Beragama di Tengah Bencana
Khoirul Anam – 10 April 2020
Merebaknya virus korona yang merenggut banyak korban belakangan ini menggugah pertanyaan klasik tentang peran agama di kala bencana. Pertanyaan ini penting untuk disinggung lantaran di Indonesia, termasuk juga di banyak negara lainnya, agama masih dianggap penting, baik oleh negara sebagai institusi maupun oleh masyarakat yang hidup di dalamnya. Sebagai bukti, negara bahkan memberi ‘pengakuan’ terhadap pentingnya posisi agama melalui, misalnya, pembentukan kementerian agama dan berbagai lembaga serupa yang fokus mengurusi agama saja.
Di satu sisi, dengan posisi penting yang dimiliki, agama mampu memberi sumbangan positif terhadap berbagai kebijakan dan langkah-langkah besar yang dilakukan oleh negara, meski tak jarang pula, agama kerap tampak memilih untuk pisah ranjang dengan negara.
Hal ini setidaknya dapat dilihat dari beragamnya respons umat beragama dalam menghadapi virus korona; ada yang sigap menanggapi wabah ini dengan menutup sejumlah besar tempat ibadah dan membatalkan banyak acara besar keagamaan, tapi tak sedikit pula kelompok splinter agama yang tetap saja menggelar banyak kegiatan keagamaan yang tentu saja kontra-produktif terhadap upaya melawan penyebaran virus korona.
Mengulas isu ini, para alumni Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM menggelar diskusi publik secara daring pada Kamis, 9 April 2020. Acara ini bertajuk Diskusi Online Keluarga Besar CRCS (Disko-CRCS), diinisiasi oleh Imam Malik Riduan (angkatan 2003) yang kini sedang studi di Western Sydney University, dan menghadirkan para pemantik yang terdiri dari: (1) Subhani Kusuma Dewi (“Uma”, angkatan 2006) yang juga sedang studi di Western Sydney University; (2) KH Ahmad Syams Madyan (angkatan 2004), yang kini mengasuh pesantren di Batu, Jawa Timur; dan (3) Ali Amin (angkatan 2002), kini kandidat doktor di Waseda University dan mengajar di IAIN Manado.
Narasi dan kesalahpahaman
Diskusi bermula dari bagaimana umat beragama di Indonesia menanggapi wabah Covid-19. Kita melihat tiap-tiap kelompok seperti disinggung di atas memiliki alasan keagamaan masing-masing. Kelompok agama yang memilih untuk menutup tempat-tempat ibadah dan melarang pengerahan masa untuk kegiatan keagamaan menyandarkan sikapnya pada keyakinan bahwa melindungi jiwa dan raga adalah juga perintah Tuhan. Ini berarti, mengambil sikap sembrono dengan membahayakan diri sendiri dianggap sebagai pelanggaran terhadap perintah agama. Lagi pula, ibadah tetap bisa dilakukan di rumah. Tak perlu harus dengan membikin kerumunan di rumah-rumah Tuhan.
Sementara bagi kelompok yang menolak penutupan tempat ibadah, sandaran yang mereka pilih untuk menjadi dasar argumennya adalah keyakinan bahwa agama tak ditujukan untuk pribadi perorangan semata, tetapi juga komunitas masyarakat yang lebih luas. Bagi kelompok ini, agama—sebagaimana dijelaskan Emile Durkheim dalam The Elementary Form of Religious Life (1915)—adalah pranata yang dibutuhkan untuk mengikat individu menjadi satu kesatuan melalui pembentukan sistem kepercayaan dan ritus. Tanpa komunitas, agama tak memiliki rupa. Itu sebabnya, larangan untuk melakukan kegiatan massa (berkomunitas) diartikan sebagai upaya untuk membunuh agama.
Maka tak heran, narasi terkait virus korona yang kerap beredar di kelompok ini masih penuh sesak dengan anggapan bahwa korona adalah propaganda yang sengaja disebarkan untuk merecoki agama; korona masih tak dianggap sebagai virus mematikan yang sangat berbahaya bagi manusia, tak peduli apapun agamanya.
Meskipun ganjil, keyakinan seperti di atas menyebar luas di masyarakat. Bagi Uma, ada dua sebab yang membuat keyakinan tersebut populer. Pertama, anggapan bahwa korona adalah propaganda untuk menghancurkan agama tak hanya disebarkan oleh masyarakat awam, tetapi juga oleh tokoh agama. Salah satu dai belum lama ini menyebut korona sebagai “tentara Allah”, karenanya kita tak perlu takut; terus saja beribadah sebab korona tak akan menyerang kumpulan orang yang beriman. Kedua, fakta bahwa berbagai kajian tentang virus, penyakit dan sejenisnya masih menjadi barang mewah untuk masyarakat umum. kebanyakan dari hasil kajian tersebut bersembunyi rapi di jurnal-jurnal bergengsi yang tak mudah diakses publik.
Khusus untuk virus korona, Uma, menyebut bahwa virus ini masih menjadi fenomena yang belum usai, berbagai kajian tentang virus ini belum paripurna, atau dengan kata lain, studi terhadap asal muasal, dampak, dan cara pencegahannya belum usai. Apalagi vaksinnya, masih butuh waktu lama untuk ketemu. Karena itu, kita perlu memberi waktu kepada para ahli di bidangnya untuk bekerja sesuai dengan kapasitas dan otoritas masing-masing.
Syahid Karena Covid?
Barangkali, hal lain yang menjadi dasar sikap ngeyel sebagian umat beragama untuk memaksakan diri beribadah di luar rumah adalah pemahaman mereka terhadap pernyataan tokoh agama yang menyebut setiap orang yang meninggal karena virus korona tergolong syahid. Pendapat ini disampaikan oleh MUI dan PBNU belum lama ini. Secara khusus PBNU bahkan menggolongkan virus korona sebagai wabah atau tha’un, sehingga orang yang meninggal akibat virus ini tergolong syahid. Pendapat ini disandarkan pada hadis nabi yang diriwayatkan oleh Muslim yang menyebut orang yang mati karena tha’un tergolong syahid.
Hadis itu sebaiknya dimaknai sebagai apresiasi nabi terhadap orang-orang yang meninggal akibat wabah, bukan berupa perintah untuk menantang wabah dengan alasan beribadah. Ibadah tetap wajib dilakukan, tetapi tidak dengan mengabaikan anjuran ulama dan negara untuk beribadah di rumah saja. Yang perlu kita lakukan, sebagaimana dijelaskan oleh KH. Ahmad Syams Madyan, adalah memperluas perspektif dalam memahami hadis di atas.
Benar bahwa hadis tersebut menyebut orang yang meninggal karena tha’un tergolong syahid, tetapi hadis itu juga dengan jelas menyatakan bahwa orang mati karena sakit perut pun termasuk syahid. Demikian pula dengan orang yang meninggal karena tenggelam, semuanya bisa digolongkan sebagai orang yang mati syahid.
“Orang yang gugur di medan perang itu syahid, orang yang mati di jalan Allah (bukan karena perang) juga syahid, orang yang tertimpa tha’un (wabah) pun syahid, orang yang mati karena sakit perut juga syahid, dan orang yang tenggelam adalah syahid,” demikian bunyi hadis riwayat Muslim itu.
Hadis di atas tentu tidak dimaksudkan agar umat Muslim berbondong-bondong mati syahid, sebab agama hanya berguna untuk orang yang masih ada nyawanya. Hadis itu juga tidak dimaksudkan sebagai lampu hijau agar kita bisa tetap santai dan bahkan abai terhadap bahaya wabah. Kita tetap diminta untuk waspada, tak boleh mati sia-sia.
Otoritas sains
Tentang narasi-narasi keagamaan itu, Ali Amin menyebut perbedaan sikap dalam merespons virus korona seharusnya tak perlu terjadi andai umat beragama mampu meletakkan segala sesuatu sesuai dengan porsinya. Baginya, virus korona harus ditempatkan pada ranah sains, sehingga berbagai upaya penyidikan dan penanggulangannya dilakukan oleh orang-orang yang memang ahli di bidangnya. Tokoh agama, yang tak memiliki latar belakang keilmuan sains, seharusnya tak ikut campur di urusan ini.
Ali menyebut beberapa contoh kelompok agama yang abai terhadap anjuran medis justru menjadi barisan pertama yang terkena virus, misalnya yang terjadi pada Jamaah Tabligh di berbagai tempat belum lama ini, di Indonesia juga Malaysia. Ali menekankan bahwa di masyarakat kita masih ada banyak orang yang merespons virus korona bukan dengan pendekatan sains, dan ini adalah bukti bahwa kita, entah untuk ke berapa kalinya, telah berada dalam era “matinya kepakaran” (the death of expertise).
Di era ini, semua orang dari berbagai latar belakang keilmuan ingin tampil memberikan pendapat, padahal tanpa keahlian, informasi yang diberikan tak akan lebih dari sekadar bualan. Itu sebabnya, beragama tak boleh dilakukan dengan keimanan buta, tetapi harus pula dengan pikiran terbuka; termasuk terbuka untuk mengikuti penjelasan dan masukan dari pakar di bidang virus dan penyakit.
Pengabaian oleh sebagian kelompok agama terhadap imbauan untuk isolasi diri demi mencegah korona memanglah sebuah ironi. Untungnya, kelompok arus utama menaati imbauan isolasi diri ini. Hal ini bisa dilihat dari sikap tegas NU dan Muhammadiyah misalnya, yang segera mengeluarkan maklumat untuk beribadah di rumah saja. Tak perlu memaksakan diri untuk beribadah di luar, sebab hal itu justru rentan membuat kita tertular.
Meski begitu, imbauan untuk mengisolasi diri di rumah hanya akan menjadi wacana mentah jika tak diikuti oleh kepastian jaminan hidup dari pemerintah. Sebabnya, tak semua orang bisa tenang dengan hanya mengunci diri di dalam rumah. Ada banyak orang yang harus tetap berjuang di luar demi tetap bisa makan. Jangan sampai, imbauan isolasi diri ini hanya menyenangkan sebagian orang tetapi membunuh banyak orang lainnya secara pelan-pelan.
_____________
Liputan ini ditulis oleh Khoirul Anam, alumnus CRCS UGM angkatan 2011.
Simak rekaman daring dari Disko-CRCS pertama ini di sini.
Disko-CRCS akan dijadwalkan rutin dengan menghadirkan narasumber terbaik di bidang masing-masing sesuai dengan tema yang akan diangkat. Info Disko-CRCS selanjutnya akan diunggah media sosial CRCS.