• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Berita Alumni
  • Antara Wacana dan Praksis

Antara Wacana dan Praksis

  • Berita Alumni
  • 8 May 2009, 00.00
  • Oleh:
  • 0

“Bagi saya CRCS sangat membantu saya dalam membentuk paradigma-paradigma berpikir juga mempersiapkan saya untuk belajar,” ungkap Marthen Tahun, salah seorang alumni CRCS, ketika diwawancarai oleh salah satu anggota tim website CRCS melalui via telepon, Rabu (29/04). Di mata Marthen, pria yang lahir di Soe-Timur pada tahun 1972 ini, pekerjaannya di American Friends Service Center (AFSC) saat ini adalah sebuah pembelajaran, dan CRCS telah mempersiapkannya.

 

Sewaktu diwawancarai, Marthen sedang berada di Timor Barat. Ia sedang melakukan pendampingan program terhadap empat mitra AFSC di sana. Pendampingan program yang sedang berjalan di keempat mitra tersebut memiliki fokus yang berbeda, namun pada prinsipnya berbentuk pelayanan terhadap masyarakat. Pada salah satu komisi di Sinode Gereja Masehi Injili Timor (GMIT), contohnya, pendampingan diarahkan pada program penguatan kapabilitas tokoh-tokoh agama dalam mengadapi isu-isu sosial.

 

Dengan pekerjaannya yang banyak bersinggungan dengan isu-isu sosial dan religius itu, ia teringat aktivitas belajarnya selama di CRCS yang banyak mendiskusikan fenomena-fenomena riil di masyarakat. Sebut saja ketika berdiskusi tentang dialogue of action yang dikemukakan oleh Paul F. Knitter, ternyata masyarakat telah melakukannya sejak lama. Meskipun demikian, dengan berdiskusi dan mendalaminya, ia telah dipersiapkan untuk berhadapan langsung dengan fenomena dialogue of action di lapangan beserta kompleksitasnya.

 

Di akhir pembicaraan dengan Marthen, ketika ditanyakan sejauh mana perkembangan isu agama di Nusa Tenggara Timor pada masa PEMILU, Marthen menganggap fenomena PEMILU di sana sangat unik. “Segregasi yang terjadi di sana bukan pada ideologi kepartaian atau berdasarkan agama. Kalau memang berdasarkan agama, tentunya hampir semua masyarakat NTT, yang notabene mayoritas beragama Kristen, akan lebih memilih Partai Damai Sejahtera. Kenyataannya tidak.”

 

Menurut Marthen, isu-isu agama hanya masuk pada level-level tertentu. Misalnya, ada banyak orang Kristen yang menjadi legislator dari PKB, PBB dan beberapa partai bercirikan keagamaan lainnya. Isu tersebut akan menguat apabila sudah tidak ada alternatif-alternatif lagi, dimana dalam suatu partai berkaitan dengan lembaga-lembaga keagamaan lainnya. Partai-partai yang ada hanya dianggap sebagai kendaraan politik. [JMI]

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
K O S M O P O L I S Kosmo bermakna semesta, sement K O S M O P O L I S
Kosmo bermakna semesta, sementara polis itu mengacu pada kota yang seupil. Sungguh istilah oksimoron dengan daya khayal maksimal. Namun, nyatanya, yang kosmopolis itu sudah hadir sejak dulu dan Nusantara adalah salah satu persimpangan kosmopolis paling ramai sejagad. Salah satu jejaknya ialah keberadaan Makco di tanah air. Ia bukan sekadar dewa samudra, melainkan kakak perempuan yang mengayomi saudara-saudara jauhnya. Tak heran, ketika sang kakak berpesta, saudara-saudara jauh itu ikut melebur dan berdendang dalam irama kosmopolis. Seperti di Lasem beberapa waktu silam, Yalal Wathon dinyanyikan secara koor oleh masyarakat keturunan tionghoa dan para santri dengan iringan musik barongsai. Klop!

Simak ulasan @seratrefan tentang makco di situs web crcs!
At first glance, religious conversion seems like a At first glance, religious conversion seems like a one-way process: a person converts to a new religion, leaving his old religion. In fact, what changes is not only the person, but also the religion itself. The wider the spread of religion from its place of origin, the more diverse the face of religion becomes. In fact, it often gives birth to variants of local religious expressions or even "new" religions. On the other hand, the Puritan movement emerged that wanted to curb and eradicate this phenomenon. But everywhere there has been a reflux, when people became disaffected with Puritan preachers and tried to return to what they believed their religion was before.

Come and join the #wednesdayforum discussion  at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju