Abstract There are estimated to be 6 – 7 million Muslims living in America and the number is growing rapidly through immigration, conversion, and the birth of a new generation. During this Wednesday Forum Jaye will provide an overview of American Muslim demographics and history with a look at the rapidly expanding institutions and cultural contributions. Special attention will be given to the experiences of Muslim women, the impact of September 11th and the well-funded strategic anti-Muslim/Islam campaigns. Speaker Jaye Starr is a visiting Henry Luce Exchange Student with the ICRS/CRCS programs. She is an American Muslim pursuing her Master’s degree in Islamic Studies & Christian-Muslim Relations and a Graduate Certificate in Chaplaincy through Hartford Seminary. Hartford Seminary is a multi-faith graduate education institution internationally renowned for its engagement with interfaith dialogue. Upon completion of her studies, Jaye hopes to do peace-building work with refugee resettlement populations living in the Untied States. |
|
DATE AND TIME Wednesday, March 26th, 2014 @ 1 – 3 PM VENUE Graduateschool (Pascasarjana) Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Room B, 4th floor of AGAPE Building.
|
|
The Dutch government policy on opium was one of the most controversial issues in colonial Indonesia since the mid-nineteenth century. The controversy aroused from ‘moral’ consideration condemning the fact that the colonial state took profits from selling opium, heroine and other related products. In cooperation with the opium monopoly (opiumregie), the colonial police department created a special anti-opium unit as an effort to mitigate the opium problems (opiumkwestie), particularly smuggling and illegal opium distribution. Using the (colonial) government and non-government sources, this paper investigate the work of the anti-opium squad in the late colonial period. It argues that the work of this organization was highly influenced by the ‘political stand’ of the colonial state on opium and its financial interests, and hence it reflected the capacity of colonial state and the nature of its ‘governance’ in general.
Presenter: Abdul Wahid, Ph.D, is a teaching staff at the Department of History, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Earned his bachelor and master degree from Gadjah Mada he also obtained his M. Phil from University Leiden, and his Ph.D from Utrech University, the Netherland. From October to December 2013, he conducted a post-doctoral research at the KITLV Leiden on ‘The Dutch Military Operation in Indonesia, 1945-1949’.
Download |
DATE AND TIME Wednesday, March 12th, 2014 @ 1 – 3 PM VENUE CRCS, Room 406, 4th floor of Graduate School (Sekolah Pascasarjana) UGM Building Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogykarta.
|
Keragaman adalah fakta geografis dan sosial bangsa Indonesia yang tak bisa dipungkiri. Sebagaimana yang ditegaskan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, keragaman sudah menjadi identitas Indonesia. Disatu sisi keragaman adalah kekayaan yang bisa dibanggakan namun disisi lain juga menyimpan potensi konflik yang tinggi, baik konflik antar umat beragama maupun antar etnis, sehingga dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan keragaman ini. Untuk itu Program Studi Agama dan Lintas Budaya, UGM mengadakan Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) dengan mengundang aktivis dan akademisi untuk saling menggenapi. Tulisan ini merupakan hasil bincang-bincang dengan Taufik Bilfagih, ketua umum Yayasan Alhikam Cinta Indonesia di Manado, yang menjadi peserta SPK angkatan k-2, pada akhir November lalu.
Bertempat di University Club, UGM, Senin (25/11), lelaki Manado dari suku Bajo ini menuturkan bahwa keragaman adalah sebuah keadaan di mana ada banyak sisi perbedaan, baik yang berhubungan dengan identitas kesukuan, agama, bahkan psikologi seseorang. Ketika seseorang dilahirkan, ia sudah membawa keragaman seperti, perbedaan sifat, sikap, fisik, keyakinan, dan lain-lain. Maka, dalam konteks ke-Indonesiaan, keragaman adalah realitas hidup yang harus dikelola secara baik sesuai dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika .
Bahkan jika berbicara masalah waria, ia menambahkan, itu juga termasuk bagian dari keragaman yang ada. Jika kita melihat kitab suci al-Qur’an atau al-Kitab, memang tidak disebutkan bahwa waria diciptakan oleh Tuhan. Kitab suci hanya menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan pria dan wanita saja. Hal ini menunjukan bahwa secara biologis, Tuhan menciptakan pria dan wanita, namun secara gender, ada juga pria yang memiliki fimininitas lebih dominan dari pada maskulinitasnya, dan begitu juga sebaliknya. Maka, ini adalah salah satu realitas keragaman yang ada. Mereka patut diperhatikan dan tidak boleh dipandang hanya dari satu sisi saja, jelasnya.
