• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Tesis
  • Basis Humanisme bagi Dialog Antaragama

Basis Humanisme bagi Dialog Antaragama

  • Tesis
  • 15 June 2011, 00.00
  • Oleh:
  • 0
Judul : Basis Humanisme bagi Dialog Antaragama: Menuju Transformasi Paradigmatik “Teologi Humanis
Penulis : Ibnu Mujib (CRCS, 2004)
Abstrak
Secara tidak disadari kita sering memaksakan suatu idealisme tertentu untuk berlaku seimbang bersama dalam proses realitas kehidupan. Hal ini terlihat dari berbagai pernyataan apologetics yang sering muncul dari para pemuka agama terkait ketika menghadapi persoalan-persoalan konflik, kekerasan yang melanda dunia akhir-akhir ini. Pernyataan yang sering muncul di antaranya adalah bahwa agama telah mengajarkan perdamaian, kasih sayang dan hidup yang baik, lalu yang menjadi kegelisahan akademik bagi saya bahwa klaim-klaim kekerasan dan pembunuhan selalu dialamatkan pada oknum-oknum yang menyalahgunakan agama untuk kepentingan sendiri atau kelompok. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah sudah layakkah argumen apologetics ini menjadi pijakan bagi nalar akademis sebuah studi agama?
Seiring dengan pertanyaan ini, praktek pemaknaan status “agama” di hadapan manusia selalu diletakkan dalam tempat yang jauh di sana, tersendiri dan suci seolah merupakan entitas yang ada di luar manusia. Padahal agama yang riel adalah yang dihayati oleh pemeluknya. Agama konkrit adalah agama yang dikenal dalam sejarah, yang kental diwarnai oleh konflik, penindasan dan kekerasan. Sikap apologetik inilah, diakui atau tidak terbentuk dari sikap yang kurang terbuka (less open minded) terhadap apa yang telah kita miliki.
Kebutuhan akan penerapan sistem dialog terhadap kurangnya keterbukaan dan berkembangnya sikap apologetik ini, menjadi skala prioritas dalam diskursus tesis ini. Tidak berhenti di sini, tesis ini justru ingin meletakkan dasar humanisme sebagai entitas yang sering mengadakan persinggungan secara diametral dan antagonistic –dalam dialektika sejarahnya– dengan agama, sebagai fondasi yang paling mendasar bagi dialog agama-agama. Resistensi antara dua kutub ini, bila dihadapkan secara non-antagonistik, terlebih lagi ada bagian tertentu dari agama yang disinggung dengan pendasaran antropologi sosial (social anthropology), maka, diakui atau tidak, bentuk-bentuk resistensi ini akan melahirkan pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, di antaranya adalah pembebasan, keadilan, hilangnya diskriminasi, dan lain-lain. Dengan demikian, bentukan ini akan memberikan motivasi pada pengakuan terhadap martabat dan nilai setiap manusia secara individu, serta semua usaha untuk memajukan semua kemampuannya secara penuh, juga sebagai sebuah sikap rohani yang terarahkan untuk menghargai existensi orang lain.
Pendasaran yang diajukan dalam mempertemukan dua kutub ini adalah “antroporeligius” yang mana kerangka ini didasarkan atas gabungan interaktif antara pendekatan antropologi dengan agama. Pendekatan antropologi dalam konteks ini, –jika kita merujuk pengalaman antropologi Clifford Geertz dalam antropologi budaya kehidupan Jawa– ia melihat agama sebagai fakta budaya, bukan semata-mata sebagai ekspresi kebutuhan sosial atau ketegangan ekonomi –meskipun hal-hal ini juga diperhatikan– melalui simbol, ide, ritual, dan adat kebiasaannya. Melalui pemaknaan inilah, hal ini mengindikasikan adanya perubahan secara konvensional yang telah digambarkan Geertz sebagai perubahan dari “struktur” kepada “makna”. Perubahan serupa ini bisa dikatakan sebagai runtuhnya “fungsionalisme struktural”. Saya melihat dialog agama-agama membutuhkan kerangka konseptual seperti ini, yaitu perubahan dari tatanan “struktural kepada makna”. Jika kita jujur, pengaruh tekstualitas agama, sesungguhnya terimplikasi secara gradual dalam praktik kehidupan kultural keagamaan. Sebagai kasus, dijelaskan di sini tentang tradisi monoteistik. Secara implicit bangunan teologi ini memiliki paradigma kebenaran tunggal (monolithic truth) artinya adanya bangunan teologi eksklusif yang mapan, dari abad ke abad, tidak pernah terjadi sebuah uji kelayakan atas eksperimen baru atau lain yang dapat menjadi referensi bagi konstruksi nalar teologi ke depan. Sementara secara explicit ekspresi bangunan teologi ini cukup sentimen dan bahkan menolak keras-keras secara legal adanya tatanan teologi baru yang memiliki versi lain. Bentuk teologi seperti ini memberi perspektif kepada kita untuk mengatakan bahwa tidak diberinya kesempatan bagi kreatifitas kemanusiaan baru dalam menjelajah dunia teologinya masing-masing seperti apa yang dilakukan oleh Ibrahim tatkala mencari tuhannya.
Menurut saya, ada kreatifitas kebebasan manusia yang termatikan –secara teologi– pasca Ibrahim. Di sinilah barangkali kegagalan agama monoteistik di mata HAM. Kerangka metodologi “Eksplorasi filosofis” dan “analisis komparatif”, dalam konteks dialog agama-agama, mencoba melakukan terobosan baru menjelajah dunia teologi, apa yang disebut dalam tesis ini dengan “Transformasi Teologi Humanis” atau pergeseran pentahapan dari partikularistik menuju etika transformasi untuk pembebasan, yaitu yang dipetakan dalam kerangka konsep kunci sebagai berikut, pertama. kearifan lokal sebagai muatan teologi kemanusiaan, kedua. HAM sebagai basis kemanusiaan teologi baru, ketiga. Mempertimbangkan transformasi “teologi moral” dalam aksi moral agama-agama.

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
K O S M O P O L I S Kosmo bermakna semesta, sement K O S M O P O L I S
Kosmo bermakna semesta, sementara polis itu mengacu pada kota yang seupil. Sungguh istilah oksimoron dengan daya khayal maksimal. Namun, nyatanya, yang kosmopolis itu sudah hadir sejak dulu dan Nusantara adalah salah satu persimpangan kosmopolis paling ramai sejagad. Salah satu jejaknya ialah keberadaan Makco di tanah air. Ia bukan sekadar dewa samudra, melainkan kakak perempuan yang mengayomi saudara-saudara jauhnya. Tak heran, ketika sang kakak berpesta, saudara-saudara jauh itu ikut melebur dan berdendang dalam irama kosmopolis. Seperti di Lasem beberapa waktu silam, Yalal Wathon dinyanyikan secara koor oleh masyarakat keturunan tionghoa dan para santri dengan iringan musik barongsai. Klop!

Simak ulasan @seratrefan tentang makco di situs web crcs!
At first glance, religious conversion seems like a At first glance, religious conversion seems like a one-way process: a person converts to a new religion, leaving his old religion. In fact, what changes is not only the person, but also the religion itself. The wider the spread of religion from its place of origin, the more diverse the face of religion becomes. In fact, it often gives birth to variants of local religious expressions or even "new" religions. On the other hand, the Puritan movement emerged that wanted to curb and eradicate this phenomenon. But everywhere there has been a reflux, when people became disaffected with Puritan preachers and tried to return to what they believed their religion was before.

Come and join the #wednesdayforum discussion  at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
D H A R M A Dunia ini adalah tempat kita tinggal, D H A R M A
Dunia ini adalah tempat kita tinggal, tempat kita berbagi, dan tempat semua makhluk berada. Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk hidup berbahagia. Sadhu, sadhu, sadhu
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju