“CRCS is a gate which has opened my new world. CRCS has opened my mind, not only how to be a good follower of Buddhism, but also how to criticize that religion,” this was expressed by Wawancara Wilis Rengganiasih Endah Ekowati, a CRCS alumna (2004), when asked about CRCS contributions to her success. One proof of her success is being granted a Fulbright Scholarship to pursue PhD program at the Department of South and Southeast Asian Studies of the University of California, Berkeley.
Wednesday Forum this week provides a topic “A New Trans-yanic Buddhism in the Making?” that will be articulated by the speaker, Prof. Asanga Tilakaratne. We invite you to join this forum. Some information about the forum can be read as follows.
Date: Wednesday, 10 June 2009
Time: 12.30 pm ? 2.30 pm (free lunch)
Venue: Room 306, UGM Graduate School Teknika Utara, Pogung
Speaker: Prof. Asanga Tilakaratne
Abstract:
This paper examines the impact of globalization on religion. The particular emphasis in this study is on Buddhism, which has been confined to its localities for centuries and now has started traveling. Due to extensive physical encounters among various Buddhist traditions naturally there have been many interchanges of ideas, practices, techniques, methods and even ideas. It appears that a trans-yanic Buddhism, which goes beyond the traditional categories such as Hinayana, Mahayana and Vajrayana, is in the making.
Wednesday Forum minggu ini menyajikan topik “Sebuah Trans-yanik Buddhisme Baru dalam Pembuatan?” yang akan diartikulasikan oleh Prof. Asanga Tilakaratne, pembicara minggu ini. Kami mengundang Anda untuk bergabung dalam forum ini. Beberapa informasi mengenai forum ini dapat dibaca sebagai berikut ini.
Hari/tanggal: Rabu, 10 Juni 2009
Waktu: 12.30 ? 14.30 WIB (makan siang gratis)
Tempat: Ruang 306, UGM Sekolah Pascasarjana Jln. Teknika Utara Pogung
Pembicara: Prof. Asanga Tilakaratne
Abstrak:
Berbicara tentang negara Islam, ada banyak interpretasi terhadap konsep tersebut. Salem Gandhour sebagai pembicara pada Wednesday Forum, 13 April 2009, mengatakan bahwa pemikiran tentang negara Islam dengan merujuk pada Qur?an and Hadis adalah pemikiran yang terbatas. Nabi Muhammad sendiri pada massanya tidak mengklaim mendirikan negara Islam. Pemikiran yang terbatas itu lebih banyak dipengaruhi oleh negeri Arab, khususnya dimotori oleh para Imam dari Al-Azhar, Mesir.
Untuk menunjukkan perbedaan interpretasi yang beragam terhadap negara Islam, di awal diskusi Salem melemparkan pertanyaan kepada dua peserta mengenai apa itu negara Islam. Peserta pertama menjawab bahwa negara Islam adalah negara yang harus memberlakukan hukum Islam dalam sistem kenegaraannya. Indonesia secara substansial adalah negara Islam, tegasnya. Sedangkan peserta kedua, ia lebih menonjolkan sisi pemerintahan yang mendominasi keberagaman yang ada di bawah kekuasaan negara Islam.
Konflik di Poso menyebabkan segregasi didalam masyarakat Poso, hal ini ditandai dengan adanya wilayah teritorial dari masing-masing kelompok umat beragama. Terkait dengan segregasi tersebut, Izak Y. M. Lattu, alumni CRCS yang saat ini menjadi salah satu staf pengajar di UKSW, pada Wednesday Forum (6/5), menjelaskan bahwa kehadiran Youth Centre di Poso sangat efektif dalam membangun keterbukaan dan hubungan damai di antara Pemuda Poso. Dengan demikian tentu akan lahir berbagai dampak positif termasuk diantaranya menjembatani segregasi yang ada.
When we talk about Islamic state, there are many interpretations related to that concept. According to Salem Ghandour, the guest speaker during the weekly Wednesday Forum on April 13, 2009, the ideas with regard to Islamic state in reference to the Qur?an and Hadith are narrow-minded. The Prophet Muhammad himself during his time did not claim of establishing an Islamic state. This narrow-mindedness is greatly influenced by Arabic countries, especially by the imams from al-Azhar in Egypt.
To show the differences between interpretations, Salem begun the forum by asking ?what Islamic state is? to two participants. The first participant answered that Islamic state is a state that holds Islamic law in its system. Substantially, Indonesia is an Islamic state, he said. The second participant emphasized more on governance that dominates pluralism under authority of Islamic state.