• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Pos oleh
  • page. 69
Pos oleh :

Merayakan Perbedaan Tanpa Kekerasan

Artikel Wednesday, 26 December 2012

Catatan Workshop “Student against Violence”

Franciscus C. Simamora | CRCS | Reportase

Students against violence

Kekerasan, konflik, dan anarkisme yang marak terjadi di Indonesia akhir-akhir ini telah menimbulkan kekhawatiran dan kecemasan yang luar biasa di kalangan masyarakat. Ironisnya, beberapa konflik itu seringkali melibatkan sekelompok anak muda yang diharapkan menjadi bagian penting dalam mengampanyekan perdamaian. Bagaimana kekerasan itu terjadi? Dan apa yang bisa dan seharusnya dilakukan oleh pemuda untuk mulai berpikir ulang mengenai peran mereka sebagai penyokong kedamaian?

Berdamai dengan Kelompok Ekstremis

Artikel Wednesday, 26 December 2012

Subandri Simbolon | CRCS | 

Selama lebih dari satu dasawarsa terakhir, berbagai wilayah di tanah air digoncang konflik antar-etnis yang telah memakan ribuan korban jiwa. Ironisnya,di setiap konflik tersebut, keterlibatan kelompok-kelompok ekstremis hampir selalu terdengar. Front Pembela Islam dan Hizbullah, misalnya,merupakan dua organisasi Islam yang selalu lekat dengan label itu. Akan tetapi, terlepas dari siapakah yang diidentifikasi sebagai kelompok ekstremis, akhir-akhir ini muncul sinisme sekaligus keprihatinan besar terhadap mereka yang sering terlibat dalam berbagai konflik berdarah tersebut. Sikap reaktif tentu bukan cara yang bijak untuk menyikapi kondisi ini. Dibutuhkan cara lain untuk bisa berdialog dengan mereka sambil lalu menyadarkan bahwa selalu ada cara lain untuk berdamai di tengah kecamuk konflik yang berkepanjangan ini.

Teori Evolusi, Politik, dan Identitas di Dunia Muslim

Berita Wednesday Forum Friday, 7 December 2012

Subandri Simbolon | CRCS | Wedforum

 

Wedforum Science and ReligionKonteks budaya lokal, politik, dan sosial merupakan sejumlah faktor yang sering kali memengaruhi respon kaum Muslim terhadap teori evolusi dalam bidang biologi dan sains modern. Demikianlah salah satu pernyataan Salman Hameed dalam Wednesday Forum, pada Rabu (3/10/2012). Menurut Hameed, faktor-faktor ini memiliki implikasinya tersendiri dalam perdebatan ilmiah tentang hubungan sains dan agama (Islam) di kalangan para ilmuwan Muslim. Bahkan, situasi tersebut tak jarang membuat perdebatan mengenai teori evolusi menjadi sejenis perdebatan parenial di kalangan mereka. Meskipun perdebatan ini masih relatif baru di dunia Islam, dalam beberapa derajat tertentu ia juga turut memengaruhi “identitas” mereka sebagai kaum Muslim. Hal ini pula yang -menurut Hameed— membuat sains masih belum diterima sebagai suatu kemajuan yang positif. Hameed berasumsi bahwa sikap kaum Muslim terhadap sains, khususnya teori evolusi, sangat ditentukan oleh konteks sosial, politik, dan budayanya.

Indonesia as an Example of a Religious and Democratic State: a Maroccan's Views

Interview Friday, 7 December 2012

Subandri Simbolon | CRCS | Interview

 

Rim FilaliCRCS continues its role as a meeting point for international scholars, researchers and students. One of them is Rim Fillali, a Moroccan student at the International Relations of Gadjah Mada University. This semester, Rim takes two courses at CRCS including “Theories of Religion” and “Religion and Film.” Rim shares her comparative views of social, religious and political situations in Indonesia and Morocco as Muslim countries.

 

Rekonsiliasi dan Pemaafan Pasca-Tragedi Mei 1998 di Solo

Berita Wednesday Forum Thursday, 6 December 2012

Franciscus C. Simamora | CRCS | Wedforum

Pada awalnya adalah ‘maaf’, dan rekonsiliasi selalu bermula dari sini. Melalui pemaafan, benih-benih perdamaian diharapkan tumbuh subur dalam diri kedua belah pihak, antara korban dan pelaku. Pemaafan merupakan salah satu cara awal untuk memutus lingkaran-setan kekerasan yang selama ini menubuh dalam diri destruktif manusia. Pemaafan juga berfungsi untuk memulihkan mereka yang tercederai, baik secara fisik maupun psikis.
Itulah salah satu pesan penting yang disampaikan oleh Yoachim Agus Tridatno,  mahasiswa doktoral Indonesian Concortium for Religious Studies, dalam presentasinya mengenai ‘the power of forgiveness’. Presentasi yang dibawakan pada Wednesday Forum (7/11) tersebut merupakan riset disertasinya, Forgiveness of Powerless: Critical Discourse Analysis of The Survivors of May 1998 Riot in Solo’, yang sampai saat ini masih berlangsung. Dalam paparannya, Yoachim menekankan pentingnya ‘pemaafan’ (forgiveness) sebagai partikel pembentuk perdamaian dan keadilan di tengah krisis yang mendera dunia saat ini, termasuk Indonesia.
Photo: wikimedia.orgDalam relasi personal, tindakan memafkan merupakan salah satu terapi untuk memulihkan kondisi traumatik yang diakibatkan oleh kekerasan. Keunikan inilah yang kemudian menginspirasi banyak orang untuk melakukan studi dan riset lebih mendalam, misalnya, terkait dengan efek-efek yang ditimbulkan pasca-pemaafan. Karena itu, tidak mengherankan jika sejak tahun 1980-an kajian mengenai tema tersebut terus mengalami perkembangan. Abdul Ghaffar Khan, Paus Yohaness Paulus II, dan Desmond Tutu—untuk menyebut beberapa saja—merupakan tokoh-tokoh yang pemikirannya sering menjadi rujukan dalam setiap kajian mengenai tema tersebut, termasuk juga dalam disertasi Tridatno. Figur-figur tersebut dipandang sebagai promotor perdamaian yang sangat giat mengajak umat manusia untuk memiliki semangat belas-kasih, semangat yang diharapkan menjadi benih keadilan dan optimisme masa depan.
Sayangnya, semangat semacam ini tampaknya belum dimiliki oleh sebagian besar masyarakat  Indonesia. Negara ini acap kali dipandang sebagai ladang kekerasan oleh pihak-pihak asing, bahkan oleh pihak dalam negeri sendiri. Sederet kasus kekerasan yang pernah terjadi, mulaidari tahun1945, 1965, 1998, konflik Aceh, Poso-Ambon, hingga kasus Sampang baru-baru ini,  rupanya telah memicu munculnya stereotipe bangsa ini sebagai bangsa yang kasar (violent country), bangsa yang menjadikan kekerasan sebagai kultur di dalamnya. Rekam jejak kekerasan yang telah puluhan tahun memicu korban materi dan non-materi tersebut juga tak banyak mendapat perhatian serius dari para pemimpin bangsa. Sejauh ini belum ada permintaan maafyang dilakukan secara resmi terhadap mereka yang menjadi korban tindak kekerasan. Ironisnya, mereka yang diyakini sebagai aktor di balik tindak kekerasan itu justru masih bebas berkeliaran dalam ranah perpolitikan negeri ini.
Inisiatif untuk memulihkan krisis dan keterpurukan yang diakibatkan oleh berbagai kasus kerasaan tersebut sebenarnya telah dimulai sejak era Habibie. Pada tahun 1998, misalnya, BJ Habibie pernah mendirikan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk melakukan investigasi terhadap kerusuhan Mei 1998, namun hingga saat ini sebagian jejak para pelaku kerusuhan itu dan kerusuhan-kerusuhan lain masih misterius. Pasca-Habibie, Gus Dur dan Megawati juga menginisisasi pendirian Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk mengatasi masalah pelanggaran HAM masa lalu, namun draftnya ditolak oleh parlemen. Ini menunjukkan bahwa ada semacam keengganan apatis yang sangat besar dari pemerintah untuk menelusuri tragedi-tragedi kekerasan dan pelanggaran HAM yang pernah menyelimuti bangsa ini selama bertahun-tahun.
Terkait dengan kerusuhan anti-China di Solo, Yoachim menegaskan bahwa konflik itu sudah berlangsung lama,dimulai darikekacauan di Kartasura (1742), konflik China Solo denganpara pedagang Muslim (1912), masa kependudukan Jepang (1943-1945), gerakan September 1965 (1965-1966), huru-hara 1980, sampai kerusuhan Mei 1998. Bahkan, setelah kerusuhan itu, tepatnya pada penghujung bulan Mei 1998, muncul kasus-kasus kekerasan lain yang tak kalah hebat, misalnya perusakan pos-pos polisi, rambu-rambu lalu lintas, dan beberapa fasilitas umum yang dilakukan oleh sekelompok anak muda sebagai reaksi mereka terhadap penertiban balapan liar di jalan umum. Selanjutnya, pada Oktober 1999, kembali terjadi perusakan dan pembakaran sejumlah fasilitas publik seiring kegagalan Megawati dalam memenangi pemilihan presiden dalam SU MPR. Kondisi ini juga diperparah oleh sejumlah aksi yang memicu kekerasan warga atas tindak tanduk beberapa gerakan garis keras di Solo. Oleh sebab itu, tak heran jika sebutan “sumbu pendek” melekat pada kota ini.
Huru-hara yang terjadi pada Mei 1998 di Solo tercatat merupakan kerusuhan nomor dua terburuk setelah kerusuhan yang sama di Jakarta. Sebagai mana di Jakarta, kerusuhan ini menimbulkan kerugian materi dan non-materi yang begitu besar. Rumah-rumah penduduk, fasilitas umum, kantor-kantor bank, dan kawasan pertokoan menjadi target amuk massa. Potret perusakan, penjarahan, dan pembakaran menjadi pemandangan muram di sejumlah wilayah kota Solo pada waktu itu. Tak hanya itu, terminal bus Tirtonadi yang juga turut dilalap oleh si jago merah seolah-olah menjadi saksi bisu kebrutalan aksi massa ini. Asap mengepul dimana-mana. Sampai akhirnya, isu kerusuhan melebar menjadi isu rasis. Sejumlah pertokoan yang sebagian besar dimiliki oleh orang-orang Tionghoa menjadi korbannya. Transaksi-transaksi bisnis yang mewarnai kota ini menjadi macet. Kerugian finansial yang ditimbulkan diperkirakan mencapai sekitar empat setengah milyar lebih (Rp 457.534.945.000). Sebanyak 31 orang meninggal dunia, dan 16.000 orang kehilangan pekerjaan. Sederet peristiwa ini telah menyisakan bayang-bayang ketakutan dan trauma pada warga. Selama beberapa hari, Solo benar-benar menjadi kota yang lumpuh.
Yang menjadi persoalan kemudian adalah bagaimana para korban yang ‘selamat’ (survivors) dari tragedi itu memaafkan mereka yang telah melakukan tindak kekerasan terhadap dirinya? Dan seberapa penting sikap penyesalan, permintaan maaf, keadilan, dan rekonsiliasiini bagi para korban kerusuhan Mei 1998 di Solo yang saat ini masih traumatik? Dua pertanyaan inilah yang hendak dijawab Yoachim dalam disertasinya.
Untuk menguraikan dua pertanyaan ini, Yoachim menggunakan teori pemaafan (theory of forgiveness) sebagai kerangka berpikir. Pemaafan merepresentasikan dua elemen penting: pertama,pemaafan sebagai respons sadar para korban atas pelanggaran yang disengaja, dan kedua, pemaafan sebagai respons mental para korban atas luka yang mereka derita sebagai terapi mental dan sikap belas-kasih. Metode riset yang digunakan dalam disertasi ini merupakan riset berbasis pustaka dan lapangan yang melibatkan 19 informan kunci dan 24 warga yang selamat (survivors), yang terdiri daripenduduk lokal dan keturunan China. Yoachim menggunakan analisis diskursus kritis-nya Norman Fairclough yang memiliki tiga dasar utama: diskursus sebagai praktis sosial, diskursus memengaruhi struktur sosial, dan struktur sosial memengaruhi diskursus.
Sampai sejauh ini, belum banyak temuan yang diperolehYoachim, karena riset ini memang masih berlangsung. Meski demikian, pada penghujung presentasi, Yoachim memaparkan mengenai beberapa kesimpulan sementara yang ia dapatkan selama risetnya. Salah satunya adalah bahwa kerusuhan di Solo pada hakikatnya bukanlah semata-mata konflik anti-China, namun lebih sebagai permainan politik segelintir elite. Selain itu, bagi beberapa keturunan China-Indonesia, pindah dari Solo pasca-kerusuhan Mei 1998 bukanlah solusi terbaik untuk memulihkan diri mereka. (Ed-Fawaid)
 

