CRCS| Wedforum | Riza Saputra
Menarasikan kembali sejarah di masa yang lalu ke masa yang sekarang memang tidaklah semudah membolak-balikkan telapak tangan. Akan tetapi, mengkonstruksi ulang sejarah adalah hal yang perlu, apalagi jika sejarah itu masih diliputi dengan misteri dan kabut yang tebal. Tragedi 1965 di Indonesia yang terkait dengan pembantaian massal juga masih diliputi dengan puing-puing keganjilan. Namun, seiring dengan konstelasi politik pada tahun 1998, seiring pula dengan jatuhnya masa rezim Soeharto, dan berganti dengan era reformasi yang lebih bebas, muncullah ke permukaan pendapat-pendapat baru tentang peristiwa 1965 di Indonesia. Bercermin dari pembahasan ini, Ayu Dias Rahmawati, dosen sekaligus peneliti yang berasal dari Center for Security and Peace Studies (CSPS) Universitas Gadjah Mada, menyampaikan bahwa peristiwa 1965 perlu mendapatkan ruang yang lebih luas untuk didiskusikan kembali, tidak terbatas hanya kepada para korban dan pelaku, akan tetapi juga seluruh masyarakat yang turut menyaksikan peristiwa tersebut. Pernyataan ini Ayu sampaikan dalam acara Wednesday Forum yang dilaksanakan oleh CRCS dan ICRS di lantai empat, gedung pascasarjana Universitas Gadjah Mada (18/09/2013).
Wednesday, Sept.18, 2013. @ 1-3 PM Room 406
Graduate School Building 4 floor, UGM.
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta
Looking at the case of the 1965 Tragedy in Indonesia, when reportedly millions of alleged communist were massacred and heavily persecuted, this paper tries to explain the challenges facing the attempt to use historical dialogue as a tool to jumpstart reconciliation process in the country. I contend that the Indonesians’ specific way of remembering the 1965 Tragedy has actually been impeding the reconciliation process itself. Marginalization of those affected by the 1965 Tragedy in telling their past memories—thus preventing them from becoming a part of the nation’s history-constructing process—tends to merge their voices, once they have spoken, under the single category of “victim, or survivor, narrative.” This tendency overlooks the fact that different victims actually have different position toward the 1965 Tragedy. Meanwhile, a closer examination of the dominant narrative about the 1965 Tragedy shows that we cannot simply treat the “propaganda” as a mere fabrication.