Buku ini ditulis dengan berangkat dari pandangan bahwa perkembangan sains dan teknologi mengajukan tantangan bersama bagi agama-agama untuk ditanggapi dengan baik. Setelah pembahasan pengantar mengenai wilayah dan sejarah buku ini membahas dua bidang besar yang juga kontroversial, yaitu kosmologi dan evolusi. Ini disusul dengan empat pembahasan mendalam dari perspektif Hindu, Buddha, Kristen dan Islam mengenai doktrin penciptaan. Lebih jauh, dalam begian ketiga ditunjukkan bagaimana agama, sebagai salah satu sumber etika, dapat berperan dalam mengatasi masalah-masalah sosial yang dimunculkan perkembangan sains, dan juga bagaimana ilmu dan agama diharapkan dapat bekerjasama untuk memecahkan masalah. Karena itu kajian otoritas dari berbagai disiplin: Like Wilardjo, Karlina Supeli, Bernard Adeney-Risakotta, Machasin, Etti Indiarti, Bhikkhu Jotidhammo, I Made Titib, Zainal Abidin Bagir, J. Sudarminta, Bekti Setiawan, Louis Leahy, dan Musa Asy’arie.
Bagi agama, keberhasilan gilang-gemilang sains di berbagai aspek kehidupan manusia, terutama sejak Renaisans, sekurang-kurangnya menimbulkan tanggapan yang mendua: harapan baru dan juga khawatiran baru.
Agama mungkin bisa mengharapkan sains membersihkan unsur-unsur takhayuli yang menyusup, disadari atau tidak, ke dalam ajaran-ajarannya. Tetapi, agama juga khawatir, kalau-kalau sains akan menyisihkannya, atau malah meniadakannya. Meskipun harapan ini tampaknya tidak terpenuhinya, kecemasannya pun untungnya tidak terlalu mengkhawatirkan.
Sains, berikut turunannya teknologi, telah memberi manusia manfaat yang begitu besar. Bak Midas yang mengubah apa pun yang disentuhnya menjadi emas, sains “dengan satu sentuhan jari” telah mengubah segala aspek kehidupan tampak lebih cemerlang, cepat, mudah, dan menyenangkan.
Tapi dengan sains pulalah, manusia mengintensifkan tragedi dan bencana:bom nuklir yang meluluhlantahkan Hirosima, Perang Dunia I dan II, krisis lingkungan global yang mengancam kelestarian bumi, kejahatan teknologi yang semakin kompleks dan canggih.