Berita Wednesday Forum
Franciscus Chrismanto Simamora | CRCS | Wedforum
Memasuki era reformasi, praktik paranormal di Indonesia, khususnya di Jawa, semakin menemukan bentuknya dan menjadi fenomena. Praktik ini terbukti semakin menjamur dan semakin modern. Demikian salah satu poin yang disampaikan Prof. Judith Schlehe, pada Wednesday Forum pekan lalu dengan tajuk “Paranormal Practitioners and Popular Religion in Contemporary Java” (19/09/2012). Hasil penelitian guru besar Universitas Freiburg, Jerman ini menunjukkan bahwa, paranormal modern di Indonesia enggan disebut dukun, sebab kata ini menimbulkan kesan tadisional, kuno dan desa. Oleh karenanya para praktisi paranormal ini lebih memilih sebutan pakar supranatural, hypernatural atau spiritual.
Dalam penelitian mengenai paranormal ini Schlehe dipandu oleh dua pertanyaan pokok yaitu, apa itu paranormal modern dan bagaimana mereka memposisikan diri di era modern ini. Tidak seperti antropolog lain yang melihat paranormal sebagai sesuatu yang eksotik, Schlehe melihat fenomena ini dari sudut pandang kesalingterhubungan.
Schlehe dalam slide presentasinya memaparkan sejumalah perbedaan antara paranormal dengan dukun. Menurutnya, Dukun adalah mereka yang cenderung berdomisili di areal pedesaan, dengan begitu akses teknologi dan informasi cukup terbatas. Sementara paranormal adalah mereka yang lebih memilih untuk menetap di areal perkotaan. Jumlah masyarakat kota yang begitu besar dengan tingkat stress yang tentunya mengikuti menjadi peluang bagi paranormal untuk menyediakan solusi. Selain itu, jika dukun umumnya hanya mengakses pendidikan pada tingkat dasar atau menengah saja, paranormal kebanyakan telah menyelesaikan jenjang pendidikan tinggi bahkan sampai tingkat doktoral. Mereka menyandang gelar-gelar akademis yang juga menjadi nilai jual mereka.
Perbedaan lainnya adalah terkait organisasi nasional. Sejauh ini, organisasi yang mewadahi praktik paranormal ini begitu beragam. Organisasi ini dibentuk tak hanya untuk melindungi eksistensi mereka, namun juga untuk membangun kesan yang lebih positif dari masyarakat terhadap praktik supranatural. Forum Komunikasi Paranormal dan Penyembuh Alternatif Indonesia (FKPPAI) adalah salah satu organisasi yang mewadahi aktivitas ini. Organisasi ini dibentuk untuk mendayagunakan pengetahuan parapsikologi dan metafisika, menyediakan pengobatan alternatif bagi masyarakat, membangun kesadaran spiritual serta melestarikan kemampuan dan budaya dari nenek moyang. Organisasi yang lainnya adalah PATI (Perhimpunan Alternatif Indonesia) yang mulanya bernama PPI (Paguyuban Paranormal Indonesia). Penyesuaian terhadap perkembangan zaman dan pembenahan kualitas pelayanan memicu organisasi ini untuk mengubah nama. IPI (Ikatan Paranormal Indonesia) juga seragam. Organisasi ini juga bertujuan untuk mengembangkan ilmu supranatural dan ramuan tradisional Indonesia.
Berbeda dengan dukun yang tak mengenal ijin praktek, paranormal mendapat pengakuan dari negara bahkan mengantongi sertifikat untuk mengadakan pengobatan alternatif sebagai jasa primer yang ditawarkan. Selain itu pembeda utama antara dukun dan paranormal adalah dalam hal penggunaan teknologi media massa. Paranormal tak segan untuk menggunakan tekhnologi piranti mutakhir dalam menunjang aktifitas pelayanan mereka. Di tempat praktiknya, pengunjung bisa dengan mudah menemukan laptop, telepon genggam terbaru, Ipad dan piranti canggih lainnya. Ini tak lain menyiratkan bahwa mereka adalah pribadi yang juga terbuka dan pengkonsumi teknologi dan informasi terkini. Mereka juga nyatanya dituntut untuk mengikuti perkembangan berita politik, ekonomi dan juga agama. Mereka tak menutup diri terhadap arus perubahan global untuk menampik kesan kolot. Namun, tentu saja, mereka masih tetap melestarikan budaya lokal sebagai identitas dan mengkombinasikannya dengan budaya modern.
Lebih jauh Schlehe menjelaskan bahwa kesan religius dan simbol-simbol agama juga melekat dalam diri para paranormal. Ini menjadi penanda agar eksistensi mereka bisa diterima oleh masyarakat, bahwa ternyata mereka adalah sosok yang tetap menegakkan ibadah dan meyakini yang Maha Kuasa. Mereka juga tak segan-segan untuk mempromosikan jasa pelayanan mereka lewat media massa, seperti internet, televisi, surat kabar, majalah dan radio.
Temuan Schlehe yang menarik lainnya adalah, konsultasi masalah seks ternyata menempati posisi yang lebih tinggi dibanding alasan-alasan lain mengunjungi paranormal, seperti masalah kesehatan, keuangan, karir, asmara, dan peruntungan. Sehingga belakangan ini iklan jasa pengobatan masalah seksual, yang mulanya cukup tabu untuk diekspos, menjadi semakin terbuka dan memiliki pangsa pasar yang besar. Pemakai jasa mereka juga terbukti tidak hanya berdatangan dari kalangan menengah kebawah, namun juga kalangan elit dan artis-artis. Ini menandakan bahwa modernisasi yang juga membawa semangat positivistik, dimana segala gejala mesti memiliki penjelasan yang rasional, tak menyurutkan hasrat mereka untuk memakai jasa praktik pengobatan alternatif ini.
Temuan lain yang juga tak kalah menarik adalah, menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada), 80 persen income atau penghasilan para paranormal berasal dari pilkada ini. Inilah momen ketika paranormal disibukkan oleh konsultasi para caleg yang akan berlaga di pilkada. Mereka yang berkompetisi dalam pilkada ini, yang notabene memiliki gelar-gelar akademis mentereng, meminta bantuan paranormal untuk memudahkan langkah mereka melenggang menuju kursi pemerintahan eksekutif. Berbagai ritual dan amalan mereka kerjakan agar kharisma mereka semakin memancar dan rasa percaya diri mereka semakin membesar. Harapannya, jalan menuju kursi pemerintahan elit menjadi semakin terbuka lebar dan mudah.
Mengakhiri presentasinya, Schlehe menyimpulkan bahwa praktisi paranormal di Jawa telah menjadi semakin modern dan semakin diterima oleh masyarakat. Ini adalah fenomena yang menarik. Jasa pelayanan mereka semakin diminati dan secara tak langsung, pundi-pundi kekayaan paranormal ini pun semakin membesar. Praktek ini telah menjadi semacam ‘entrepreneur’ yang menjanjikan dan menguntungkan. Mereka berhasil membangun citra yang baik di masyarakat dan dalam eksistensinya mampu membuka diri terhadap perubahan sosial, menjadi mediator dalam penanganan konflik dan berkontribusi dalam menciptakan perdamaian di masyarakat (ed-njm).
Wedforum
“Negotiating Science & Religion:
The Reception of Biological Evolution amongst Pakistani and Malaysian Medical Doctors”.
Salman Hameed
October 3rd 2012 @ 12:30 – 14:30
Venue: ROOM 306, UGM GRADUATE SCHOOL
Abstract
For the last 150 years, the debates over the implications of evolutionary biology have dominated the discourse of science & religion in the western world. Increasing educations levels and the rising importance of practical applications of evolutionary biology are bringing some of these debates to various parts of the Muslim world. Whereas, many contemporary western debates assume a separation of the spheres of science & religion, this separation is rarely considered in Muslim societies. Furthermore, the extant of the sphere of authority of scientists – itself a professional category created in the 19th century – and their interpretive role in the society has not really been addressed in much of the Muslim world. Recent interviews with Muslim physicians and medical students about evolutionary biology illustrate some of the ways young professionals are negotiating between modern science and Islam.
Wednesday Forum (Wedforum)
Paranormal Practitioners and Popular Religion in Contemporary Java
September 26, 2012 (12:30 – 14:30pm)
Venue: ROOM 306, UGM GRADUATE SCHOOL
Abstract
In Java, popular non-institutionalized paranormal practices have undergonea process of rapid development in recent years. The transcendent world ofspirits has in many ways become modernized and mediatized. Alternativehealers, spiritual practitioners and diviners offer support for business andcareers, political elections, love and health. They make innovative use ofmany traditions (Javanese, Islamic, Chinese, Christian, cosmopolitan),
CRCS-ICRS Wednesday Forum
Indonesian And Western Social Imaginaries
September 12, 2012 (12:30 – 14:30pm)
Venue: ROOM 306, UGM Graduate School Building 3rd floor.
Abstract
Western social theory is frequently based on a paradigm of development from traditional societies to modernity. This paper argues that there is not one “modernity” but rather multiple modernities. Linear “progress” is part of a Western social imagination of development from simple, irrational, religious, traditional societies to complex, rational modern societies ruled by science. The paper suggests that how Indonesians imagine social reality is different from how people in the West imagine society. However not all Indonesians imagine the same social reality. Using Weberian ideal types, the paper suggests that part of the diversity in Indonesian society stems from competing social imaginaries, not just between “East” and “West”, but between different combinations of practices, stories, hopes, beliefs and imaginations which come from many different sources.