Franciscus C. Simamora | CRCS | Wedforum
Pada awalnya adalah ‘maaf’, dan rekonsiliasi selalu bermula dari sini. Melalui pemaafan, benih-benih perdamaian diharapkan tumbuh subur dalam diri kedua belah pihak, antara korban dan pelaku. Pemaafan merupakan salah satu cara awal untuk memutus lingkaran-setan kekerasan yang selama ini menubuh dalam diri destruktif manusia. Pemaafan juga berfungsi untuk memulihkan mereka yang tercederai, baik secara fisik maupun psikis.
Itulah salah satu pesan penting yang disampaikan oleh Yoachim Agus Tridatno, mahasiswa doktoral Indonesian Concortium for Religious Studies, dalam presentasinya mengenai ‘the power of forgiveness’. Presentasi yang dibawakan pada Wednesday Forum (7/11) tersebut merupakan riset disertasinya, Forgiveness of Powerless: Critical Discourse Analysis of The Survivors of May 1998 Riot in Solo’, yang sampai saat ini masih berlangsung. Dalam paparannya, Yoachim menekankan pentingnya ‘pemaafan’ (forgiveness) sebagai partikel pembentuk perdamaian dan keadilan di tengah krisis yang mendera dunia saat ini, termasuk Indonesia.
Dalam relasi personal, tindakan memafkan merupakan salah satu terapi untuk memulihkan kondisi traumatik yang diakibatkan oleh kekerasan. Keunikan inilah yang kemudian menginspirasi banyak orang untuk melakukan studi dan riset lebih mendalam, misalnya, terkait dengan efek-efek yang ditimbulkan pasca-pemaafan. Karena itu, tidak mengherankan jika sejak tahun 1980-an kajian mengenai tema tersebut terus mengalami perkembangan. Abdul Ghaffar Khan, Paus Yohaness Paulus II, dan Desmond Tutu—untuk menyebut beberapa saja—merupakan tokoh-tokoh yang pemikirannya sering menjadi rujukan dalam setiap kajian mengenai tema tersebut, termasuk juga dalam disertasi Tridatno. Figur-figur tersebut dipandang sebagai promotor perdamaian yang sangat giat mengajak umat manusia untuk memiliki semangat belas-kasih, semangat yang diharapkan menjadi benih keadilan dan optimisme masa depan.
Sayangnya, semangat semacam ini tampaknya belum dimiliki oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Negara ini acap kali dipandang sebagai ladang kekerasan oleh pihak-pihak asing, bahkan oleh pihak dalam negeri sendiri. Sederet kasus kekerasan yang pernah terjadi, mulaidari tahun1945, 1965, 1998, konflik Aceh, Poso-Ambon, hingga kasus Sampang baru-baru ini, rupanya telah memicu munculnya stereotipe bangsa ini sebagai bangsa yang kasar (violent country), bangsa yang menjadikan kekerasan sebagai kultur di dalamnya. Rekam jejak kekerasan yang telah puluhan tahun memicu korban materi dan non-materi tersebut juga tak banyak mendapat perhatian serius dari para pemimpin bangsa. Sejauh ini belum ada permintaan maafyang dilakukan secara resmi terhadap mereka yang menjadi korban tindak kekerasan. Ironisnya, mereka yang diyakini sebagai aktor di balik tindak kekerasan itu justru masih bebas berkeliaran dalam ranah perpolitikan negeri ini.
Inisiatif untuk memulihkan krisis dan keterpurukan yang diakibatkan oleh berbagai kasus kerasaan tersebut sebenarnya telah dimulai sejak era Habibie. Pada tahun 1998, misalnya, BJ Habibie pernah mendirikan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk melakukan investigasi terhadap kerusuhan Mei 1998, namun hingga saat ini sebagian jejak para pelaku kerusuhan itu dan kerusuhan-kerusuhan lain masih misterius. Pasca-Habibie, Gus Dur dan Megawati juga menginisisasi pendirian Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk mengatasi masalah pelanggaran HAM masa lalu, namun draftnya ditolak oleh parlemen. Ini menunjukkan bahwa ada semacam keengganan apatis yang sangat besar dari pemerintah untuk menelusuri tragedi-tragedi kekerasan dan pelanggaran HAM yang pernah menyelimuti bangsa ini selama bertahun-tahun.
Terkait dengan kerusuhan anti-China di Solo, Yoachim menegaskan bahwa konflik itu sudah berlangsung lama,dimulai darikekacauan di Kartasura (1742), konflik China Solo denganpara pedagang Muslim (1912), masa kependudukan Jepang (1943-1945), gerakan September 1965 (1965-1966), huru-hara 1980, sampai kerusuhan Mei 1998. Bahkan, setelah kerusuhan itu, tepatnya pada penghujung bulan Mei 1998, muncul kasus-kasus kekerasan lain yang tak kalah hebat, misalnya perusakan pos-pos polisi, rambu-rambu lalu lintas, dan beberapa fasilitas umum yang dilakukan oleh sekelompok anak muda sebagai reaksi mereka terhadap penertiban balapan liar di jalan umum. Selanjutnya, pada Oktober 1999, kembali terjadi perusakan dan pembakaran sejumlah fasilitas publik seiring kegagalan Megawati dalam memenangi pemilihan presiden dalam SU MPR. Kondisi ini juga diperparah oleh sejumlah aksi yang memicu kekerasan warga atas tindak tanduk beberapa gerakan garis keras di Solo. Oleh sebab itu, tak heran jika sebutan “sumbu pendek” melekat pada kota ini.
Huru-hara yang terjadi pada Mei 1998 di Solo tercatat merupakan kerusuhan nomor dua terburuk setelah kerusuhan yang sama di Jakarta. Sebagai mana di Jakarta, kerusuhan ini menimbulkan kerugian materi dan non-materi yang begitu besar. Rumah-rumah penduduk, fasilitas umum, kantor-kantor bank, dan kawasan pertokoan menjadi target amuk massa. Potret perusakan, penjarahan, dan pembakaran menjadi pemandangan muram di sejumlah wilayah kota Solo pada waktu itu. Tak hanya itu, terminal bus Tirtonadi yang juga turut dilalap oleh si jago merah seolah-olah menjadi saksi bisu kebrutalan aksi massa ini. Asap mengepul dimana-mana. Sampai akhirnya, isu kerusuhan melebar menjadi isu rasis. Sejumlah pertokoan yang sebagian besar dimiliki oleh orang-orang Tionghoa menjadi korbannya. Transaksi-transaksi bisnis yang mewarnai kota ini menjadi macet. Kerugian finansial yang ditimbulkan diperkirakan mencapai sekitar empat setengah milyar lebih (Rp 457.534.945.000). Sebanyak 31 orang meninggal dunia, dan 16.000 orang kehilangan pekerjaan. Sederet peristiwa ini telah menyisakan bayang-bayang ketakutan dan trauma pada warga. Selama beberapa hari, Solo benar-benar menjadi kota yang lumpuh.
Yang menjadi persoalan kemudian adalah bagaimana para korban yang ‘selamat’ (survivors) dari tragedi itu memaafkan mereka yang telah melakukan tindak kekerasan terhadap dirinya? Dan seberapa penting sikap penyesalan, permintaan maaf, keadilan, dan rekonsiliasiini bagi para korban kerusuhan Mei 1998 di Solo yang saat ini masih traumatik? Dua pertanyaan inilah yang hendak dijawab Yoachim dalam disertasinya.
Untuk menguraikan dua pertanyaan ini, Yoachim menggunakan teori pemaafan (theory of forgiveness) sebagai kerangka berpikir. Pemaafan merepresentasikan dua elemen penting: pertama,pemaafan sebagai respons sadar para korban atas pelanggaran yang disengaja, dan kedua, pemaafan sebagai respons mental para korban atas luka yang mereka derita sebagai terapi mental dan sikap belas-kasih. Metode riset yang digunakan dalam disertasi ini merupakan riset berbasis pustaka dan lapangan yang melibatkan 19 informan kunci dan 24 warga yang selamat (survivors), yang terdiri daripenduduk lokal dan keturunan China. Yoachim menggunakan analisis diskursus kritis-nya Norman Fairclough yang memiliki tiga dasar utama: diskursus sebagai praktis sosial, diskursus memengaruhi struktur sosial, dan struktur sosial memengaruhi diskursus.
Sampai sejauh ini, belum banyak temuan yang diperolehYoachim, karena riset ini memang masih berlangsung. Meski demikian, pada penghujung presentasi, Yoachim memaparkan mengenai beberapa kesimpulan sementara yang ia dapatkan selama risetnya. Salah satunya adalah bahwa kerusuhan di Solo pada hakikatnya bukanlah semata-mata konflik anti-China, namun lebih sebagai permainan politik segelintir elite. Selain itu, bagi beberapa keturunan China-Indonesia, pindah dari Solo pasca-kerusuhan Mei 1998 bukanlah solusi terbaik untuk memulihkan diri mereka. (Ed-Fawaid)