Berbicara mengenai isu keragaman yang lebih spesifik, yaitu di Sulawesi Utara khususnya Manado, pria kelahiran 16 Maret 1986 ini menjelaskan bahwa secara mendasar, Manado adalah salah satu kota yang dihuni oleh bermacam-macam etnik seperti, Minahasa, Jawa, Arab, Tionghoa dan juga bermacam-macam penegikut agama. Namun, ada perubahan sosial yang dirasakannya semenjak era globalisasi saat ini yang menurutnya dipicu oleh mudahnya informasi yang masuk dari daerah di luar Sulawaesi Utara, baik itu informasi yang negatif ataupun positif.
Sebelum masa reformasi, Manado relatif lebih bisa menerima keragaman yang ada, namun setelah era reformasi, ada pemantik-pemantik konflik antar umat beragama yang jika tidak dikelola dengan baik, akan meningkat menjadi konflik yang lebih besar. Contohnya saja, ketika ada pembangunan Islamic Center di Bitung, Sulawsi Utara, ada penolakan dari pemuda-pemuda Kristen setempat. Ia menjelaskan, “saya pikir ini salah satu implikasi dari mudahnya informasi yang masuk dari luar, seperti beberapa berita insiden bom bunuh diri yang dilakukan oleh sekelompok Muslim radikal di beberapa tempat di luar Manado, yang akhirnya menimbulkan stereotype.”
Salah satu pergeseran sosial yang ia rasakan juga adalah, mulai banyaknya ustadz-ustadz yang berdatangan dari luar manado, bahkan ada yang dari Timur-Tengah. Saat ini mereka lebih mudah mengatakan dan memprovokasi masyarakat dengan imbauan-imbauan, “hati-hati dengan agama misionaris Kristen.” Bahkan di kampung-kampung, Minahasa, pendeta juga berani mengatakan bahwa Islam adalah agama teroris. Maka, pemantik-pemantik seperti ini jika tidak dikelola secara baik dikhawatirkan akan menimbulkan konflik yang lebih besar.
Biasanya ketika sesuatu terjadi, maka akan ada efek yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat yang berada di lain tempat sekitarnya atau bahkan di luar pulau. Contohnya saja Jawa, sedikit banyak apa yang terjadi di Jawa, juga akan mempengaruhi daerah-daerah di luar Jawa, karena ia menjadi pusat dalam berbagai hal. Untuk Manado sendiri, sampai saat ini ia juga merasakan pengaruh-pengaruh dari luar tersebut yang bisa menjadi pemantik konflik antar umat beragama, namun efeknya tidak terlalu besar. Ketika terjadi konflik Islam-Kristen di Ambon atau Poso, Manado adalah salah satu kota yang tidak terpengaruh walaupun masyarakat Manado juga terdiri dari orang-orang Kristiani dan Muslim, tutur pria yang biasa dipanggil Bilfagih ini.
Termotivasi oleh pergeseran sosial yang ia rasakan di Sulawesi Utara, maka ia memutuskan mengikuti kegiatan SPK ke-2 ini. Ia juga menambahkan, “Karena saya sudah cukup lama aktif di dalam isu keragaman, salah satunya di Yayasan Al-Hikam Cinta Indonesia yang bergerak mensosialisasikan kerukunan antar umat beragama, yang kebetulan saya ketuai, maka SPK ini sangat bermanfaat sekali. Di sini kita dapat memperluas pengetahuan mengenai masalah-masalah keragaman di Indonesia dan teori-teori beserta strategi untuk mengelola keragaman tersebut. Selain itu, kita juga mempelajari lagi dari program ini contoh pola-pola untuk mengelola keragaman yang ternyata beberapa kebetulan sudah terlaksana di Manado khususnya. Contoh, ketika ada hari besar Islam seperti lebaran, Idhul adha, Maulid Nabi, teman-teman dari umat kristiani ikut membantu untuk melancarkan acara tersebut dengan membentuk panitia yang mengelola parkir, lalu-lintas, dan begitu juga sebaliknya. Pola ini sebenarnya sudah terbentuk, hanya saja belum tersistematisasi.”
Setelah mengikuti program SPK ini selama beberapa hari, para peserta akan memiliki ide-ide yang berhubungan dengan pluralisme dan keragaman yang akan diimplementasikan di daerahnya masing-masing sekembalinya nanti. Bilfagih sendiri menjelaskan bahwa ia akan melanjutkan aktifitas-aktifitas dakwah sosial yang berkenaan dengan kerukunan umat beragama yang sudah dijalankan di lembaganya, seperti dialog antar umat beragama dengan mengundang tokoh-tokoh agama lain ke yayasannya, sekaligus juga ingin membuat komunitas yang lebih luas dan beragam bagi tokoh-tokoh yang peduli pada kerukunan antar sesama di Manado, baik itu aktifis Muslim, Kristiani, ataupun kelompok budaya. Dengan ini, apa yang didapatkan ketika SPK tidak hanya berhenti setelah kegiatan tersebut selesai, melainkan para peserta tetap akan mengimplementasikannya di lapangan.
|
In this forum Prof. Buckley will discuss religion within the public sphere of Indonesia and Canada. Starting with a philosophical observation on the reality of diversity and the diversity of reality, then he will move to the consequence of recognizing the constitutive role of “difference” referring to the MUI Fatwa on Religious Pluralism-July28, 2005 and the Quebec Bill. The outline of his talk and the introduction of Quebec Bill can be downloaded below:
Prof. Robert Philip Buckley is a scholar of religion in Indonesia and the McGill head of the IAIN Indonesia Social Equity Project, he possesses extensive experience working with Islamic higher education in Indonesia through Canadian International Development Agency bilateral projects. He has taught and lectured throughout the network of State Institutes of Islamic Studies/State Islamic Universities and played an active administrative and academic role in outreach program development within this educational system. His academic interests include the place of religion within the public sphere in multi-religious societies, questions about pluralism and identity in Indonesia, and how publically funded Islamic universities can assume a lead role in social development in Indonesia. Along with administrative background in development projects, Professor Buckley also has an established record of academic leadership in Canada. Professor Buckley’s formal training and the majority of his publications are within the field of 20th century German philosophy.
|
|
DATE AND TIME Wednesday, March 5th, 2014 @ 1 – 3 PM VENUE CRCS, Room 406, 4th floor of Graduate School (Sekolah Pascasarjana) UGM Building Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogykarta.
|
“Secara kultural relasi antar umat beragma di Indonesia masih sangat bagus, masalahnya ada pada aras politik, terutama ketika pemerintah tidak secara jelas menegaskan bahwa violence doesn’t have religion, kekerasan tidak memiliki agama,” demikian komentar Izak Lattu, salah satu alumni CRCS angkatan 2000 saat diwawancarai mengenai aktifitasnya setelah lulus dari CRCS, UGM.
Izak, demikian ia biasa dipanggil, merupakan Dosen Sosiologi Agama danTeologi di Universitas Kristen SatyaWacana (UKSW) dan kandidat doktor di Interdisciplinary Studies of Religion di Graduate Theological Union (GTU). Ia terpilih menjadi Indonesian Research Fellow di Harvard Kennedy School, Harvard University untuk periode 2013 – 2014, dan sekarang sedang menyelesaikan disertasinya mengenai Orality, Civic Engagement, and Interfaith Relationships dengan pendekatan Social Scientific Studies of Religion and Collective memory in Folklore Studies. Berikut petikan wawancaranya oleh mahasiswa CRCS, Franciscus Simamora (19/10/2013).
Bisa anda ceritakan tentang latar belakang pendidikan anda?
Saya lulus S1 dari Fakultas Teologi UKSW jurusan sosiologi agama tahun 1999. Pada tahun 2000 saya mulai belajar di CRCS sebagai angkatan pertama dan menjadi lulusan pertama dari CRCS di tahun 2002. Setelah lulus dari CRCS saya belajar di Institute of Advanced Studies in Asian Cultures and Theologies at Chung Chi College, the Chinese University of Hong Kong pada 2005. Tahun 2010 saya mendapat beasiswa Fulbright Presidential untuk melanjutkan program PhD di Graduate Theological Union, sekolah yang berafiliasi dengan the University of California, Berkeley. Setelah lulus ujian qualifying exam dan mendapat PhD candidate, saya mendapat beasiswa satu tahun untuk program Pre-Doctoral dari Harvard Kennedy School, untuk menulis disertasi saya di Harvard University.
Apa yang membuat anda tertarik untuk studi di bidang itu?
Sebenarnya ketertarikan pada bidang ini melanjutkan apa yang sudah dilakukan di S1 dan S2. Pada skripsi S1 saya membandingkan konsep civic participation, semacam partisipasi warga negara dan kesamaan hak, dalam masyarakat madani dan masyarakat Pancasila. Lalu, thesis S2 saya berbicara tentang bagaimana kontribusi teologi Kristen klasik dan Islam klasik terhadap hubungan agama dan negara. Kemudian, saya berpikir untuk meneruskan studi tentang civic engagement (hubungan warga negara), agama, dan negara yang sudah saya lakukan pada program S1 dan S2.
Selain itu, pengalaman mengajar mata kuliah seperti teologi agama-agama, sosiologi agama, agama, perdamaian dan rekonsiliasi memberikan motivasi lebih untuk menulis tema ini. Pada aras praksis, di Salatiga saya dan teman-teman mendirikan Forum Antar Iman Salatiga untuk Solidaritas Sosial (FAISSAL). Memang sejak awal saya mau ambil studi interreligious relationship di bawah religious studies, bukan di bawah teologi. Beruntung, karena Graduate Theological Union itu sekolahnya berafiliasi dengan UC Berkeley, sehingga pendekatan-pendekatan interdisipliner sangat mendukung studi saya ini. Kuliah-kuliah folklore studies, political science, oral tradition dan banyak lagi membuka ruang bagi saya untuk melihat civic engagement dari perspektif sosiologi agama dan collective memory di folklore studies.
Pembimbing saya dari UC Berkeley, Professor Sylvia Tiwon, kemudian mendorong saya untuk melihat apa yang ada di Indonesia. Para pembimbing yang lain, Professor Judith Berling, Professor Clare Fischer dan Professor Mariane Farina,menginspirasi saya untuk menulis disertasi tentang apa yang berhubungan dengan konteks kehidupan di Indonesia. Saya lalu memilih Maluku sebagai fokus penelitian saya. Akhirnya, saya tulis tentang Maluku dan saya lihat tradisi lisan dan interreligious relationship di sana. Jadi, bagaimana tradisi-tradisi lisan ini dipakai untuk membangun relasi antar agama. Ternyata wilayah itu masih sangat langka dalam studi relasi antar agama pada akademia di Amerika. Orang selama ini jika berbicara tentang dialog pasti berbicara tentang kitab-kitab suci atau kitab-kitab klasik. Sangat sedikit yang pernah berbicara tentang tradisi lisan. Padahal, sebenarnya dalam masyarakat lisan (strong oral community) relasi dibangun dalam konteks lisan bukan tulisan. Collective memory mereka ada di lagu, ritual dan symbol serta oral narratives. Bukan di tulisan. Tulisan itu sesuatu yang asing bagi mereka sebenarnya. Karena tulisan latin baru dikenal pada zaman kolonial. Sesuatu yang sebenarnya cukup baru. Saya hanya ingin mengapresi apa yang dilakukan oleh masyarakat dan membangun teori dari apa yang masyarakat telah lakukan dalam kehidupan Jadi, saya mencoba membangun teori dari “sarang semut.”Teori tidak hanya melulu datang dari “bintang-bintang di langit.”
Setelah lulus S1 dari UKSW kenapa waktu itu memutuskan untuk menempuh studi S2 di CRCS?
Waktu itu saya sempat menjadi wartawan di Solo sambil mengikuti prakuliah Program Magister Sosiologi Agama di UKSW, Salatiga. Waktu itu belum ada CRCS. Kemudian setelah mengikuti kuliah dua bulan di UKSW, Profesor John Titaley, salah satu pendiri CRCS, meminta saya untuk mengikuti seleksi masuk CRCS. Saya merasa beruntung sekali terseleksi bersama 23 mahasiswa angkatan pertama. Bagi saya, waktu itu, diajar oleh Mahmoud Ayoub, Ibrahim Abu Rabi, Paul Knitter, John Raines dan pengajar dalam negeri seperti Syafii Maarif, Asyumardi Azra, Amin Abdullah, John Titaley, Gerrit Singgih, Budi Subhanar dan lain-lain adalah hal yang sangat mewah sekali. Buat kita itu sudah luar biasa.
Bagaimana Bang Izak sendiri melihat relasi antaragama di Indonesia?
Menurut saya pada aras kultural tidak bermasalah karena sebenarnya relasi-relasi kultural kita sangat bagus. Tetapi, masalahnya ada pada aras politik. Terutama ketika pemerintah tidak bisa secara tegas mengatakan bahwa violence doesn’t have religion. Itu tulisanku di Jakarta Post tahun 2011. Jadi,ketika pelanggaran-pelanggaran terhadap agama, apapun agamanya, tidak dihukum terlepas dari segala macam persoalan politik, ya Indonesia masih punya harapan.
Di Ambon dalam penelitian-penelitan, ada banyak orang yang bilang bahwa relasi-relasi kultural itu rusak, itu karena mereka melihatnya sebagai institusi, bukan sebagai narasi. Kalau mereka melihat itu sebagai narasi mereka akan tahu bahwa ada banyak pemuda Islam yang dieksekusi oleh Laskar Jihad karena menolak menyerang saudaranya di komunitas Kristen. Dan ada banyak pemuda Kristen yang ditodong pistol di kepala karena menolak menyerang saudaranya di komunitas Islam.
Di Jawa misalnya, di rumah mertua saya di Solo, ada eyang yang Muslim, ada om dan tante yang Muslim. Yang Kejawen, Muslim, Kristen tinggal dalam satu rumah tanpa ada masalah. Lalu, pada aras politik kita bermasalah. Menurut saya politik tidak merepresentasikan apa yang terjadi secara kultural di masyarakat. Karena politik selalu punya kepentingan. Bahkan, tidak ada kawan yang sejati dalam politik, kecuali kepentingan sejati. Jadi, kita harus mendorong supaya masyarakat sipil di luar negara terus berelasi. Karena itu, ini tanggung jawabnya gereja, pesantren, komunitas-komunitas Islam, Hindu, Buddha, dll. untuk mendorong proses-proses ini terjadi. Kalau negara masih seperti itu jangan berharap pada negara. Sebaiknya kita berelasi sendiri dan memperkuat inisiatif masyarakat sipil untuk membangun relasi antaragama.
Apakah ada kesan khusus selama studi di CRCS?
Bukan cuma soal menginternalisasi atau memahami relasi antaragama dalam konsep, tetapi juga dalam tindakan. Dengan teman-teman, kita begitu cair. Sampai-sampai kita bisa bercanda soal agama yang bagi orang lain sangat tidak sulit dilakukan. Joke soal agama itu biasa saja. Jadi, kita kemudian seperti melewati batas-batas dogmatik, atau batas-batas ketersinggungan kalau orang umum berbicara soal agama. Lalu, relasi-relasi pribadi itu sangat cair. Teman-teman main ke kos, mereka shalat disana. Kadang-kadang sewaktu puasa mereka ajak jalan temani saya makan siang, padahal mereka sedang puasa. Relasi-relasi seperti itu yang sangat membekas.
Jika ada yang mengatakan, mereka yang sudah berani menertawakan agama sendiri berarti sudah lebih cair dalam beragama, bagaimana menurut anda?
Menurut saya itu terjadi kalau kita tidak lagi melihat agama sebagai persoalan instituti, tetapi agama menjadi persoalan pribadi atau persoalan spiritualitas. Orang yang tersinggung karena agama karena bagi mereka agama adalah persoalan institusi yang harus dibela. Tidak akan menjadi masalah jika agama ditempatkan kepada persoalan-persoalan spiritualitas, relasional dengan Tuhan, relasi pribadi dengan Tuhan yah tidak masalah. Bagi saya dan teman-teman di CRCS persabahatan antaragama kita telah membuat kita melampaui batas agama sebagai institusi itu.
Apakah itu artinya secara tidak langsung CRCS berpengaruh terhadap cara pandang Bang Izak?
Kalau soal cara pandang, sejak kecil orang tua saya sudah memperkenalkan saya pada relasi pela dan gandong. Jadi, kita pernah tinggal di rumah om gandong yang Muslim. Sejak kecil saya sudah diajarkan oleh orang tua saya meskipun kita berbeda agama, mereka itu pela, mereka itu gandong. Hal ini sebenarnya sudah membentuk konstruksi berpikir pluralis. Kemudian, sewaktu kuliah di Satya Wacana juga mengambil jurusan sosiologi, bertemu dengan teologi agama-agama yang membuka perspektif. Saya juga aktif sebagai ketua badan perwakilan mahasiswa universitas, seperti senat universitas di Satya Wacana pada tahun 1998-1999. Pada zaman-zamannya krisis dengan teman-teman dari berbagai latar belakang agama. UKSW memiliki 30%-nya mahasiswa Muslim dan Salatiga itu sendiri sebenarnya kota yang sangat dewasa dengan pluralitas. Ini turut membangun perspektif pluralitas saya. Ketika sampai di CRCS, trajectory-nya itu diperkuat. Kuliah di CRCS itu menarik, kita mendapat orang-orang terbaik dalam bidang studi agama (religious studies) pada aras nasional dan internasional.
Sekembalinya ke Indonesia, adakah harapan yang ingin ditenun untuk Indonesia dengan ilmu dan pengalaman yang sudah didapatkan di Amerika?
Yang jelas, meskipun sudah mulai ada tawaran mengajar di Amerika dan Australia, tetapi pasti saya akan kembali ke Indonesia. Saya ingin kembali ke Indonesia untuk melakukan penelitian, pengajaran, dan publikasi. Saya ingin di Indonesia ada semacam American Academy of Religion dalam rangka pengembangan diskursus studi agama-agama di Indonesia. Jadi, ada konferensi besar tahunan yang berbicara soal agama pada aras akademik.
Ok, terima kasih atas waktunya, Bang Izak.
One of the weaknesses of advocacy activities performed by non-profit organizations is their lack of a basis of knowledge at both the micro and macro levels. This results in advocacy that is not maximal due to imprecise strategy, targets, and coverage. Advocacy is an important activity that provides a bargaining position for the public in the process of improving government policy. Therefore, advocacy requires rational consideration based on data in order to be able to offer alternative solutions for mutual agreements between parties, the government, and the public.
In an effort to increase the research skills of activists and strengthen the quality of their advocacy efforts, the participants of the second School for Diversity Management (Sekolah Pengelolaan Keragaman, SPK) were invited to the Institute for Research and Empowerment (IRE), a non-partisan, nonprofit independent organization based in the academic community. Located in Sariharjo village in Yogyakarta, the IRE conducts research on the evaluation and analysis of government policy, especially in regions where support for critical attitudes and tactical actions are needed to strengthen the democratic process.
IRE Senior Researcher Arie Sujito explained that advocacy based in research is a form of advocacy that utilizes the main results of empirical research for data and analysis. Research results are used to convince parties aiming to influence strategic policy, especially the public and formal authorities. These measures are applied through two different avenues. First, they are applied through “political technocracy” that evaluates the evolution of the state’s response to transparent, committed, accountable, professional and innovative work, and secondly, through the organization and empowerment of a critical and active public.
The advantage of using research-based advocacy is that data and discoveries provide strong material for the process of negotiating government policy. In addition, research results can help to more completely map problems, identify and prioritize issues, and seek alternative solutions while negotiating change. They also support a number of different strategies for action.
Research-based advocacy expands the agenda of policy makers in exploring particular issues. What is needed is a sense of a problem’s context, including issues, interests, alternative choices and solutions formulated as strategies for advocacy. Sujito provided an example of a number of projects where IRE used research-based advocacy, including pluralism advocacy in regards to local applications of syariah law in three provinces in the regions of West Nusa Tenggara, South Sulawesi, and South Kalimantan.
Sujito emphasized that the key to research for advocacy is managing the results so they can be used as strategic proposals for problem solving, not just in efforts to cause new problems. Therefore, he recommends three basic steps should be heeded: the presentation of priority subject matter, allowing the findings and recommendations to received and debated, as well as the hope that the research results will contribute to a unanimous position and balanced interests.
Research can become a basis for advocacy depending on how researchers and activists manage the process. According to Sujito, public protests over government policy can be channeled through constructive interests. Data gathered in the field can become educational material, raise awareness, and serve as a legitimation for approaching the community.
Sujito added that data does not just produce inanimate objects like reports or educational materials, but can also become a tool for motivating the public through media outlets like journals, articles, talk shows and the like. The duplication of data must be closely watched not only at the level of the public, but all the way to the level of policy makers in the executive, legislative, and judicial branches.
The most pressing problem for Sujito is the difficulty of finding space for discussion in social, political, and economic debate. The majority of the space created by the media for discussion is, in his opinion, a “space of gossip” because the greater public does not catch the essence the discourse. Moral critiques have become dominant instead. A healthy space for discourse is one that helps to overcome sectarianism. Sectarianism emerges in part as a result of the failure of the public to define identities, and because the state is not capable of facilitating different identities in interaction.