• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Artikel
  • Agama Orang Jawa

Agama Orang Jawa

  • Artikel
  • 10 August 2011, 00.00
  • Oleh:
  • 0

Munawir Aziz | CRCS | Article

Persoalan agama pada masyarakat Jawa, atau secara lebih luas, warga Indonesia kini menjadi wacana serta perdebatan yang kian meluas. Problem-problem keagamaan pada masyarakat Jawa semakin kompleks, entah itu terorisme, kasus pengkafiran juga ajakan pindah agama dengan motif khusus, hingga pelbagai kasus yang dianggap sebagai sesat. Nah, tulisan ini ingin menyoroti ‘sesat’ dan pertarungan klaim ini dalam konteks kejawaan dan keindonesiaan.

Selama berabad-abad lamanya, masyarakat Jawa sudah mengenal dimensi spiritual sebagai bagian penting kehidupan serta kebudayaannya. Hal ini terekam dalam pelbagai situs dan artefak budaya yang merepresentasikan simbol-simbol spiritual, mistis dan dimensi ruhani. Misalkan, candi, makam-makam kuno, hingga tempat-tempat pemujaan roh halus yang diyakini menyimpan kekuatan misteri. Inilah serangkaian produk kebudayaan yang berbingkai spiritual, yang pada masyarakat Jawa, diyakini sebagai puncak olah batin dan perasaan.

Dalam periode panjang historiografi Nusantara, persoalan spiritualitas ini terus menjadi urat nadi kebudayaan serta kehidupan warga yang membentang di beberapa kerajaan besar. Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Samudra Pasai, Demak hingga Mataram, serta kerajaan di wilayah Makassar dan Sumba, juga hidup dengan tradisi spiritualitas yang kental. Spiritualitas ini menjadi bagian dari spirit kebudayaan, yang sublim dengan berbagai ritual lintas tradisi.

Misi dakwah dan kampanye teologis para pembesar Buddha, Hindu dan bahkan Islam, juga menempatkan kebudayaan sebagai pijakan untuk menggaet hati warga. Para pendakwah di era Nusantara, juga memasukkan nilai-nilai kebudayaan sebagai topangan teologis, yang tampak pada ritual khususnya, dari tingkatan kelompok elit kerajaan hingga rakyat biasa. Nilai-nilai spiritualitas Buddha-Hindu akhirnya menyatu dengan filosofi hidup masyarakat, hingga menjadi tradisi yang berkembang sebagai ritus keseharian.

Pada masa kampanye Islam zaman Walisongo, para sunan pun memasukkan pelbagai tradisi lokal hingga ‘seolah-seolah’ menjadi paket teologis. Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga menjadi pelopor dalam modifikasi alat musik agarkhas dengan selera Jawa, serta mencipta lagu-lagu populer yang sarat pesan spiritualitas. Alat musik gamelan, lagu-lagu Jawa klasik, kesenian wayang, dan beberapa model kesenian lain, merupakan hasil dari kolaborasi berbagai instrumen seni yang diolah dengan kerangka dakwah. Lalu muncullah, filosofi-makna gamelan dan Punakawan.

Agama sesat?

Pada awalnya, masyarakat Jawa mempunyai konsep keagamaan yang khas. Agama Jawa secara umum dipahami sebagai sebuah sintesis atas animisme, Hinduisme, Buddhisme dan Islam, yang mana animisme mendominasi dan mendapatkan ruang yang paling luas dalam ekspresinya. (Woodward, 1988: 54). Sementara itu, Clifford Geertz mengidentifikasi agama masyarakat Jawa berdasarkan konteks afiliasi kebudayaan dan politik. Agama Jawa merupakan akumulasi praktik religi masyarakat Jawa. Dalam pandangan Geertz pada The Religion of Java (1960), agama Jawa memiliki tiga variasi, yaitu abangan, santri, dan priyayi. Ketiga variasi ini memiliki sikap dan perilaku keagamaan yang berbeda satu sama lain, yang didasarkan pada hasil pengamatan keseharian masyarakat Modjokuto (Pare, Kediri). Meski demikian, rumusan ini mendapat banyak tentangan karena mendasarkan yang subtansi, ideologis berlawanan dengan pijakan politis ataupun kelas sosial.

