• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Artikel
  • Berdamai dengan Kelompok Ekstremis

Berdamai dengan Kelompok Ekstremis

  • Artikel
  • 26 December 2012, 00.00
  • Oleh:
  • 0

Subandri Simbolon | CRCS | 

Selama lebih dari satu dasawarsa terakhir, berbagai wilayah di tanah air digoncang konflik antar-etnis yang telah memakan ribuan korban jiwa. Ironisnya,di setiap konflik tersebut, keterlibatan kelompok-kelompok ekstremis hampir selalu terdengar. Front Pembela Islam dan Hizbullah, misalnya,merupakan dua organisasi Islam yang selalu lekat dengan label itu. Akan tetapi, terlepas dari siapakah yang diidentifikasi sebagai kelompok ekstremis, akhir-akhir ini muncul sinisme sekaligus keprihatinan besar terhadap mereka yang sering terlibat dalam berbagai konflik berdarah tersebut. Sikap reaktif tentu bukan cara yang bijak untuk menyikapi kondisi ini. Dibutuhkan cara lain untuk bisa berdialog dengan mereka sambil lalu menyadarkan bahwa selalu ada cara lain untuk berdamai di tengah kecamuk konflik yang berkepanjangan ini.

Pesantren Al-Muayyad, SoloKegelisahan inilah yang menjadi salah satu topik diskusi santai antara mahasiswa Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM dengan K.H. Mohammad Dian Nafi’, pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Muayyad, Windan, Solo pada 14 November lalu. Di rumah kediamannya di Solo, Dian Nafi’ mengajak mahasiswa untuk sejenak berefleksi ihwal keberadaan kaum ekstremis di tanah air. Para mahasiswa, yang sebelumnya telah berkunjung ke markas Hizbullah Solo, secara umum berpendapat tentang betapa sulitnya berdialog dengan kaum ekstremis. Merespons hal tersebut, Dian Nafi’ kemudian berbagi pengalaman dan pemikirannya selama ini dalam menangani berbagai konflik kekerasan yang melibatkan kelompok ekstremis di dalamnya.

Menurut pengasuh yang pernah berkiprah dalam mendamaikan konflik di Maluku, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi ini, salah satu pendekatan strategis untuk berdamai dengan kelompok ekstremis adalah melalui mediation by function. Cara ini diyakini sebagai upaya efektif untuk membangun perdamaian (peace building) di antara mereka dan orang-orang yang pernah terlibat konflik. Ada beberapa tahap dalam penarapan mediation by function. Tahap pertama adalah trust-building. Tahap ini mengharuskan kita untuk terlebih dahulu menghilangkan semua prasangka buruk tentang orang lain. Kita harus percaya bahwa mereka masih punya harapan untuk berdamai dan menghargai kemanusiaan. Kita juga harus membuang jauh-jauh sikap sinis yang sering muncul dalam diri manusia pada umumnya. Sinisme hanya akan mengancam kepekaan kita untuk membangun perdamaian dengan orang lain.

Tahap kedua adalah recognizing interest. Kita harus benar-benar mengetahui siapa yang berpengaruh dalam kelompok tersebut. Tahap ini akan membantu kita untuk memetakan kekuatan dan kelemahan mereka secara jelas. Selain itu, interest mereka juga perlu mendapat perhatian. Interest ini bisa berupa kepentingan politis, religius, atau aktualisasi diri. Mengenali apa yang menjadi tujuan mereka dan siapa yang menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan tujuan ini jelas bukan dimaksudkan untuk memunculkan sikap sinisme baru. Sebaliknya, proses pengenalan ini semata-mata untuk mengenali mereka secara mendalam agar proses perdamaian bisa berlangsung dengan baik.

Tahap terakhir dari mediation by function adalah role-presenting. Tahap ini penting untuk membantu mereka mengubah mainstream-nya yang tak jarang berprotensi konflik. Mainstream yang dimaksud adalah pola pikir yang memosisikan dan menganggap orang lain sebagai musuh karena berbeda dengan ideologi mereka. Mengenai tahap terakhir ini, Dian Nafi’memberikan contoh ketika ia menfasilitasi peran kemanusiaan kepada para kelompok ekstremis dalam bidang-bidang tertentu, seperti manajemen konflik, perdagangan, diplomasi ulang-alik, HAM, dan sebagainya. Bagaimanapun, menurut tokoh yang pernah tergabung dalam Tim Independen Rekonsiliasi Ambon (TIRA) ini, mengubah mainstream dan pola pikir merupakan tindakan yang sangat tepat untuk memediasi kelompok-kelompok yang terlibat konflik.

Pendekatan mediation by function yang dijelaskan oleh Dian Nafi’ telah memberi sumbangsih besar dalam mewujudkan perdamaian dengan kelompok ekstremis. Ini dibuktikan dengan keberhasilannya dalam membangun rekonsiliasi konflik yang pernah melibatkan mereka di Maluku, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi. Di akhir perbincangan, alumnus Summer Peace Building Institute Harrisonburg, Viginia, USA (2005) ini menyimpulkan bahwa pendekatan mediation by functionse setidak-tidaknya dapat memberi harapan kepada kita bahwa kita masih bisa berdamai dengan mereka, dan ketika masa itu tiba, kita akan bisa membawa mereka secara perlahan pada pintu kita: kedamaian dan kemanusiaan. [Ed-Fawaid]

 
 

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

L A B E L Seberapa penting sebuah label? Bagi makh L A B E L
Seberapa penting sebuah label? Bagi makhluk modern, label itu penting walau bukan yang paling penting. Ia menjadi jendela informasi sekaligus penanda diri. Dalam kacamata masyarakat legalis, label juga berarti penerimaan dan perlindungan. Namun, seringkali label itu disematkan oleh entitas di luar diri, terlepas ada persetujuan atau tidak. Karenanya, tak jarang label juga menjadi penghakiman. Dalam silang sengkarut semacam ini, perebutan kuasa bahasa atas label menjadi vital, terutama bagi kelompok rentan yang dimarjinalkan. Kalau kata teman yang alumni dusun Inggris , "label is rebel!"

Simak bincang @astridsyifa bersama @dedeoetomo tentang lokalitas dan ekspresi identitas gender di situs web crcs
Waktu Hampir Habis 😱 HARI INI TERAKHIR PENDAFTA Waktu Hampir Habis 😱
HARI INI TERAKHIR PENDAFTARAN MASUK CRCS UGM 🫣

Jangan sampai lewatin kesempatan terakhir ini !! 
#crcs #ugm #s2 #sekolahpascasarjanaugm
Kupas Tuntas masuk CRCS UGM (Live Recap) #crcsugm Kupas Tuntas masuk CRCS UGM
(Live Recap)

#crcsugm #pendaftarancrcsugm #sekolahpascasarjanaugm #s2 #ugm #live
Beli kerupuk di pasar baru Nih loh ada info terbar Beli kerupuk di pasar baru
Nih loh ada info terbaruuu

Penasaran gimana rasanya jadi bagian dari CRCS UGM? 🧐 Yuk, intip live streaming kita hari Senin, 30 Juni jam 15.00-17.00 WIB yang akan mengupas tuntas seputar pendaftaran, kehidupan kampus CRCS UGM dan banyak lagi!
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY