Title | : | Identity, Comodification, and Domination: the Manifestation of Hinduism in Bali |
Author | : | Yulianingsih Riswan (CRCS, 2008) |
Keywords | : | culture, identity politics, commoditization |
Abstract | : | |
This thesis reports on ethnographic fieldwork in Denpasar, Bali, Indonesia on July-October, 2007. Hinduism as religion of Bali has become the spirit of Balinese culture. And Bali’s culture has become a powerful political symbol and economic resource in the information age, where the development of the service economy (including tourism) provides new opportunities to marginal groups and new challenge to dominant ones.This report take the way in which culture is produced, possessed and often transformed into commodity for the market: the role of such reified culture in relation of inequality: the ownership of culture as a tool of identity and nation building. This allows us to expand our understanding of cultural property: as a tool available to any group seeking confirmation of an identity perceived to be under threat vis a vis wider power structure. The thesis begins with description of contemporary Balinese, the transformation of its economy and a brief history of tourism. The relationship between ritual and economy is discussed both in general terms and ethnographic detail to provide insight into the context of cultural ideas in which tourist development has taken place. The spatial organization of ritual reveals patterns of cultural order and political influence as key factors in understanding the contemporary situation. Then, religion of Bali has contributed for the social life of thing such as culture identity, source of commodity, and also political power for domination. |
Title | : | The Meaning of Tirakatan Tradition for Santri Society in Yogyakarta: A Study of the Tirakatan Tradition to Commemorate Indonesia’s Independence Day in Kauman and Mlangi Society |
Author | : | Zunly Nadia (CRCS, 2006) |
Keywords | : | tirakatan, religion and tradition |
Abstract | : | |
The tirakatan tradition to commemorate Indonesian’s Independence Day is done by Yogyakarta society the night before 17th of August. Almost all of Yogyakarta society does this tradition either in the village or in urban area in every neighborhood (RT). Since an independent day, Tirakatan tradition has done as expression of gratitude to God for the Independence Day.This research uses socio-anthropology as a approach by seeing the social and cultural phenomena in the society and then seeking how the society gives a meaning those phenomena. Besides that, this research also uses historical approach for knowing detail the internal and external factors supporting tirakatan tradition that is done by Mlangi society and does not done by Kauman society.Every community in Yogyakarta does this tirakatan tradition in a different way. In Mlangi society where traditional Islam is a majority, tirakatan is done in every RT by tahlilan that is lead by kyai (a religious leader or the leader of an Islamic boarding school) and after that reading sholawat together in the mosque as a center of the activity in Mlangi society. On the contrary, in Kauman society where modern Islam is a majority, they do not do tirakatan tradition because it is not compatible with their religious understanding. In this case, religious understanding is the important element influencing the realization of tirakatan tradition because it is related to the wrestling of religion and tradition. Tirakatan tradition is related to the symbolic Javanese society, including religion, world view, ethics, and Javanese culture as a whole. Those of couse have philosophical meaning and deeply spiritual value. Besides this relation, we can also see tirakatan tradition in the three framework meanings, i.e modernity, religion and culture of ancestors. Those three frameworks have relation and influence to each other in the tirakatan event. We can see tirakatan tradition in the modern framework, because this tradition commemorates the Independence Day. We can see tirakatan tradition in the religious framework, because religious understanding is an important factor that influences this tradition. Whereas, in the culture of ancestors, the tirakatan tradition is based on Javanese culture. Tirakat is used by the Javanese as self calmness and a medium of communication to God. This proofed that the society cannot be independent without these three frameworks. From these frameworks, we can see the plurality meaning of tirakatan based on the society background. |
Judul: Kiai Langgar dan Kalebun: Sebuah Studi tentang Kontestasi Makelar Budaya di Desa Non-Pesantren di Madura, Indonesia
Penulis: Muhammad Endy Saputro (CRCS, 2008)
Kata-kata Kunci: makelar budaya, Madura, tradisi
Abstrak:
Madura merupakan salah satu dari ribuan pulau di Indonesia. Pulau ini sering diidentikkan dengan kiai dan pesantren. Melalui pesantren, kiai menginstitusionalisasikan pengetahuan Islam kepada orang-orang Madura, sehingga membentuk struktur sosial Islam di Madura. Namun, apakah yang terjadi apabila di desa yang tidak memiliki pesantren? Penelitian ini berargumen bahwa ketiadaan pesantren di Madura memunculkan kontestasi para makelar budaya.
Judul: Pola Interaksi Masyarakat Keturunan Arab dengan Penduduk Lokal di Desa Gapuro Sukolilo Gresik
Penulis: Ummu Hafidzah (CRCS, 2007)
Kata-kata Kunci: akulturasi, asimilasi, overt culture, covert culture
Abstrak:
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang detail tentang pola interaksi yang ada pada masyarakat kampung Arab Gresik yang heterogen dan pengaruhnya terhadap kebudayaan mereka. Hipotesis yang diajukan adalah: (1) secara umum, keturunan Arab terbagi menjadi dua: pertama, mereka yang telah terintegrasikan dalam masyarakat melalui proses asimilasi; kedua, mereka yang masih memilki identitas ke-Arab-an dan berada pada batasan akulturasi; (2) akibat dari pembauran, kebudayaan lahir (overt culture) masyarakat keturunan Arab mengalami perubahan sedangkan kebudayaan dasar (covert culture) masih dipegang teguh.
Judul: Tradisi Gombakan dalam Masyarakat Islam Di Desa Banyusidi Di Lereng Gunung Merbabu, Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang, Jawa Tengah
Penulis: Parngadi (CRCS, 2009)
Kata-Kata Kunci: tradisi Gombakan, gimbal, anak-anak, masyarakat Islam dan lereng Gunung Merbabu
Abstrak:
Tujuan tesis ini adalah tidak hanya sekedar untuk menyajikan sebuah tradisi Gombakan yang unik dan menarik tetapi juga ingin melihat sejauhmana keberadaan tradisi tersebut di tengah-tengah masyarakat yang menganut agama Islam. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian lapangan dengan menyajikan data-data yang didapat di lapangan kemudian mencari dukungan-dukungan dari literatur buku yang berkaitan. Hal ini ingin melihat secara lebih mendalam tentang bagaimana tradisi Gombakan tersebut ada dan berkembang di tengah-tengah masyarakat yang menganut agama Islam. Kemungkinan-kemungkinan yang ingin dilihat salah satunya adalah pengaruh Gombakan terhadap keyakinan masyarakat di Desa Banyusidi Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang yang terletak di Lereng Gunung Merbabu sebagai penganut agama Islam. Di samping itu, juga ingin melihat nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya.
Judul: Medan Kontestasi Masyarakat Lokal: Kajian terhadap Keberadaan Komunitas Haji Bawakaraeng di Sulawesi Selatan
Penulis: Mustaqim Pabbajah (CRCS, 2010)
Kata-kata Kunci: Haji Bawakaraeng, kontestasi, Bugis-Makassar, ritual, dan kepercayaan
Abstrak:
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi keberadaan tradisi Komunitas Haji Bawakaraeng di Sulawesi Selatan yang masih konsisten mempertahankan dan menjalankan kepercayaannya, serta resistensi mereka dalam mempertahankan tradisinya tersebut. Selain itu, penulis ingin mencoba menggambarkan fenomena ritual ibadah di puncak Gunung Bawakaraeng.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang difokuskan pada kajian tentang tradisi ritual Haji Bawakaraeng di Sulawesi Selatan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi lapangan dengan menggunakan metode deskriptif analisis, yakni mengamati langsung kondisi alam dan kehidupan sosial masyarakat, untuk menemukan fakta tentang keberadaan Komunitas Haji Bawakaraeng. Pengumpulan data juga dilakukan dengan cara wawancara mendalam terhadap para tokoh dan penganut kepercayaan Haji Bawakaraeng, demikian pula studi dokumentasi dilakukan untuk melengkapi data yang diperoleh sebelumnya. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan sosio-antropologis dan dipaparkan secara deskriptif kualitatif.
Penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi ritual Haji Bawakaraeng yang dipraktikkan oleh sebahagian orang Bugis-Makassar masih tetap berlangsung hingga saat ini, meskipun menghadapi berbagai macam rintangan. Mereka melakukan kontestasi dan tetap gigih mempertahankan kepercayaan yang dijalani sejak dahulu, dengan melakukan adaptasi dan negosiasi-negosiasi terhadap berbagai penolakan yang mereka hadapi selama ini.