Religious Studies di Indonesia: MEMBANGUN NOMENKLATUR, MELACAK RELEVANSI

Artikel Thursday, 6 December 2012

Sudarto | CRCS | Reportase

Apa model studi agama (religious studies) yang tepat untuk diajarkan di perguruan tinggi pada khususnya dan bagi dunia intelektual muda pada umumnya? Bagaimana studi semacam itu diajarkan untuk konteks Indonesia pasca-“kegagalan” studi perbandingan agama (comparative study of religions) yang dulunya pernah diajarkan di seluruh perguruan tinggi agama dan yang sebagian masih diajarkan di UIN,IAIN, dan/atau STAIN saat ini? Dan bagaimana model studi agama ini seharusnya diajarkan di Indonesia agar dapat memenuhi kebutuhan dan kekhasan masyarakat Indonesia yang pluralistik?
frontreligionDemikianlah setidak-tidaknya beberapa pertanyaan paradigmatik yang mengemuka dalam diskusi terfokus bertajuk “Merumuskan Kajian Religi sebagai Bagian dari Kajian Budaya” yang diselenggarakan oleh Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada 16 November 2012. Forum ini pada hakikatnya dilatarbelakangi oleh kegelisahan praktis terkait dengan belum ditemukannya definisi dan/atau formula yang tepat bagi studi agama di Indonesia saat ini. Focused Group Discussion(FGD) yang berlangsung selama tujuh jam itu menghadirkan 4 pemantik diskusi yang berasal dari tiga perguruan tinggi di Yogyakarta, yaitu Dr. Zainal Abidin Bagir (CRCS UGM), Dr. St. Sunardi dan Dr. A. Bagus Laksana, SJ, Ph.D (masing-masing dari Studi Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma), sertaDr. Phil. Al-Makin, M.A.(UIN Sunan Kalijaga).
Sebagai pembicara pertama, St. Sunardi menjelaskan pokok-pokok pemikiran yang harus ada untuk memosisikan kajian religi (baca: studi agama) dalam kajian budaya. Bagi dosen IRB Sadhar ini, memasukkan kajian religi ke dalam kajian budaya berarti menempatkan kajian religi dalam ilmu sosial humaniora. Ini juga menyiratkan bahwa agama yang dikaji dalam konteks studi agama bukanlah “agama” dalam pengertian kaidah UU Perguruan Tinggi, yang umumnya memaknai agama sebagai doktrin atau ajaran tentang Tuhan, melainkan agama yang lebih dekat dengan studi kemanusiaan. Sejalan dengan itu, menurut St. Sunardi, studi budaya sebaiknya dilihat dalam bingkai produksi budaya, teks budaya, dan konsumsi budaya. Dengan pendekatan ini diharapkan studi agama dapat menerangi kondisi sosial-budaya yang di dalamnya umat manusia memiliki dan memaknai agama mereka. Begitu pula, yang juga sangat penting, menurutnya, adalah bagaimana menempatkan studi agama agar mampu melampaui kajian budaya. Dalam kerangka inilah kajian budaya akan mampu keluar dari paradigma humanistik borjuis—di mana ekses yang umumnya dilahirkan adalah sikap antipasti atau sinis pada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan oleh kajian budaya—karena kajian budaya cenderung direduksi ke dalam analisis relasi kekuasaan, ekonomi, dan politik, namunjarang melalui proses pemaknaan praktis-filosofis.
Akan tetapi, model pendekatan ini menurutnya masih dirasa terlalu esoterik, absurd, dan cenderung berat, mengingat studi agama harus masuk kedalam tiga pengalaman sekaligus, yakni pengalaman moral, pengalaman tanggungjawab sosial terhadap yang-baik dan yang-jahat, dan pengalaman estetis terhadap yang-sublim dan yang-religius, baik melalui relasi sosial maupun ritual keagamaan. Mengakhiri uraiannya pada sesi pertama, St. Sunardi mengutip Derrida dengan mengusulkan bahwa kajian religi untuk saat ini seharusnya dimulai dari pengalaman kemanusiaan setuntas-tuntasnya hingga orang pada akhirnya dapat melihat horizon baru yang tidak bisa sekadar dijelaskan secara positivistik.
Sementara itu, Bagus Laksana, yang menjuduli makalahnya “Meretas Jalan Baru Perkembangan Religious Study Kontemporer”, menyatakan bahwa saat ini belum ditemukan adanya semacam nomenklatur yang menjadi kesepakatan bersama untuk memotret kajian religi. Menurut Romo Bagus (begitu biasa ia dipanggil), setidak-tidaknya ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam konteks kebutuhan kekinian dalam menyusun kurikulum studi agama: pertama, pentingnya mempertimbangkan aspek global, regional, dan lokal, mengingat bahwa religi tidak bisa dipahami sebagai fenomena sosial yang terisolasi karena ia selalu terikat satu sama lain secara mondial; kedua, perlunya mempertimbangkan aspek historis, termasuk hubungannya dengan arus ekonomi, sosiologi, dan politik; dan ketiga, perlunya mempertimbangkan keterkaitan antara studi agama dan bidang-bidang studi lain, sehingga kompetensi yang dimiliki oleh para mahasiswa/sarjana studi agama bisa membantu mereka untuk merespon fenomena global secara fleksibel, seperti fenomena Global Christianity, Global Islam, Global Hinduism, dan sebagainya.