Namun, pada masa kini, istilah sesat dan penyesatan menjadi sangat sering terdengar dalam konteks spiritualitas masyarakat Jawa. Apalagi, ketika Indonesia resmi berdaulat dan berbentuk nation-state yang diperjuangkan selama puluhan tahun, serta dirumuskan dalam diskusi panjang oleh pejuang-pemikir kenegaraan. Istilah aliran sesat dan nabi palsu seolah sering dikabarban, tanpa ada penjelasan mendalam apa yang sesat dan siapa yang palsu. Seolah, teriakan “sesat” menjadi penarik pelatuk untuk menembak, menghakimi bahkan membunuh kelompok tertentu. “Nabi-nabi” terus bermunculan yang membawa bermacam ideologi, semisal Lia Eden, Usman Roy, Sabdo Kusumo (Kudus), hingga Mirza Ghulam Ahmad yang dipercaya oleh warga Ahmadiyah. Aliran-aliran kebatinan yang berbau mistis dan bercampur tradisi lokal, dianggap sesat dan menyesatkan, semisal Darmo Gandul, Islam Aboge, Wetu Telu, Kejawen, hingga agama-agama lokal.

Di sisi lain, secara politis momentum 1945 dan 1966 menjadi titik penting yang membingkai narasi politik dan keagamaan di Indonesia, di samping konteks 1998 yang menelorkan ide reformasi dan desentralisasi politik. Akhirnya, perumusan “agama” muncul sebagai konsekuensi politik terbentuknya hukum formal negara. Agama menjadi bagian dari urusan pemerintah, yang dikelola sebagai komodifikasi politik yang terpusat dan terkontrol. Maka, jika ada ide dan bentuk di luar format yang ditetapkan negara, maka ia akan dianggap sesat. Namun, pada masa pasca 1998, penyesatan dan pengkafiran juga mulai menjadi tantangan hidup masyarakat Jawa, yang tidak lagi tata tentrem kerta rahardja, gemah ripah loh jinawi, karena ditantang oleh kasus teror, pembunuhan serta kepercayaan hukum dan keamanan yang rendah.

Gerakan pemurnian agama yang bangkit kembali dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia harus disikapi secara bijak. Memang, dalam konteks hukum agama dan negara, pada tahapan tertentu pelarangan terhadap ideologi serta aliran tertentu dibenarkan untuk menghindari konflik. Namun, penyerangan dan penghakiman sepihak terhadap kelompok spiritual tertentu akan menyeret kekerasan yang lebih luas. Dengan demikian, kearifan dan kebijaksanaan masyarakat kini perlu dibangkitkan kembali, untuk melawan diskriminasi dari pelbagai penjuru.

Pada konteks ini, masyarakat Jawa mendapatkan tantangan besar, untuk terus menyemai nilai-nilai keterbukaan, kekuatan tradisi dan spiritualitas yang menjadi bagian dari struktur kebudayaan. Pemurnian agama yang menjadi tema besar kelompok puritan perlu diolah menjadi sebuah cara berpikir dan aplikasi praktis, dalam konteks Indonesia. Hal ini penting agar, kebudayaan masyarakat Jawa tidak kehilangan esensi dan pondasinya. Tanpa kebudayaan, masyarakat Jawa akan hidup tanpa identitas.

Munawir Aziz, Mahasiswa CRCS, Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta Angkatan 2010

NB: Tulisan ini juga dimuat di Suara Merdeka edisi 10 Juli 2011

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
K O S M O P O L I S Kosmo bermakna semesta, sement K O S M O P O L I S
Kosmo bermakna semesta, sementara polis itu mengacu pada kota yang seupil. Sungguh istilah oksimoron dengan daya khayal maksimal. Namun, nyatanya, yang kosmopolis itu sudah hadir sejak dulu dan Nusantara adalah salah satu persimpangan kosmopolis paling ramai sejagad. Salah satu jejaknya ialah keberadaan Makco di tanah air. Ia bukan sekadar dewa samudra, melainkan kakak perempuan yang mengayomi saudara-saudara jauhnya. Tak heran, ketika sang kakak berpesta, saudara-saudara jauh itu ikut melebur dan berdendang dalam irama kosmopolis. Seperti di Lasem beberapa waktu silam, Yalal Wathon dinyanyikan secara koor oleh masyarakat keturunan tionghoa dan para santri dengan iringan musik barongsai. Klop!

Simak ulasan @seratrefan tentang makco di situs web crcs!
At first glance, religious conversion seems like a At first glance, religious conversion seems like a one-way process: a person converts to a new religion, leaving his old religion. In fact, what changes is not only the person, but also the religion itself. The wider the spread of religion from its place of origin, the more diverse the face of religion becomes. In fact, it often gives birth to variants of local religious expressions or even "new" religions. On the other hand, the Puritan movement emerged that wanted to curb and eradicate this phenomenon. But everywhere there has been a reflux, when people became disaffected with Puritan preachers and tried to return to what they believed their religion was before.

Come and join the #wednesdayforum discussion  at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju