Gagalnya Irshad Manji menginjakkan kakinya untuk kedua kalinya di tanah UGM seharusnya membuat kita, khususnya civitas akademi UGM, berpikir ulang. Tidak perlu disembunyikan bahwa pembatalan acara itu adalah karena ancaman dari sekian ormas, yang tak semuanya selalu jelas nama dan keberadaannya.
Tidakkah ini membuat kita berpikir, bagaimana masa depan atmosfer akademik UGM? Bagaimana kalau suatu ketika ada keberatan semacam itu lagi dari dua, atau tiga, atau tiga puluh ormas untuk isu-isu lain yang mungkin memunculkan pandangan yang tidak disetujui sebagian orang? Misalnya, tentang pembicaraan kemungkinan penyelesaian konflik-konflik di Papua? Atau, suatu seminar kebencanaan mengenai penyebab bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo? Pemberantasan korupsi dan peran KPK? Atau isu-isu lain.
“O, itu lain…. Irshad Manji adalah lesbian, yang mau merusak moralitas masyarakat kita.” Mungkin demikian tanggapan sebagian orang. Ada banyak problem dengan jawaban semacam ini.
Pertama, tema-tema itu tak kalah sensitif, bahkan dalam beberapa hal mungkin lebih sensitif. Beberapa waktu lalu, seminar tentang Papua di Sekolah Pascasarjana UGM, yang dihadiri tokoh-tokoh penting, sudah pernah terjadi dan dihentikan sekelompok orang ketika Direktur SPs baru menyampaikan ucapan pembukanya. Suatu kelompok bisnis yang berkepentingan dengan isu ilmiah mengenai apakah bencana di Sidoarjo yang bermula pada Mei 2006 itu adalah bencana alam atau akibat kelalaian manusia, mungkin saja menyewa sekelompok orang yang berani mengancam atau melakukan kekerasan untuk membela kepentingannya, dan menggagalkan diskusi yang hasilnya mungkin merugikannya. Demikian pula dengan yang lain-lain.
Isunya sama: kemungkinan pertukaran pendapat ditutup sebelum dilakukan. Apakah lalu lembaga akademik sekelas UGM dari waktu ke waktu harus meminta izin (atau dalam bahasa kepolisian,”berkoordinasi”) dengan ormas, preman, dan sebagainya?
Agak menyedihkan, memang, kesan itulah yang muncul: kewibawaan lembaga akademik dikalahkan oleh ancaman. Tentu ada alasan mulia yang bisa diajukan: demi ketertiban (Dan lalu kita akan dipaksa memikirkan ulang makna “ketertiban”, ketika “tertib” berarti menghindari resiko perbedaan pandangan).
Tapi, tidak semua kesalahan bisa ditimbulkan kepada kelompok yang mengancam. Sebagian orang akan menyalahkan UGM—tapi UGM juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Yang membuat ancaman-ancaman itu menjadi efektif, dan yang membuat UGM harus mengorbankan otoritas akademiknya demi ketertiban adalah atmosfer kekerasan yang makin menguat. Yaitu, kekerasan yang dibiarkan.
Secara bertahap, kita belajar bahwa ancaman dan kekerasan adalah alat efektif untuk memecahkan masalah. Ketika korban kekerasan justru menjadi terdakwa dan dihukum; ketika media secara rutin menyajikan potret kekerasan yang dibiarkan dan tak ditindak; ketika ancaman sudah cukup untuk membuat penegak hukum bertindak—tidak dengan menindak si pengancam tapi justru target yang diancam—maka tak mengherankan jika ancaman kekerasan menjadi pilihan yang makin populer.
Sekadar sebagai contoh yang sangat dekat dengan kami: Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia yang kami terbitkan sejak 2009 tak kurang berisi contoh-contoh itu dan, dalam dua Laporan terakhir, kami menegaskan kenyataan ini karena meningkatnya kecenderungan itu. Bahwa jika hal-hal seperti ini dibiarkan terus, kita akan sampai pada satu titik ketika kekerasan dan ancaman menjadi hal biasa dan kita dipaksa mentolerirnya.
“Tapi bagaimana dengan lesbianisme?” Dalam kasus diskusi dengan Irshad Manji, sesungguhnya ini tidak masuk agenda sama sekali. Tapi orang-orang cerdas sekalipun dapat termakan oleh teknologi baru yang ampuh dan massif: SMS. Teknologi ini bisa menyebar ketakutan dan mengubah tema seperti “ijtihad” menjadi “pelegalan dan propaganda lesbianisme”!
“Tapi, sekali lagi, …. bagaimana dengan lesbianisme?” Apakah akan dibiarkan saja? Bagaimana dengan “kesesatan yang terorganisir”— akan dibiarkan saja? Ada beragam pilihan sebetulnya yang bisa diambil. Sudah jelas orang tidak harus menerima semua pandangan. Tapi pilihan yang tersedia bukan hanya pilihan arogan “either you’re with us or against us”. Ada yang tegas menyatakan homoseksualitas adalah dosa besar; ada yang membelanya dengan argumen yang dipikirkan masak-masak, dengan argumen serius dari kitab suci; ada yang menolak dengan tegas sembari tak kalah tegasnya membela hak orang itu. Dan mungkin ada duabelas variasi pandangan lain.
Apakah kekeliruan (baca: dosa, atau perbedaan pandangan) berarti menghilangkan seluruh hak orang itu dan hak orang-orang lain (dan di sini akan ada banyak variasi lagi ketika bicara hak: hak berbicara dan berekspresi, atau hak mendapat penghidupan yang layak, atau bahkan hak hidup?) Bagaimana mungkin sisik-melik ini bisa dibicarakan demi mendapatkan posisi yang tepat, kalau kemungkinan berbicara saja ditutup?
Pembicaraan ini bisa panjang, dan harus panjang, karena, apa boleh buat, terlanjur ada beragam pandangan. Tapi bukan itu isunya saat ini.
Kekhawatiran kita adalah jika mentalitas preman yang ingin menyelesaikan masalah atau menutup percakapan dengan ancaman atau kekerasan diakomodasi oleh lembaga akademik. Apa jadinya kalau dari waktu ke waktu kita harus terus “berkoordinasi” dengan sumber ancaman atau kekerasan? Apa lagi yang bisa dilakukan jika mentalitas ini masuk ke ruang akademik yang terhormat? Bagaimna dengan cita-cita dan mantra “WCRU” (world class research university)?
Sebuah universitas seperti itu tentu bukanlah universitas yang berkat kerapiannya menyimpan kertas-kertas dokumen bisa lolos akreditasi atau mendapatkan sertifikasi. Tapi lembaga terhormat yang memberikan ruang untuk membangun pengetahuan—dan pengetahuan diciptakan oleh kesediaan mencari, mendengar, melakukan kesalahan, mengoreksi, melalui percakapan-percakapan yang beradab. Atau ia dibunuh sebelum lahir oleh ancaman.
Terlalu cepat tunduk pada ancaman berarti hidup dalam dan menghidupi atmosfer kekerasan itu. Apakah kita (UGM) sudah hidup dan bernafas dari menghirup udara di atmosfer itu?
Zainal Abidin Bagir
Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS)
Sekolah Pascasarjana, UGM
Berikut catatan Mustaghfiroh Rahayu yang sedianya akan menjadi moderator acara diskusi dengan Irshad Manji di CRCS:
Saya sudah membaca dua buku Irshad Manji “The Trouble with Islam Today” (2003) dan “Allah, Liberty and Love”(2011). Ketika membaca buku yang pertama, saya seperti membaca orang yang sedang marah menulis buku. Dengan latar belakang pengalaman masa kecilnya yang tidak indah tentang Islam, Irshad mengugat the very basic ajaran Islam tanpa basa-basi. Sementara, sebagai seorang perempuan muslim yang punya pengalaman begitu menyenangkan mengikuti kegiatan masjid di masa kecil dan mendapatkan pendidikan formal Islamic studies, saya tidak sepakat dengan sebagian besar basis argumennya. Terlalu simplistik dan salah arah. So, I read “The Trouble with Islam Today” and I am troubled.
Buku kedua, “Allah, Liberty and Love”, baru saya baca kemarin. Buku ini lebih merupakan refleksi lebih jauh dari apa yang sudah dimulai Irshad untuk mengampanyekan “beriman tanpa takut”. Dia merujuk kepada banyak respon yang ditujukan kepadanya baik melalui website maupun media lain. Namun yang menarik bagi saya, dia memulai buku ini dengan satu bab pendahuluan berjudul “From Anger to Aspiration”. Di dalamnya dia mengatakan, “let’s not focus on the trouble with Islam, but on what there is to love about Islam—from the perspective of a dissident”.
Membaca ini, saya melihat transformasi. Dari “anger” menjadi “aspiration”. Dari “trouble” berganti “love”. You see, this is the fruit of dialog. Masing-masing pihak akan bertransformasi. Tidakkah kalian yang menentang diskusi melihat peluang ini?
Sampai ketemu besok pagi sahabat-sahabatku yang percaya dialog akan memperkaya. Bersama saya sebagai moderatornya.
(Dikutip dari Facebook Mustaghfiroh Rahayu yang ditulis kemarin, Selasa 8 Mei 2012)