Selain objek kajian, studi agama juga harus mempertimbangkan beberapa kecenderungan tematis dan metodologis mutakhir, yang antara lain mencakup: pertama, fenomena agama sebagai praktik yang partikular beserta dengan kompleksitas dan ambiguitasnya, yang berarti studi agama tidak lagi sekadar berkutat pada ranah tekstual, tetapi juga harus didorong untuk menelaah interaksi antar berbagai tradisi religius yang berbeda melalui praktik-praktik agama kerayatan; kedua,kecenderungan materialitas, yakni bahwa studi agama harus menyentuh ranah realitas yang menarik dan dialami secara langsung oleh orang-orang yang beragama, seperti estetika religius, arsitektur, atau—meminjam istilah David Morgan—visual culture yang terkait dengan dimensi materialitas faktual dan praktik beragama itu sendiri; dan ketiga, kompleksitas tradisi agama sebagai tradisi kehidupan yang tidak sekadar empiris, tetapi juga menyangkut hal-hal yang transendental dan spiritual sebagaimana pengalaman para sufi yang akhir-akhir ini juga menjadi trendi Barat.
Pada sesi ketiga, Zainal Abidin Bagir, selaku direktur CRCS UGM, mengawali paparannya dengan melihat adanya kebutuhan mendesak untuk semakin memantapkan studi agama di CRCS UGM yang ternyata memiliki relevansi dengan kebutuhan Universitas Sanata Dharma dalam memperbarui kurikulum IRB-nya. Menurut Pak Zain (begitu sapaan akrabnya), dalam merumuskan kurikulum studi agama atau religi, ada beberapa persoalan paradigmatik yang perlu dipertimbangkan, antara lain: Apa yang ingin dihasilkan dari kajian agama?Termasuk juga, konstribusi apa yang akan diberikan dari kajian agama di Indonesia untuk dunia global? Keterampilan seperti apa yang akan dimiliki oleh output studi agama? Selain itu, yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana prospek kerja alumni studi agama itu?
Sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan penting di atas, maka berdasarkan refleksi pribadinya terkait dengan pengalaman mengampu mata kuliah academic study of religiondi CRCS UGM, Pak Zain selalu menegaskan bahwa mata kuliah ini dimaksudkan untuk mengantarkan mahasiswa pada studi agama, mengajak mereka untuk mempertanyakan secara kritis dasar-dasar epistimologis bidang studi ini, dan pada saat yang sama “memaksa” mereka untuk mengambil jarak dari pengalaman keberagamaanya sendiri saat malakukan studi atas agama-agama lain. Yang juga penting adalah bagaimana memantik pemikiran baru untuk mengonseptualisasi agama yang tidak harus tunduk pada konseptualisasi “resmi” dari pemerintah. Dengan meminjam gagasan Foucault, studi agama di Indonesia perlu selalu melakukan problematisasi (problematization) terhadap konsep “agama” untuk kepentingan akademis.
Sementara itu, catatan reflektif terkait dengan studi keislaman untuk konteks keindonesiaan disampaikan oleh pemantik keempat, Al-Makin, dosen UIN Sunan Kalijaga yang juga alumni IRB Universitas Sanata Dharma. Dalam catatan Al Makin, setidak-tidaknya ada dua kecenderungan umum dalam studi keislaman untuk konteks keindonesiaan, terutama pasca tragedi 9/11. Pertama, hampir semua tawaran studi keislaman larut dalam isu-isudan tema-tema besar untuk kepentingan keamanan, terorisme, dan radikalisme, sehingga kajian materi dalam studi keislaman tak ubahnya seperti kajian teks sejarah klasik, sementara perjumpaannya dengan bidang seni dan arsitektur, serta dialog antariman tampaknya tidak lagi muncul atau bahkan tenggelam dalam narasi besar radikalisme Islam. Kedua, adanya kecenderungan bahwa “kita” tidak memiliki kepercayaan diri yang cukup kuat untuk mendefinisikan diri sendiri. Akibatnya, kebudayaan dan keberagamaan kita selalu didefinisikan oleh outsiders dari Barat, seperti Clifford Geertz, William Liddle, Greg Barton, dan sebagainya, sementara pemahaman tentang diri sendiri, misalnya yang terkait dengan apa dan siapa Muslim Indonesia, justru kurang mendapat perhatian serius. Dengan kata lain, menurut Al-Makin, kita lebih sering didefinisikan oleh orang lain dibandingkan mendefinisikan diri kita sendiri, meskipun pada dasarnya kita memiliki cukup kemampuan untuk itu.
Menurut Al-Makin,akan lebih baik jika kita mendefinisikan diri kita sendiri, setidak-tidaknya yang sesuai dengan perspektif kita, karena kita tidak hanya terlibat tetapi juga terlahir dan harus hidup di sini, dalam tradisi ayang kita miliki. Kesarjanaan di Indonesia sesungguhnya memiliki potensi untuk itu. Hal ini bisa dilihat dari para pemikir kita yang relatif bisa diterima secara luas di negeri sendiri, seperti Kuntowijoyo, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Ahmad Wahib, dan para pendahulunya, seperti Mukti Ali dan Driyarkara. Mereka umumnya berkarya untuk  mendefinisikan kediriannya tanpa harus bermigrasi ke luar. Kondisi semacam ini akan lebih baik dibandingkan dengan kondisi ketika para sarjana luar, sepertiMohammad Arkoun, Fazlur Rahman, dan sebagainya, menjadi pemain tunggal di negeri kita disebabkan mereka tidak bisa diterima di negerinya sendiri.
Pada sesi dialog, beragam respons diajukan oleh para peserta FGD, yang di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, bagaimana menghadirkan studi agama agar mampu menjawab kebutuhan kekinian yang semakin kompleks dan menantang, sehingga tidak sekadar mengaktualkan kurikulum, melainkan juga mampu menjaga agama itu sendiri dari ancaman irrelavansinya dengan konteks sosial? Kedua, bagaimana studi agama mampu mendorong fenomena sinisme—yang selama ini begitu lekat dengan agama—ke arah yang lebih konstruktif, tidak sekadar sebagai judgement yang melumpuhkan? Ketiga, bagaimana menghadirkan studi agama yang lebih peka terhadap perkembangan dan pengalaman orang-orang beragama itu sendiri? Keempat, pendekatan apa yang diyakini paling efektif dimiliki oleh studi agama dalam menghadapi realitas kemajemukan Indonesia yang semakin nyata?
Para narasumber sependapat bahwa program studi agama memang harus mempertimbangkan prospek alumni studi agama itu sendiri, sehingga pertanyaan tentang prospek kerja alumninya tidak lagi dianggap sebagai pertanyaan yang tabu. Studi agama perlu memiliki rumusan-rumusan dan agenda-agenda yang lebih aplikatif, yang memungkinkan para alumninya untuk tidak hanya bisa berkarya dalam menghidupi kehidupannya sendiri, namun juga mampu menghidupi agamanya. Selain itu, studi agama juga harus mampu mendewasakan peserta didiknya dalam merespons agama secara kritis, mengingat bahwa selama ini agama begitu lekat dengan konsep-konsep yang sengaja diintervensi oleh kekuatan politik. Dengan kata lain, studi agama harus mampu mewajarkan kembali agama-agama tanpa bias kekuasaan yang cenderung hegemonik.Terkait dengan sinisme subjektif yang sampai saat ini masih “menghantui” para peneliti dan peserta didik studi agama di Indonesia, Pak Zain menjelaskan bahwa pada kadar tertentu sinisme itu bisa ditekan dengan berusaha menunda “judment” terhadap yang-beda dan yang-lain, sehingga sikap kritis dalam studi agama masih bisa terjaga dan tidak melahirkan sinisme patologisyang tidak sehat.
Mengahiri diskusi ini, narasumber juga sependapat bahwa studi agama harus terus direlevansikan dengan kondisi dimana orang-orang yang beragama itu mengalaminya secara praksis. Pendekatan studi agama juga harus mengikuti irama perubahan secara dinamis tanpa harus menghilangkan sisi transedentalitas agama. Artinya, pendekatan studi agama harus mampu menyentuh berbagai pendekatan dan disiplin pengetahuan yang lain, seperti seni, arsitektur, ekonomi, politik, dan kebudayaan, agar kehadirannya menjadi lebih hidup dan tidak marjinal. Begitu pula, penting untuk dipertimbangkan bahwa Indonesia dengan segala potensi kemajemukan dan antusismenya dalam beragama sudah cukup membantu untuk menjadikan studi agama ala Indonesia mampu berkontribusi terhadap fenomena dan isu-isu agama berskala global.(Ed-Fawaid).

1…6768697071…190

Instagram

Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
K O S M O P O L I S Kosmo bermakna semesta, sement K O S M O P O L I S
Kosmo bermakna semesta, sementara polis itu mengacu pada kota yang seupil. Sungguh istilah oksimoron dengan daya khayal maksimal. Namun, nyatanya, yang kosmopolis itu sudah hadir sejak dulu dan Nusantara adalah salah satu persimpangan kosmopolis paling ramai sejagad. Salah satu jejaknya ialah keberadaan Makco di tanah air. Ia bukan sekadar dewa samudra, melainkan kakak perempuan yang mengayomi saudara-saudara jauhnya. Tak heran, ketika sang kakak berpesta, saudara-saudara jauh itu ikut melebur dan berdendang dalam irama kosmopolis. Seperti di Lasem beberapa waktu silam, Yalal Wathon dinyanyikan secara koor oleh masyarakat keturunan tionghoa dan para santri dengan iringan musik barongsai. Klop!

Simak ulasan @seratrefan tentang makco di situs web crcs!
At first glance, religious conversion seems like a At first glance, religious conversion seems like a one-way process: a person converts to a new religion, leaving his old religion. In fact, what changes is not only the person, but also the religion itself. The wider the spread of religion from its place of origin, the more diverse the face of religion becomes. In fact, it often gives birth to variants of local religious expressions or even "new" religions. On the other hand, the Puritan movement emerged that wanted to curb and eradicate this phenomenon. But everywhere there has been a reflux, when people became disaffected with Puritan preachers and tried to return to what they believed their religion was before.

Come and join the #wednesdayforum discussion  at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju