitan alam, GMO malah mendorong monokultur tanpa konsep keterhubungan. Shiva menegaskan, intervensi industri agrikultur modern dalam dunia makanan telah menyumbang 75% dari total kerusakan bumi dengan bahan-bahan kimia sintetisnya.
Sebagai keynote speaker dalam the 3rd International Conference on Indigenous Religion yang bertajuk “Access to Justice: a Call for Literacy on Interrelated Issues and Collaboration of Interrelated Sectors”, Vandana Shiva menggarisbawahi pentingnya melestarikan pengetahuan adat sebagai bekal menghadapi isu-isu darurat di dunia modern. Shiva merujuk pada cara pandang dunia yang dimiliki agama-agama leluhur. Keterikatan yang sakral antara manusia dan bumi menjadi basis fundamental mengapa pengetahuan adat memiliki peran krusial dalam merespon isu-isu modern.
Paradigma Agama leluhur: Antitesis Pengetahuan Modern
Satu poin penting yang dituturkan Vandana Shiva adalah tentang pendekatan nirkekerasan dalam berkehidupan di bumi. Pendekatan tersebut merupakan bentuk implikasi dari tiga konsep mendasar yang dipaparkan Shiva. Pertama adalah interconnectedness yaitu keterkaitan antara satu dan yang lain di alam semesta. Kedua adalah intersubjective relation yang mengandaikan bahwa segala sesuatu di alam semesta adalah subjek yang memiliki fungsinya masing-masing. Ketiga adalah mother earth. Dalam bahasan mother earth, Shiva mengaitkannya dengan konsep ekofeminisme yaitu bahwa permasalahan krisis lingkungan salah satunya diakibatkan oleh cara pandang patriarkal manusia terhadap alam.
Pendekatan yang berbasis pengetahuan adat ini cenderung “tidak tersentuh” karena dianggap tertinggal, primitif, dan bahkan dikriminalisasi dalam situasi tertentu. Shiva merefleksikan pengalamannya, bagaimana para petani justru dianggap melakukan kriminalitas ketika membudidayakan benih-benih tanaman mereka secara independen. Kriminalisasi ini, menurut Shiva, merupakan skenario para pemilik industri agrikultur modern, yang ia sebut dengan “the poison cartel”, agar leluasa menjalankan bisnis agrikultur berbasis kimia—yang populer dengan nama agrichemicals atau ‘agrokimia’.
Salah satu kasus agrokimia yang menjadi objek kritik Vandana Shiva adalah Revolusi Hijau, yang merujuk pada penggunaan teknologi intensif dalam budidaya pertanian. Alih-alih menciptakan teknologi hijau yang revolusioner, menurut Shiva, Revolusi Hijau justru menciptakan “perang”. Dalam bahasa Shiva, “perang” bisa ditafsirkan menjadi dua pengertian. Pertama, perang antara teknologi ilmu pengetahuan modern dan tradisi pengetahuan adat. Kedua, perang melawan neokolonialisme. Dalam konteks ini, Shiva seringkali mengaitkannya dengan kolonialisme industri pangan modern. Contohnya, industri yang bergerak di bidang GMO. Menurut Shiva, alih-alih mencerminkan semangat Revolusi Hijau, industri GMO justru merupakan upaya komodifikasi dan monopoli pangan belaka. Melalui bibit rekayasa genetik yang dipatenkan, the poison cartel ini mendorong para petani lokal India untuk membudidayakan GMO yang pada akhirnya menimbulkan ketergantungan terhadap bibit tersebut. Di samping itu, dalam bukunya, The Violence of the Green Revolution (1991), Shiva menegaskan bahwa Revolusi Hijau merupakan sebuah paradoks. Di satu sisi ia menawarkan teknologi sebagai pengganti alam dan politik dalam menciptakan kemakmuran dan perdamaian. Namun di sisi lain, teknologi itu sendiri menuntut penggunaan sumber daya alam yang lebih intensif.
Krisis ini, menurut Shiva, ada presedennya. Dalam lintasan sejarah, kolonialisme ikut berperan dalam mengeksploitasi sumber daya alam di negara-negara yang dijajahnya. Shiva menyebutnya dengan pencurian besar-besaran (the big theft). Negara seperti India dan Indonesia adalah negara tropis kaya yang tumbuh dari keanekaragaman. Di tanah penuh keragaman inilah rempah-rempah berasal yang pada akhirnya mengundang bangsa Eropa datang untuk menguasainya. Kini, para penjajah ini tidak hanya mengeksploitasi kekayaan bumi, tetapi juga melakukan genosida terhadap masa depan negara-negara yang dieksploitasi. Salah satunya melalui Revolusi Hijau.
Konsep Revolusi Hijau di antaranya lahir dari pandangan modern tentang bumi sebagai benda mati atau dead-earth. Shiva menggarisbawahi bahwa ketika manusia sudah mendeklarasikan bumi sebagai objek mati, maka saat itulah manusia sudah merasa memiliki bumi sekaligus keleluasaan untuk mengeksploitasinya. Pada akhirnya, yang terjadi adalah ribuan orang meninggal karena kelaparan tiap hari padahal bumi telah menyediakan cukup makanan bagi kita semua. Menurut Shiva, kolonialisasi industri pangan justru merayakan upaya eksploitasi tersebut sebagai sebuah pengetahuan dan sains. Pencurian besar-besaran oleh kolonialisme dirayakan sebagai revolusi ekonomi modern. Shiva menegaskan bahwa segala bentuk produk pengetahuan yang berdasar pada konsep the dead-earth tersebut seharusnya tidak layak disebut sebagai pengetahuan.
Di tengah kondisi bumi yang darurat ini, Shiva menegaskan bahwa pengetahuan adat bisa menjadi antitesis dari Revolusi Hijau. Pengetahuan adat merupakan instrumen yang tepat untuk melawan pertanian berbasis kimia atas nama agrikultur modern. Perlu digarisbawahi bahwa agrikultur modern dalam konteks ini adalah tentang agrokimia yang bersifat merusak, alih-alih bermanfaat. Senjata terbaik untuk melawan balik narasi-narasi modernitas ini, menurut Shiva, adalah dengan pengetahuan adat yang menekankan hubungan yang sakral dengan alam. Oleh karena itu, Shiva menegaskan bahwa pada akhirnya ini bukan lagi perang antara manusia dan lahan, tetapi juga antara manusia dan pola pikir yang ada di kepalanya. Ini adalah perang melawan pandangan dunia yang menolak keterkaitan alam semesta.
Dalam hal ini, posisi agama leluhur menjadi sangat krusial. Misalnya, melawan narasi dead-earth dengan narasi mother-earth. Melawan narasi keterlepasan dengan narasi keterkaitan. Melawan relasi subjek-objek dengan narasi intersubjektif. Akan tetapi, tantangan yang dihadapi tidaklah mudah. Menurut Shiva, eksistensi agama-agama leluhur saat ini dipertaruhkan karena pelan-pelan mereka disingkirkan oleh revolusi industri dan neokolonialisme.
Vandana Shiva menutup keynote speech dengan menekankan makna the art of living atau seni hidup. Jika para ilmuwan modern menekankan bahwa ekonomi, yang berasal dari kata oikos ‘rumah’ dan nomos ‘mengatur’, adalah seni berkehidupan, maka Shiva menawarkan pengertian baru tentangnya. Menurut Shiva, seni dalam berkehidupan itu dimiliki ketika seorang individu sudah menyadari bahwa lingkungan di sekitarnya adalah hidup. Oleh karenanya, ia harus memahami pohon-pohon, ia harus memahami tanaman, ia harus memahami benih-benih, ia harus memahami sungai, ia harus memahami bumi, dan ia tentu harus memahami tubuhnya. Inilah ekonomi yang sebenarnya, sebuah seni mengatur rumah tangga di mana bumi adalah rumah kita dan, bagi Vandana Shiva, agama leluhur adalah kunci dari itu semuanya.
______________________
Haris Fatwa Dinal Maula adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Haris lainnya di sini.
Apabila membaca kembali usulan berkeyakinan tentang kehidupan sebagai suatu seni berkehidupan, agaknya sudut pandang kehidupan modern memunculkan suatu kekosongan maknawi, Akan tetapi, pernyataan ini tampaknya menjadi bentuk penyederhanaan ulang mengenai pentingnya orang “beragama”. Sebab, jika mengacu mengenai isu yang dilontarkan, sepertinya “pengetahuan ilmuwan” dari masyarakat India, bahkan telah melampaui pengetahuan-pengetahuan tinggi pada masanya yang merujuk angka tahun 1980 itu. Pada sisi lain, keunggulan atau pengagungan teknik dan teknologi sepertinya justru merebakkan kegoncangan. Mungkin karena tidak semua masyarakat memiliki tingkat pencapaian yang sama dengan para ilmuwan atau insinyur. Demikian pula, penghayatan keagamaan pada masyarakat tampaknya menggugah juga kalangan ilmuwan atau insinyur itu sendiri bahwa pada suatu titik tertentu mereka justru sebetulnya melakukan penindasan dengan mengatasnamakan kemajuan. Atau, dalam perspektif ini yang menjadi persoalan kemudian adalah kemajuan pengetahuan dan teknologi sepertinya tetap harus diimbangi dengan suatu peningkatan pemahaman etik dari para pelaku pengetahuan dan aktor teknologi itu, yang sepertinya dari sudut pandang ini berkembang menjadi suatu keilmuan tersendiri yang barangkali disebut etika atau pengetahuan ekologi.