• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Book Review
  • Asal Mula Kepercayaan dalam Penjelasan Evolusioner

Asal Mula Kepercayaan dalam Penjelasan Evolusioner

  • Book Review
  • 24 June 2020, 14.26
  • Oleh: CRCS UGM
  • 0

Asal Mula Kepercayaan dalam Penjelasan Evolusioner

Tarmizi Abbas – 24 Juni 2020

Kepercayaan (belief) sering dikaitkan dengan agama. Dalam anggapan umum, manusia yang memiliki kepercayaan berarti secara langsung telah beragama. Padahal, dengan atau tanpa agama, manusia adalah makhluk yang secara alamiah berkepercayaan, dan ini berlaku bukan saja melalui agama, melainkan juga melalui suatu ajaran filsafat, ideologi, atau nilai etis tertentu. Sebelum agama-agama terlembaga, kepercayaanlah yang memungkinkan umat manusia menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial seperti persoalan hidup dan mati, asal mula alam semesta, hingga apa tujuan keberadaan dunia ini. Pertanyaannya: apa yang melatari lahirnya kepercayaan itu?

Agustín Fuentes, profesor antropologi yang selama puluhan tahun menekuni primatologi di Universitas Notre Dame, berupaya menjawab pertanyaan itu dalam bukunya Why We Believe: Evolution and the Human Way of Being (Yale University Press, 2019). Baginya, kepercayaan dapat dijelaskan secara ilmiah. Pertama, sebagai antropolog, Fuentes mengungkap kepercayaan sebagai sesuatu yang berjangkar langsung pada pengalaman umat manusia dalam memperkuat struktur sosial dan menunjang kehidupan sehari-hari mereka. Kedua, sebagai ilmuan evolusi, Fuentes menelaah apa yang mendasari kemampuan manusia untuk percaya (human capacity to believe) melalui faktor internal dan eksternal seperti gen, ekologi, sejarah, dan tingkah laku. 

Buku Fuentes ini menyajikan pembacaan yang apresiatif dalam menjelaskan makna kepercayaan dalam sejarah manusia. Fuentes juga mengambil jarak dari penjelasan reduksionis bahwa kepercayaan hanyalah sekumpulan informasi yang terkandung di dalam DNA manusia akibat interaksi mereka dengan lingkungan sekitar. Ia juga membedakan apa yang dimaksud dengan “memiliki kepercayaan” dan “kapasitas untuk memercayai”. Yang pertama sering diasosiakan dengan agama, sedangkan yang kedua adalah suatu kemampuan alamiah yang melekat pada diri manusia. 

Diskontinuitas dalam Evolusi

Alasan mengapa manusia berkepercayaan, bagi Fuentes, ialah karena kita merupakan spesies yang berbeda dan paling aneh kendati memiliki kedekatan secara genetik dengan anggota keluarga besar primata lainnya seperti simpanse, bonobo, gorila, dan orangutan (h. 14). Sejarah evolusi primata yang melahirkan manusia memperlihatkan sebuah diskontinuitas, alih-alih kontinuitas. Jika evolusi manusia berkontinuasi, seharusnya ia memiliki kesamaan perilaku dengan primata lainnya yang memiliki garis keturunan langsung dari cikal-bakal mereka, yakni kera besar (the great ape). Yang terjadi sekitar 8-10 juta tahun lalu justru memperlihatkan ketaksinambungan ketika makhluk Hominin muncul di dataran Afrika. Berbeda dari primata lainnya, Hominin tidak bergelantungan di pohon, memliki bentuk otak yang lebih besar, menghabiskan sebagian besar waktu di tanah, dan berjalan dengan dua kaki (bipedal). Hominin juga memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan sesamanya secara emosional dan gestur tubuh yang lebih baik. 

Australopithecus afarensis dinilai merupakan kandidat paling identik dengan genus Homo yang keduanya termasuk sebagai Hominin. Keberadaan afarensis dijumpai sekitar 3-4 juta tahun lalu dan telah menyebar ke bagian utara dan selatan, bahkan di luar Afrika, sedangkan Homo baru muncul dua juta tahun lalu di tempat yang sama dan diyakini sebagai cikal-bakal manusia. Sayangnya, afarensis mengalami kepunahan karena bencana alam serta menjadi mangsa predator, sama halnya dengan Neanderthals dan Heidelbergensis yang berada dalam genus Homo.

Satu-satunya yang tersisa hanyalah Sapiens dari genus Homo yang muncul sekitar 100-400 ribu tahun yang lalu. Sapiens bukan hanya berbeda dari segi fisik, melainkan juga dari cara mereka memandang dunia, menciptakan perkakas dari batu, dan mengontrol api untuk pertama kali. Sekitar 65-40 ribu tahun yang lalu, Sapiens telah mengembangkan simbol dan bahasa untuk berkomunikasi. 

Transformasi radikal di dalam sejarah Sapiens ini, bagi Fuentes, diikuti pola kehidupan yang semakin kompleks. Seturut upaya mempertahankan hidup sosial, Sapiens memproduksi suatu pandangan tentang dunia. Hal seperti ini, ujar Fuentes, dipengaruhi oleh niche, sebuah terminologi yang diadopsinya dari seorang ekolog Amerika, G. Evelyn Hutchinson (1903-1991). Niche merupakan kemampuan multidimensional sebuah organisme agar dapat bertahan hidup dengan memanfaatkan interaksi terhadap lingkungannya. Alih-alih statis dan instan, niche manusia berkembang melalui kegagalan dan percobaan terus-menerus. Niche juga secara langsung membedakan manusia dengan para pendahulu mereka sebelumnya, wabilkhusus dalam soal berkolaborasi, mengimajinasikan sesuatu, menciptakan alat bantu, dan memproduksi pengetahuan. Dan yang paling penting, tulis Fuentes, niche manusia adalah asal mula kapasitas manusia untuk percaya. 

Dari Niche ke Kultur

Lima belas hingga dua belas ribu tahun lalu adalah titik tumpu untuk memahami lebih dekat kemampuan untuk percaya sebagai bagian esensial yang mendefinisikan manusia. Disebut esensial karena, untuk memahami kehidupan yang kian kompleks, manusia harus memiliki kepercayaan. Penjelasan ini, bagi Fuentes, adalah transformasi dari niche ke kultur, yakni ekosistem yang memfasilitasi seluruh pikiran dan pengalaman manusia ke dalam tindakan yang riil. Jadi, dari yang semula hanya kemampuan untuk membayangkan, menjadi kemampuan untuk menjelaskan dan merepresentasikannya ke dalam benda-benda material. “Kultur memungkinkan manusia untuk meyakini dirinya sebagai pusat alam semesta” (h. 38).

Pengejawantahan kultur dapat disaksikan ketika manusia memahami fenomena kematian, sifat binatang, cuaca, matahari, dan fenomena alamiah lainnya tidak hanya sebagai keniscayaan alam, melainkan juga turut menjelaskan kenapa hal tersebut terjadi. Hal ini turut andil dalam kelahiran peradaban, dari praktik-praktik domestikasi hewan hingga pembangunan kota-kota kecil. Kultur juga menjelaskan keterikatan manusia terhadap tempat-tempat yang mereka bangun sebagai sebuah identitas yang diikat oleh sejarah bersama. 

Sebagaimana niche, kultur juga terus berkembang untuk menjawab hajat hidup manusia dengan melahirkan seperangkat nilai yang baru, seperti ideologi dan sistem politik dan ekonomi. Sekali kultur diterapkan dan menjadi konsensus bersama, manusia mengharuskan dirinya untuk membuat komitmen terhadapnya. Mereka yang melanggar dihukum dan dikucilkan dari kelompok inti. Akan tetapi, komitmen ini pada gilirannya juga turut melahirkan ketimpangan kelas ketika segelintir manusia lain mulai mengklaim hak kepemilikan pribadi. Pada situasi yang sama, manusia juga mulai menetapkan komitmen terhadap diferensiasi gender dalam soal mengelola perkebunan, pendidikan, urusan rumah tangga, dan peran sosial lainnya, yang berlangsung ratusan tahun.

Bagaimana dengan Agama?

Agama yang terlembaga dan lahir dari kultur manusia, menurut Fuentes, baru muncul sekitar 4000-8000 tahun lalu. Kemunculan agama ini ditandai oleh penciptaan makna (meaning-making) mengenai Sesuatu yang transenden, seperti Tuhan, dewa, atau entitas ilahiah lainnya yang dipercaya berandil dalam menentukan nasib manusia. Penjelasan Fuentes tentang agama bukanlah sebagaimana umum dipahami sebagai sebuah sistem kepercayaan dengan doktrin yang mengikat, tempat-tempat sakral, dan praktik peribadatan. “Agama” yang dimaksud oleh Fuentes adalah “menjadi religius” (being religious), yang menjadi modus manusia dalam memaknai kehidupannya. Dengan kalimat lain, “menjadi religius” bagi Fuentes berusia lebih purba dari agama sebagai sistem kepercayaan.

Namun demikian, bagi saya, Fuentes tampaknya kurang masuk lebih jauh ketika mengajukan pandangan bahwa untuk memercayai keberadaan entitas ilahiah, seseorang tidak butuh agama sama sekali (h. 58). Pandangan ini benar dalam penjelasannya terkait “kapasitas manusia untuk percaya”, tetapi tidak ketika kita hendak menjelaskan secara lebih terperinci ihwal bagaimana hubungan Yang Ilahi itu dengan dunia, termasuk manusia di dalamnya. Agama-agama sebagai sistem kepercayaan menyediakan seperangkat bahasa untuk menjelaskan hal ihwal yang terakhir ini.

Di dalamnya, teologi-teologi lahir, berikut turunannya seperti praktik peribadatan dan nilai-nilai etis. Sayangnya, buku Fuentes kurang rinci dalam memberikan penjelasan evolusioner dari kelahiran kognisi yang memungkinkan manusia untuk memikirkan bagaimana relasi Yang Ilahi dengan manusia, yang pada gilirannya melahirkan sistem kepercayaan yang mendasari agama-agama terlembaga sampai hari ini.

____________________

Tarmizi “Arief” Abbas adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2019. Baca tulisan Arief lainnya di sini. 

Tags: tarmizi abbas

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju