Subandri Simbolon | CRCS |
Selama lebih dari satu dasawarsa terakhir, berbagai wilayah di tanah air digoncang konflik antar-etnis yang telah memakan ribuan korban jiwa. Ironisnya,di setiap konflik tersebut, keterlibatan kelompok-kelompok ekstremis hampir selalu terdengar. Front Pembela Islam dan Hizbullah, misalnya,merupakan dua organisasi Islam yang selalu lekat dengan label itu. Akan tetapi, terlepas dari siapakah yang diidentifikasi sebagai kelompok ekstremis, akhir-akhir ini muncul sinisme sekaligus keprihatinan besar terhadap mereka yang sering terlibat dalam berbagai konflik berdarah tersebut. Sikap reaktif tentu bukan cara yang bijak untuk menyikapi kondisi ini. Dibutuhkan cara lain untuk bisa berdialog dengan mereka sambil lalu menyadarkan bahwa selalu ada cara lain untuk berdamai di tengah kecamuk konflik yang berkepanjangan ini.
Kegelisahan inilah yang menjadi salah satu topik diskusi santai antara mahasiswa Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM dengan K.H. Mohammad Dian Nafi’, pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Muayyad, Windan, Solo pada 14 November lalu. Di rumah kediamannya di Solo, Dian Nafi’ mengajak mahasiswa untuk sejenak berefleksi ihwal keberadaan kaum ekstremis di tanah air. Para mahasiswa, yang sebelumnya telah berkunjung ke markas Hizbullah Solo, secara umum berpendapat tentang betapa sulitnya berdialog dengan kaum ekstremis. Merespons hal tersebut, Dian Nafi’ kemudian berbagi pengalaman dan pemikirannya selama ini dalam menangani berbagai konflik kekerasan yang melibatkan kelompok ekstremis di dalamnya.
Menurut pengasuh yang pernah berkiprah dalam mendamaikan konflik di Maluku, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi ini, salah satu pendekatan strategis untuk berdamai dengan kelompok ekstremis adalah melalui mediation by function. Cara ini diyakini sebagai upaya efektif untuk membangun perdamaian (peace building) di antara mereka dan orang-orang yang pernah terlibat konflik. Ada beberapa tahap dalam penarapan mediation by function. Tahap pertama adalah trust-building. Tahap ini mengharuskan kita untuk terlebih dahulu menghilangkan semua prasangka buruk tentang orang lain. Kita harus percaya bahwa mereka masih punya harapan untuk berdamai dan menghargai kemanusiaan. Kita juga harus membuang jauh-jauh sikap sinis yang sering muncul dalam diri manusia pada umumnya. Sinisme hanya akan mengancam kepekaan kita untuk membangun perdamaian dengan orang lain.
Tahap kedua adalah recognizing interest. Kita harus benar-benar mengetahui siapa yang berpengaruh dalam kelompok tersebut. Tahap ini akan membantu kita untuk memetakan kekuatan dan kelemahan mereka secara jelas. Selain itu, interest mereka juga perlu mendapat perhatian. Interest ini bisa berupa kepentingan politis, religius, atau aktualisasi diri. Mengenali apa yang menjadi tujuan mereka dan siapa yang menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan tujuan ini jelas bukan dimaksudkan untuk memunculkan sikap sinisme baru. Sebaliknya, proses pengenalan ini semata-mata untuk mengenali mereka secara mendalam agar proses perdamaian bisa berlangsung dengan baik.
Tahap terakhir dari mediation by function adalah role-presenting. Tahap ini penting untuk membantu mereka mengubah mainstream-nya yang tak jarang berprotensi konflik. Mainstream yang dimaksud adalah pola pikir yang memosisikan dan menganggap orang lain sebagai musuh karena berbeda dengan ideologi mereka. Mengenai tahap terakhir ini, Dian Nafi’memberikan contoh ketika ia menfasilitasi peran kemanusiaan kepada para kelompok ekstremis dalam bidang-bidang tertentu, seperti manajemen konflik, perdagangan, diplomasi ulang-alik, HAM, dan sebagainya. Bagaimanapun, menurut tokoh yang pernah tergabung dalam Tim Independen Rekonsiliasi Ambon (TIRA) ini, mengubah mainstream dan pola pikir merupakan tindakan yang sangat tepat untuk memediasi kelompok-kelompok yang terlibat konflik.
Pendekatan mediation by function yang dijelaskan oleh Dian Nafi’ telah memberi sumbangsih besar dalam mewujudkan perdamaian dengan kelompok ekstremis. Ini dibuktikan dengan keberhasilannya dalam membangun rekonsiliasi konflik yang pernah melibatkan mereka di Maluku, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi. Di akhir perbincangan, alumnus Summer Peace Building Institute Harrisonburg, Viginia, USA (2005) ini menyimpulkan bahwa pendekatan mediation by functionse setidak-tidaknya dapat memberi harapan kepada kita bahwa kita masih bisa berdamai dengan mereka, dan ketika masa itu tiba, kita akan bisa membawa mereka secara perlahan pada pintu kita: kedamaian dan kemanusiaan. [Ed-Fawaid]