CRCS | Story | Ida Fitri
21 Oktober 2014
Sekali lagi, ini tentang sebuah senja. Jika sebuah kejadian tak pernah bernama kebetulan, maka ini kesengajaan yang entah untuk alasan apa; mengalami senja di Candi Plaosan Lor untuk ke sekian kali.
Senja itu di halaman candi, kami mahasiswa CRCS menggelar pengetahuan. Beberapa buku dengan kertasnya sudah menguning, beberapa jilid stensilan dan beberapa lembar kertas fokokopian. Karya-karya seorang romo Jesuit kelahiran Amsterdam 1916 itu menindih rumput yang mengering akibat kemarau yang tidak segera diakhiri oleh turunnya hujan. Pada usia 20 tahun, ia –Jan Bakker atau dikenal sebagai Rahmat Subagya, berlayar menuju Nusantara yang selanjutnya menjadi persemaian benih pikirannya tentang agama-agama asli dan agama Islam.
Ia, yang menguasai beberapa bahasa asing dan tentu saja bahasa Indonesia ini tak pernah mendapatkan kesempatan akademik secara formal. Tetapi ia dengan metode otodidak menyusun khasanah pengetahuannya secara faktual ketimbang dengan teori yang muluk-muluk.
Kebudayaan asli suatu bangsa dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sangat penting untuk menunjang pembangunan rohani dan keagamaan. Kita tidak pernah mulai dari titik nol. Kita meneruskan dan mengembangkan apa yang kita terima dari nenek moyang kita. Dan apa yang diwariskan harus-harus benar-benar menjadi milik kita yang kita sadari. Baru kita sanggup membangun atas landasan ini dengan menggunakan unsur-unsur baru.
Nukilan di atas diambil dari salah satu dari 200 karyanya yang telah dipublikasikan: Agama Asli Indonesia. Buku Filsafat Kebudayaan menjadi acuan penting bagi ilmu filsafat sehingga perlu diterbitkan pada tahun 1984, yaitu delapan tahun setelah ia meninggal. Publikasi lainnya antara lain; Pantjasila: Dasar Negara Indonesia (1955), Alam Pikiran Indonesia Sekarang (1958), Persoalan Akulturasi Hindu Indonesia (1958), Ilmu Pracasti (1974), Umat Katolik Berdialog dengan Umat Agama Lain (1976), Kepercayaan, Kebatinan, Korhanian, Kejiwaan, dan Agama (1976), Sejarah Filsafat dalam Islam (1978).
Saat giliran membaca tiba padaku, bagian ini membuatku menuduhnya bahwa ia juga seorang yang jenaka:
Pancasila adalah perkataan yang aneh. Sekurang-kurangnya dalam pemakaiannya sehari-hari. Kami melihat sebuah perusahaan penatu dengan nama Pancasila, kami juga kenal Rumah Makan Pancasila, bahkan juragan sabun pun menamakan sabun ciptaannya yang baru dengan perkataan gaib, Pancasila.
Pada bagian lain, ia melemparkan kritik yang tajam atas pemaknaan Pancasila hanya menjadi semboyan belaka, yang seakan-akan tak ada isi objektif. Sehingga bisa dipahami dinamika bagaimana Pancasila dimaknai pada oleh masyarakat dalam konteks waktu saat karya itu disusun.
