• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Pluralism News
  • Alissa Wahid: Tantangan Yogyakarta Tantangan Indonesia

Alissa Wahid: Tantangan Yogyakarta Tantangan Indonesia

  • Pluralism News
  • 10 May 2014, 21.43
  • Oleh:
  • 0

AzQCEPZSebagai the City of Tolerance, Yogyakarta dikenal sebagai miniatur Indonesia, sebuah negara yang dibangun diatas kesadaran akan keragaman. Namun saat ini apa yang menjadi masalah dilevel nasional, Indonesia, juga terjadi di level lokal, Yogyakarta, yaitu masalah pengelolaan keragaman yang ditandai oleh maraknya tindakan-tindakan intoleransi dan konflik-konflik terkait berbedaan. Demikian salah satu bahan evaluasi dan refleksi pada pembukaan Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) ketiga di Kaliurang, Yogyakarta, 24 April 2014. Kegiatan yang bertujuan untuk melakukan konsolidasi antara elemen akademik dengan aktivis ini terselenggara atas kerjasama antara CRCS dengan American Friends Service Committee. Diharapkan upaya ini dapat berkontribusi dalam mewujudkan Yogyakarta sebagai the City of Tolerance, demikian papar Dr. Samsul Maarif, ketua pelaksana prodi Agama dan Lintas Budaya (CRCS).
Sekretaris Nasional Gus Durian, Alissa Wahid yang dihadirkan pada acara pembukaan mengungkapkan, meskipun komunikasi pemuka agama relatif masih baik, namun terdapat perkembangan yang mulai mengkhawatirkan, diantaranya adalah munculnya spanduk-spanduk kebencian kepada kelompok lain, anti syiah maupun anti komunis, adanya insiden-insiden protes terhadap perbedaan dan kelompok minoritas. Serta penyelesaian masalah-masalah itu yang cenderung instan dan segera bergerak ke arah isu lain dengan cepat, sehingga insiden dan konflik tersebut akan mudah terulang.
Dihadapan 25 peserta dari berbagai organisasi di Yogyakarta, Alissa Wahid menilai bahwa kondisi Indonesia saat ini sangat ironis. Menurutnya Indonesia yang berdiri atas kesepakan bersama dari berbagai suku bangsa seharusnya menyadari bahwa keberagaman menjadi sesuatu yang given dan dihormati. Namun, ruang-ruang diskusi pengelolaan keragaman menjadi sangat resmi dan harus dilakukan berulang-ulang sebagai upaya untuk mempertahankan keragaman tersebut, karena semakin langkanya penghormatan dan pengakuan hak-hak kewargaan, khususnya untuk kelompok minoritas.
Lebih lanjut Alissa menerangkan, efek globalisasi menyebabkan komunitas tidak lagi terbentuk berdasarkan kekerabatan dan kedekatan geografis. Apa yang dulu disebut suku saat ini lebih pada kelompok masyarakat berdasarkan kesamaan ideologi dan minat. Konsekuensinya arus tersebut tidak bisa ditahan, dimana seseorang memiliki kesamaan minat dari berbagai penjuru dunia. Sayangnya, hal itu tidak dibarengi dengan kepercayaan terhadap orang yang berbeda di sekililingnya. Dengan demikian, tumbuh perasaan curiga dan jika pun tidak terdapat konflik, hanya berdasarkan pada toleransi semu semata.
Alissa menambahkan terdapat beberapa indikator masyarakat yang menuju pada kondisi destruktif, salah satunya adalah akses mendapatkan senjata yang mudah. Indonesia tidak sampai pada kondisi tersebut namun masih terdapat indikator masyarakat destruktif lainnya yang ditemukan, yaitu bagaimana Negara (maupun kelompok mayoritas) memperlakukan masyarakat yang rentan (minoritas) sebagai sesuatu yang harus dikendalikan. Dalam pengeloaan konflik, kelompok tersebut dianggap sebagai ancaman yang harus dilokalisir. Berbeda dengan indikator masyarakat berkembang dimana masyarakat kecil tidak dilihat sebagai minoritas, tetapi warga sipil yang seharusnya tetap mendapatkan hak-hak kewarganegaraannya.

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

Since the end of 19th century, the Catholic Church Since the end of 19th century, the Catholic Church has conducted missionary activities among the Javanese in Muntilan, Indonesia, establishing it as the first Catholic mission site in Java. The missionary work not only impacted the Javanese but also the Chinese descendants in Muntilan. The conversion of the Chinese to Catholicism in sparked debates among the Chinese community, who perceived it as a contributing factor to the abandonment of Chinese characteristics. This contest leads to the dynamic and diverse identities of Chinese Catholics within the community, as Chinese characteristics and Catholic faith mutually influence each other.

Come and join the #wednesdayforum discussion with @astridsyifa at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to brong your tumbler. This event is free and open to public
Selamat kepada peserta terpilih!!! Ada namamu di s Selamat kepada peserta terpilih!!!
Ada namamu di situ?

😎

peserta terpilih akan dihubungi oleh panitia
yoohoooo... are you waiting for this announcement? yoohoooo...
are you waiting for this announcement?

#studentexchange #religiousstudies #kaburajadulu
Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berb Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berbeda untuk menamai "pendidikan". Bahasa Arab membedakan antara tarbiyah, ta'lim, tadris, dan ta'dib ketika berbicara tentang "pendidikan". Sementara itu, bahasa Inggris memaknai "pendidikan" sebagai educare (latin) yang berarti 'membawa ke depan'. Jawa memaknai pendidikan sebagai panggulawênthah, 'sebuah upaya mengolah', dan upaya untuk mencari pendidikan itu disebut sebagai "ngelmu", bukan sekadar mencari melainkan juga mengalami. Apa pun pemaknaannya, hampir semua peradaban sepakat bahwa pendidikan adalah kunci untuk memanusiakan manusia.
Load More Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju