A. S. Sudjatna | CRCS | News
Agama tidak perlu dibela. Yang perlu dibela adalah inti dari agama: keadilan dan kebenaran. Kurang lebih seperti itulah hal yang diungkapkan oleh Elga Sarapung di awal pemaparannya dalam diskusi bertema “Atas Nama Agama? Sebuah Tinjauan atas Kekerasan di Singkil dan Tolikara”, Jumat, 11 Desember 2015. Diskusi ini menampilkan dua orang pembicara, Elga Sarapung dari Interfidei dan Rizal Panggabean, staf pengajar di Departemen Hubungan International, UGM.
Diskusi yang diselenggarakan oleh Institute of International Studies (IIS), Jurusan Ilmu Hubungan International, Fakultas Fisipol, UGM, ini merupakan sebuah refleksi atas peringatan hari HAM (Hak Asasi Manusia) sedunia yang jatuh tiap tanggal 10 Desember. Diharapkan, dengan adanya diskusi ini para mahasiswa dan kalangan akademisi lainnya dapat memahami secara lebih komprehensif dua kasus kekerasan atas nama agama yang belum lama ini terjadi di ujung barat dan timur wilayah Indonesia. Diskusi ini berlangsung selama sekitar dua jam setengah dan dihadiri oleh lebih dari lima puluh peserta dari kalangan akademisi dari berbagai fakultas.
Dalam diskusi yang dimoderatori Ayu Diasti Rahmawati—staf pengajar departemen HI UGM—ini, Elga menyampaikan kekerasan yang terjadi di Tolikara, Papua, maupun kekerasan yang terjadi di Singkil, Aceh, memang tak lepas dari faktor agama. Pernyataannya tersebut didasarkan pada berbagai fakta yang ia temukan di lapangan. Menurutnya, ada intoleransi di dalam kedua kasus tersebut. Oleh sebab itu, menurut Elga, kita tidak boleh selalu memandang agama sebagai faktor yang tidak mungkin menjadi sumber terjadinya tindak kekerasan. “Jangan takut untuk mengkritik agama,” tegasnya.
Untuk menguatkan pernyataannya tersebut, Elga menunjukkan beberapa argumen. Ia menyebutkan bahwa sikap intoleran yang ditunjukkan oleh GIDI dengan membuat surat edaran yang melarang umat Islam mengadakan perayaan Idul Fitri sangatlah jelas. Bahkan, sikap intoleran GIDI tersebut tidak hanya ditujukan terhadap komunitas yang berbeda agama, melainkan juga terhadap sesama Kristen, seperti yang mereka lakukan terhadap umat Advent. Dalam hal ini, Elga juga mengutip ucapan Ustadz Ali Muchtar saat acara peletakan batu pertama pembangunan kembali masjid di Tolikara, “Saya tidak bisa tidur semalam. Kenapa GIDI tidak diundang dalam acara ini? Yang kami butuhkan adalah pengakuan dari warga GIDI.” Menurut Elga, ucapan Ustadz Ali Muchtar ini menunjukkan kemungkinan adanya sikap-sikap intoleran yang dialami oleh mereka selama ini.
Oleh sebab itu, menurut Elga, faktor agama dalam kasus Tolikara ini sangat kuat. Begitu pula dengan kasus di Singkil, Aceh. Elga menunjukkan bagaimana tekanan umat Islam terhadap minoritas Kristen yang ada di sana begitu kentara. Hal ini terlihat dalam perjanjian yang terjadi di antara kelompok umat Islam dan Kristen mengenai pembatasan jumlah gereja yang boleh dibangun. Menurut Elga, perjanjian mengenai pembatasan jumlah gereja yang terjadi sejak 1979 dan diperbarui pada 2001 tidaklah logis. Sebab, dalam kurun waktu selama itu, jumlah umat Kristen dan luas wilayah yang dihuni oleh mereka pastilah bertambah. Konsekuansinya, penambahan jumlah gereja sangat dibutuhkan. Selain itu, sebagaimana ditambahkan oleh Rizal, adanya keterlibatan organisasi Islam dalam mobilisasi massa pada kasus Singkil semakin menunjukkan peran agama dalam soal tindak kekerasan ini.
Berdasarkan bukti-bukti tersebut dan beberapa fakta lainnya yang ditemukan di lapangan, Elga berkesimpulan bahwa memang agama memainkan peran yang sangat penting di dalam dua kasus kekerasan tersebut. Meskipun demikian, baik Elga maupun Rizal tidak menampik adanya faktor lain yang dapat mengeskalasi kedua konflik tersebut, misalnya faktor ekonomi dan kekuasaan. Dalam hal ini, Rizal mengungkapkan bahwa kemungkinan adanya kecemburuan sosial antara warga asli dan pendatang di Singkil sangat besar. Sebab, menurut Rizal, kebun sawit di Singkil banyak dimiliki oleh para pendatang dari Tapanuli yang kebanyakan dari mereka beragama Kristen. Adanya kecemburuan sosial pendatang-pribumi ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dari program transmigrasi oleh pemerintah. Begitu pula, denominasi gereja baru yang banyak bermunculan di Papua tidak menutup kemungkinan bagi hadirnya konflik antara maupun antar-agama di sana.
Selain menyingung banyak soal peranan agama pada—khususnya—kedua kasus kekerasan tersebut, baik Elga maupun Rizal juga sama-sama menyoroti peran pemerintah dan aparat keamanan. Keduanya menganggap bahwa pemeritah—yang direpresentasikan oleh aparat keamanan—memiliki andil yang cukup besar dalam proses terjadinya dua kekerasan tersebut. Dalam hal ini, Elga mencontohkan bahwa saat para pemuda GIDI hendak menegur pihak umat Islam saat melakukan salat Idul Fitri di lapangan yang terhalang oleh landasan pesawat, seharusnya aparat keamanan bisa mengantisipasinya. Sebab, menurut Elga, tidak mungkin para pemuda GIDI tersebut dapat lolos dari pantauan petugas keamanan saat menyeberangi landasan pesawat menuju lokasi shalat Idul Fitri. Begitu juga pada kasus Singkil, seharusnya aparat dapat mengantisipasi kejadian pembakaran gereja sebab isu tersebut sudah muncul dan makin menguat beberapa hari sebelumnya. Contoh lain, misalnya, kasus Syiah di Sampang menunjukkan betapa aparat negara terlibat secara langsung dalam proses terjadinya kekerasan. Ada salah seorang aparat negara yang secara terbuka memprovokasi masyarakat untuk melakukan tindakan intoleran terhadap kelompok Syiah. Namun, pada semua kasus tersebut, negara belum mampu bersikap tegas dan cepat tanggap dalam penegakan hukum.
Sebagai konklusi dari acara diskusi ini, setidaknya ada lima hal yang perlu dilakukan untuk meredam atau menangani kasus kekerasan atas nama agama. Pertama, mencari akar masalah pencetus terjadinya kekerasan. Dalam hal ini termasuk melihat kembali pemahaman seseorang atau sekelompok orang tentang agamanya serta implementasinya. Hal ini penting sebab agama memiliki pengaruh amat signifikan terhadap pengambilan sikap dan keputusan seseorang. Kedua, melakukan pengelolaan perbedaan dengan sungguh-sungguh. Hal ini dapat dilakukan oleh setiap pribadi maupun kelompok agama. Ketiga, melakukan solidaritas konstruktif, bukan destruktif. Misalnya, saat terjadi kekerasan terhadap sebuah kelompok di suatu wilayah, maka kelompok yang sama di wilayah lain seyogianya tidak melakukan balas dendam terhadap rival kelompoknya yang ada di wilayah mereka. Keempat, negara harus kuat, tegas, jelas, dan adil dalam penegakan hukum bagi setiap kasus tindakan kekerasan atas nama agama. Kelima, pemimpin negara dan para tokoh agama harus solid baik dalam ucapan mapun tindakan konkret dalam menjaga toleransi agama. Selain kelima hal itu, hadirnya aspek norma dan perilaku serta aspek kelembagaan dalam proses mewujudkan toleransi beragama sangatlah penting.