Dick Hartoko dalam “Pengantar” buku Filsafat Kebudayaan (1984), mencatat kronologi saat romo Bakker meninggal, yang kemudian menjadi ide bagi CRCS UGM untuk melakukan ziarah pengetahuan sekaligus diskusi, tepat di lokasi dan di hari saat ia dipanggil Tuhan (21 Oktober) :
Pada tanggal 21 Oktober 1978, Rahmat Subagya/Pater Jan Bakker, SJ mendadak dipanggil ke hadirat Tuhan. Pada saat itu beliau sedang mengantar serombongan mahasiswa Institut Filsafat Theologia (sekarang Fakultas Filsafat Teologi Univ. Sanata Dharma, Yogyakarta, ke candi Prambanan dan Plaosan. Pada kaki candi terakhir itulah ia sedang menerangkan, bagaimana menurut pendapat pribadinya candi itu memancarkan suasana damai dan syahdu yang tidak terdapat pada candi-candi lainnya. Ia lalu mendahului para mahasiswa ke atas dan di sana ia jatuh tersungkur, terkena serangan jantung. Tempat yang lebih indah tidak dapat dipilihnya untuk menghembuskan nafas terakhir.
Dinarasikan ulang dari materi “Mengenang Rahmat Subagya, Membangkitkan Studi Agama Lokal Indonesia. Candi Plaosan, 21 Oktober 1978 – 21 Oktober 2014.” Disusun oleh Heri Setyawan untuk diskusi dan ziarah pengetahuan CRCS UGM.
Sebagai sebuah ziarah, ini adalah upaya untuk mengingat kembali tentang tokoh dan sumbangan pemikirannya bagi agama-agama lokal Indonesia.
Artikel
Anwar Masduki Azzam | CRCS | Article
Rome was not built in a day…
While seeing our photos and sketching them thoroughly, those words suddenly came into my mind. Since I lived in Singapore for 2.5 months, mingling and having friend each others around the Asians, our beloved guides, Dr. Kay and Dr. Tan patiently taught and escorted us academically until the day of conference approached. It was not a short time, when in the end you knew that everything you prepared had been paid off. You would be very satisfied with your own effort and proudly admitted it as the best one of what you could do in the past. It is like the history of Roman Empire which needs long time process to be one of the greatest kingdom and civilization in the world. In short, to live as a scholar we also need to prolong our process, make it step by step patiently to reach the satisfying goal to come.
It was the 8th Asia Graduate Student Fellowship (AGSF) academically becoming my first international step in overseas. The program is “offered to graduate students from Asian countries working in the Humanities and Social Sciences on Asian topics, and it allows the recipients to be based at NUS for a period of two and a half months”.
Hosted by Asia Research Institute (ARI), National University of Singapore (NUS), there were totally 35 graduate students from Asia to gather and enroll an academic course on writing and presentation. Starting from 15 may, all participants would present their own paper in a week of international conference called Asia Graduate Student Forum (also AGSF) held in the end of July.
What I prepared to apply was writing my two-page applications composing of the background of my proposal thesis and the anticipated scheduled time for doing literature research and writing it into a paper there. We had better also write down some rare books only provided in NUS’ library and the professors of ARI whom we think can help much on writing our thesis / paper. Our last fellow of ARI before us, Mas Darwin (CRCS batch 2010) told me that those books and professors can be a meaningful attempt to persuade the approval decision by ARI’s committee. It means that you completely need this program to assist your thesis writing process. Then we should email those two-page applications and the two enclosed recommendations from your professor or thesis advisors.
We arrived in Singapore on May 15, living together with 34 other graduate fellows in PGPR (Prince George Park Residence) within NUS campus. At least every three days a week we should attend the meeting in ARI at Bukit Timah campus. It takes around 20 minutes using the campus shuttle bus called BTC (Bukit Timah Campus). Also you can use MRT (Mass Rapid Transportation) from Kent Ridge to Botanic Garden around 15 minutes.
After completing the administration of Manpower ministry, our ARI officer, Chelvi guided our tour into ISEAS (Institute of Southeast Asian Studies) library near to PGPR and the Central library in the heart of NUS campus. Those two libraries are important for us, since it becomes the aim of the program, to enable us to make full use of the wide range of resources held in the libraries of NUS and ISEAS library. In fact, there are two other libraries access such as Law library and Medical library, but perhaps, those two libraries are not mostly needed to your social research. However, you can visit them and borrow many books freely on every library at NUS.
Feeling satisfied with our efforts and things we did in the past regarding to our final day presentation becomes the precious things for me. How we prepared ourselves, practiced and gave comment each others are those that would mark our soul with the deepest admission about how we should be well prepared before doing presentation. Some who are well-trained person in presenting maybe not quite interested as many of us. However, I would say that it was very important since this program was the first experience for me to join an international academic atmosphere.
Indeed, the first experience sometimes makes someone feel uncomfortable, unconfident and threatened by surroundings. Those true feelings dragged me into the conditions that I have never felt before. For instance, only imagining that I will present my paper in front of many scholars attending the conference has made me shaken and wanted to come back to Indonesia as soon as possible. Fortunately, two and a half months under the guidance of Dr. Kay and Dr. Tan brought me into consideration that we can do anything better if we have enough time and most obviously well preparation. Other people helping me a lot were Prof. Michael Feener and Prof. Martin van Bruinessen who kindly became my mentors. Their guidance offered me a lot experience to learn from the famous scholars directly and freely. They gave me their best assistance to ensure that my paper was well-written by giving much critics and feedback as well as some useful references.
As result, when the conference day came, I felt that my confidence had grown higher than the first time I came in Singapore. Presenting my paper entitled “Gus Dur as The tenth saint; The social construction of Understanding Wali in Java”, I did not want to say that my presentation had grabbed big success. However, I have to confess that if you want to be more confidence in an academic atmosphere for the first time, you basically need enough time, well prepared and do not forget to seek guidance from other professors.
The 8th Asia Graduate Student Fellowship gave me much precious thing which is never forgotten in the whole of my life. It becomes my international step in overseas literally and non-literally. It also offered me a lot of experience with many great fellows and people out there. This experience signified my precious process to find my Rome firstly. You, all, should join this program for building your own Rome in your life.
Andri Handayani | CRCS | Workshop
Talking about Islamic art and geometry cannot be separated from the classical Greek author and mathematician, Euclid, whose works were translated into Arabic and whom then Muslim mathematicians advanced his understanding in math and geometry and translated the entire Greek corpus and transmitted great corpus of mathematics to the European worlds. In West and Northern America, we know that the math has roots from the classical Islamic world and back to Greek antiquity. In education, we know Arabic number, rooted from India, now we call that Hindu-Arabic numbers. Euclid formerly was fundamental to the training of geometry in elementary, junior and senior high schools. Today, Euclid is being eliminated from the curriculum with much greater emphasis on numerical and symbolic formulation which is very different from mathematical approach and understanding than Euclid’s.Those statements were explained by Carol Bier, the visiting scholar in the Center for Islamic Studies, Graduate Theological Union, Berkeley, USA opening a workshop entitled Geometry and Islamic Art: Explorations of Number, Shape and the Nature of Space hosted by Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) UGM on July 12, 2013 at UGM Graduate School.
Mustaghfiroh Rahayu* | CRCS | Artikel
Konflik bernuansa agama masih mewarnai Indonesia sejak awal era reformasi hingga saat ini. Beritanya masih sering kita baca, dengar dan lihat diberbagai media massa, dari mulai penyerangan masjid Ahmadiyah oleh massa di Tulungagung dan penyegelan mesjid Ahmadiyah di Bekasi oleh Pemda setempat; pengusiran warga Syi’ah dari kampungnya di Sampang, hingga kasus pendirian gereja dibeberapa tempat seperti GKI Taman Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelfia di Bekasi yang hingga kini belum menemukan jalan keluar.
Laporan-laporan terkait kehidupan beragama di Indonesia baik yang dikeluarkan oleh CRCS (laporan tahunan), the Wahid Institute, maupun Setara Institute menunjukkan bahwa kondisi keberagamaan di Indonesia semakin memprihatinkan. Pemerintah seringkali tidak dapat menyelesaikan permasalahan atau bahkan memperburuk keadaaan. Kondisi ini membuat aktivis-aktivis yang bergerak di bidang advokasi keragaman dan penyelesaian konflik keagamaan nyaris frustrasi.
Meski begitu, upaya mencari jalan keluar alternatif penyelesaian konflik keagamaan tetap dilakukan. Pada 28 Mei 2013 lalu, CRCS berinisiatif melakukan upaya itu dengan mengundang beberapa aktivis pluralisme untuk saling tukar pikiran dan pengalaman serta berefleksi bersama. Pertemuan ini diharapkan dapat mempercepat proses berpikir guna menemukan jalan keluar alternatif penyelesaian konflik keagamaan di Indonesia.
Model Penanganan Konflik Agama di Indonesia
Dalam diskusi ini dihadirkan pula Rizal Panggabean dari Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP), UGM. Ia memaparkan tiga model penanganan konflik keagamaan yang digunakan di Indonesia selama ini: pertama, penanganan berbasis kekuatan atau kekuasaan (power-based approach), yaitu pendekatan menggunakan represi, ancaman, dan intimidasi dalam penyelesaian konflik.
Model ini dominan digunakan pada masa Orde Baru dan juga juga masih diterapkan pada masa Reformasi terutama dalam konteks konflik horizontal. Paling tidak ada 3 hal yang memungkinkan praktik ini terus dilakukan: pertama, karena masyarakat kita belajar dari rejim otoriter mengenai penggunaan kekuatan/kekuasaan untuk menyelesaikan problem sosial,kedua, jurang yang lebar antara model penanganan berbasis kekuatan dan hak, dan yang ketiga,pendidikan kita yang lebih menekankan ketundukan dan kepatuhan kepada yang lebih berkuasa/berpengaruh, bukan berpikir kritis. Model penanganan ini tidak menyelesaikan masalah karena akar persoalannya tidak tersentuh.
Kedua, pendekatan berbasis hak melalui proses hukum di pengadilan (right-based approach). Penyelesaian persoalan melalui pendekatan ini menggunakan proses pengadilan yaitu mencari pelanggarnya, mengadili, dan memenjarakannya. Untuk itu dibutuhkan instumen perangkat hukum yang disepakati bersama, seperti UU, peraturan, konvensi kebijakan, kontrak, adat istiadat, dan lain-lain.
Model ini lebih banyak digunakan oleh para pegiat hak asasi manusia di era reformasi karena dianggap lebih baik dan lebih memberikan jaminan keadilan. Namun pendekatan ini memiliki sisi negatif karena dalam prosesnya dapat memperburuk relasi sosial; adanya yang menang dan kalah (logika win-lose) menjadikan relasi tidak setara. Model ini juga membutuhkan waktu lama dan kemungkinan ada kendala eksekusi. Model ini pun tidak menyelesaikan masalah. Pengalaman Indonesia menunjukkan, pendekatan hak ini memberi risiko adanya politik penyeimbang, di mana jika dari satu kelompok ada yang ditahan, maka dari kelompok lain pun harus diperlakukan demikian. Risiko lainnya, pendekatan ini dapat menjadi delusi dan simbolik karena menjadi kelanjutan pendekatan berbasis kekuatan.
Ketiga, pendekatan berbasis kepentingan atau interest-based approach, yang saat ini sedang diupayakan sebagai model penanganan alternatif dalam menyelesaikan konflik keberagaman di Indonesia. Dalam model ini, kewenangan paling besar ada di tangan pihak-pihak yang bertikai. Mereka sendiri yang menentukan model penyelesaian yang terbaik bagi mereka. Pendekatan ini lebih menjanjikan karena mengandaikan pihak yang berkonflik pada posisi setara, saling peduli dan mengakomodasi. Disamping itu model ini juga nirkekerasan, nirdominasi, nirdiskriminasi. Walaupun pendekatan ini belum menjadi arus utama dalam penanganan konflik agama di Indoensia, akan tetapi perlu terus diupayakan, dan model ini sebenarnya pernah dilakukan.
Contoh model penanganan konflik berbasis kepentingan bisa dilihat pada kasus penyerangan terhadap kelompok Syiah di Bangil dan MTA di Nganjuk. Proses mediasi terhadap dua kasus ini dianggap berhasil karena mampu meredam konflik yang berpotensi membesar. Keberhasilan ini ditentukan oleh munculnya suara-suara alternatif dan moderat dari dalam kedua kelompok yang bertikai tersebut yang mampu memecah konsentrasi wacana pertikaian.
Menurut Rizal, meskipun pendekatan berbasis kepentingan ini diyakini lebih humanis, bukan berarti model pendekatan lain harus ditinggalkan. Ia menegaskan, pendekatan terbaik untuk Indonesia ke depan adalah dengan menggunakan basis kepentingan sebagai azas dari semua penanganan konflik. Akan tetapi, selanjutnya mesti diikuti pendekatan berbasis hak yang menjamin semua warga negara memiliki hak yang sama di mata hukum. Terakhir, jika diperlukan, bisa digunakan pendekatan berbasis kekuatan, meskipun tetap dengan syarat bahwa negara memahami akan godaan penggunaan kekuatan ini.
Kegagalan pendekatan berbasis Hak
Sejak reformasi, gerakan masyarakat sipil pembela kebebasan beragama menekankan penggunaan pendekatan hak dalam menyelesaikan konflik agama. Upaya ini didukung oleh dunia internasional dengan berbagai laporan yang dikeluarkan seperti Human Rights Watch dan PEW Research Center. Kesepakatan dan Kovenan internasional menjadi instrumen penting untuk menilai yang menghasilkan jumlah pelanggaran, lengkap dengan aktor dan korban-korbannya. Namun, upaya ini belum juga menampakkan hasil. Kasus yang dibawa di Pengadilan belum memberikan jaminan keadilan, bahkan seringkali pihak korban justru yang dikorbankan. Kasus GKI Taman Yasmin adalah salah satu contoh pendekatan hak yang perlu dikaji kembali.
Gagalnya pendekatan berbasis hak di Indonesia disebabkan oleh dua hal, pertama, pendekatan ini adalah pendekatan baru setelah reformasi tetapi bukan bagian dari agenda Reformasi sehingga reformasi sistem hukum masih jauh ketinggalan. Kedua, pendekatan berbasis hak ini diajukan saat pendekatan berbasis kekuasan begitu kuat, sudah menjadi salah satu atau bahkan satu-satunya penyelesaian konflik di Indonesia.
Kalau menganalisa upaya-upaya penanganan berbasis hak dalam konflik agama di Indonesia, hampir di semua kasus, upaya ini tidak diajukan oleh korban konflik. Pilihan untuk menyelesaikan persoalan di pengadilan adalah saran negara. Ketika ada konflik, pihak yang terlibat (biasanya korban) ditahan, kemudian diadili. Hal ini terjadi karena proses ini dianggap lebih cepat meredam eskalasi konflik sekaligus untuk mengukuhkan kekuasaan negara. Dalam kasus GKI Taman Yasmin misalnya, jemaat gereja ini pada dasarnya enggan menyelesaikan persoalannya melalui jalur hukum. Akan tetapi, negara hadir dan memaksa penyelesaiannya lewat hukum. Dalam hal ini, belajar dari pengalaman penanganan konflik beragama di Indoensia, para korban sebenarnya cenderung untuk tidak menyelesaikan persoalannya di ranah hukum, namun negara “memaksa” mereka untuk masuk wilayah hukum (right-based approach) untuk mendukung pendekatan kekuatan/kekuasaan (power-based approach).
Mekanisme Putar Balik
Dalam kondisi yang seperti ini, bagaimana cara mengembangkan penanganan konflik berbasis kepentingan di Indonesia? Rizal menawarkan apa yang disebut dengan mekanisme transformasi dan loop back (putar balik). Pendekatan kekuatan saat ini mendominasi cara penanganan konflik keagamaan di Indonesia, namun perlahan-lahan diarahkan menuju penanganan berbasis hak, pada akhirnya diupayakan agar penanganan berbasis kepentingan sebagai jalan keluar. Baru setelah itu, dapat dipraktikkan spektrum yang sebaliknya: dari interest-based approach to right-based approach to power-based approach.
Namun harus diingat, kepentingan yang dimaksud bukan hanya kepentingan kelompok minoritas yang seringkali menjadi korban, akan tetapi juga kepentingan kelompok mayoritas. Pendekatan penanganan konflik berbasis kepentingan mengasumsikan bahwa pihak-pihak yang berkonflik ini punya kepentingan. Mereka bukan korban, mereka adalah pihak yang berkonflik, karena itu wajib dilibatkan dalam proses mewujudkan perdamaian.
Yang perlu digarisbawahi dari diskusi ini adalah jika disepakati bahwa interest-based approach adalah sebuah alternatif, maka juga diakui bahwa interest (kepentingan) itu juga milik mayoritas. Bagaimana mengakomodasi hal ini dan sejauh mana kepentingan mayoritas ini memengaruhi jalannya penanganan konflik? Diskusi mengenai hal terakhir ini diagendakan dibahas pada pertemuan lanjutan yang akan dilaksanakan oleh Institut Titian Perdamaian, Jakarta. (Njm/Bud)
*Penulis adalah mahasiswa S3 di University for Humanistics, Utrecht, Belanda
Suhadi Cholil* | CRCS | Artikel
Kebebasan pers di era Reformasi walaupun jauh lebih terbuka dibanding pada masa Orde Baru, namun, meminjam istilah Endy Bayuni, dalam bidang jurnalisme agama para jurnalis masih sulit memanfaatkan kebebasan ini untuk menyokong kesetaraan hak sipil warga. Hal ini terlihat dari hasil survei yang dilakukan Yayasan Pantau mengenai persepsi wartawan Indonesia terhadap Islam tahun 2012. Survei yang dilakukan terhadap 600 wartawan di 16 propinsi ini memperlihatkan tingginya kecenderungan wartawan Indonesia yang mengidentifikasi diri sebagai Islam dari pada sebagai Indonesia. Identifikasi ini berimplikasi pada kentalnya bias wartawan ketika memberitakan kekerasan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Ini terlihat dari penggunaan kata-kata yang cenderung menghakimi seperti: “sesat”, “harus ditobatkan”, dan lain-lain. Bias ini menurut saya timbul karena jurnalis sulit membedakan antara arena keberagamaan personalnya dengan arena profesinya sebagai jurnalis. Tulisan ini akan mencermati lebih jauh beberapa temuan, tidak semuanya karena keterbatasan ruang, dari hasil survei Yayasan Pantau tersebut.
Mustaghfiroh Rahayu* | CRCS |
Jacqueline Aquino Siapno, dalam sebuah artikel berjudul “Syari’a Moral Policing and The Politics of Consent in Aceh”, menulis bahwa perempuan Aceh tidaklah seperti yang selama ini digambarkan oleh kebanyakan laporan internasional mengenai perempuan Aceh, yang dilanggar hak-haknya oleh penerapan syari’ah Islam. Pengalamannya selama penelitian di Aceh justru menunjukkan sebaliknya, perempuan Aceh adalah perempuan yang mandiri, memiliki mobilitas tinggi, dan memiliki posisi tawar/kuasa yang lebih atas laki-laki (matrifocality). Untuk itu ia menawarkan sudut pandang lain dalam melihat perempuan Aceh. Tulisan ini merupakan review atas artikel Siapno tersebut yang dimuat di Jurnal Social Difference-Online Vol. 1 Dec 2011.