“Bagi saya CRCS sangat membantu saya dalam membentuk paradigma-paradigma berpikir juga mempersiapkan saya untuk belajar,” ungkap Marthen Tahun, salah seorang alumni CRCS, ketika diwawancarai oleh salah satu anggota tim website CRCS melalui via telepon, Rabu (29/04). Di mata Marthen, pria yang lahir di Soe-Timur pada tahun 1972 ini, pekerjaannya di American Friends Service Center (AFSC) saat ini adalah sebuah pembelajaran, dan CRCS telah mempersiapkannya.
Sewaktu diwawancarai, Marthen sedang berada di Timor Barat. Ia sedang melakukan pendampingan program terhadap empat mitra AFSC di sana. Pendampingan program yang sedang berjalan di keempat mitra tersebut memiliki fokus yang berbeda, namun pada prinsipnya berbentuk pelayanan terhadap masyarakat. Pada salah satu komisi di Sinode Gereja Masehi Injili Timor (GMIT), contohnya, pendampingan diarahkan pada program penguatan kapabilitas tokoh-tokoh agama dalam mengadapi isu-isu sosial.
Dengan pekerjaannya yang banyak bersinggungan dengan isu-isu sosial dan religius itu, ia teringat aktivitas belajarnya selama di CRCS yang banyak mendiskusikan fenomena-fenomena riil di masyarakat. Sebut saja ketika berdiskusi tentang dialogue of action yang dikemukakan oleh Paul F. Knitter, ternyata masyarakat telah melakukannya sejak lama. Meskipun demikian, dengan berdiskusi dan mendalaminya, ia telah dipersiapkan untuk berhadapan langsung dengan fenomena dialogue of action di lapangan beserta kompleksitasnya.
Di akhir pembicaraan dengan Marthen, ketika ditanyakan sejauh mana perkembangan isu agama di Nusa Tenggara Timor pada masa PEMILU, Marthen menganggap fenomena PEMILU di sana sangat unik. “Segregasi yang terjadi di sana bukan pada ideologi kepartaian atau berdasarkan agama. Kalau memang berdasarkan agama, tentunya hampir semua masyarakat NTT, yang notabene mayoritas beragama Kristen, akan lebih memilih Partai Damai Sejahtera. Kenyataannya tidak.”
Menurut Marthen, isu-isu agama hanya masuk pada level-level tertentu. Misalnya, ada banyak orang Kristen yang menjadi legislator dari PKB, PBB dan beberapa partai bercirikan keagamaan lainnya. Isu tersebut akan menguat apabila sudah tidak ada alternatif-alternatif lagi, dimana dalam suatu partai berkaitan dengan lembaga-lembaga keagamaan lainnya. Partai-partai yang ada hanya dianggap sebagai kendaraan politik. [JMI]