“Laporan ini menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, Pilkada turut berperan dalam terciptanya struktur kesempatan politik yang memungkinkan mobilisasi dan peran kekuatan-kekuatan sosial yang mengusung ideologi intoleran.”
Laporan Kehidupan Beragama di Indonesia ini mengkaji peran pilkada sebagai struktur kesempatan politik bagi menguatnya konflik atau kekerasan keagamaan. Tanpa bermaksud mendelegitimasi Pilkada langsung, Laporan ini mengulas tiga kasus kekerasan terkait hubungan antar dan intra-agama. Ketiga kasus ini dihadirkan untuk memberi ilustrasi pentingnya mengantisipasi efek samping dari Pilkada terhadap situasi keragaman agama di Indonesia.
Ketiga Kasus tersebut adalah kekerasan terhadap Masjid Ahmadiyah dan beberapa gereja di Bekasi (Jawa Barat), kekerasan terhadap penganut Syiah di Sampang (Jawa Timur), dan sengketa pembangunan Masjid Nur Musafir di Kelurahan Batuplat, Kota Kupang (Nusa Tenggara Timur). Ketiga kasus ini dipilih untuk memberikan ilustrasi tentang pentingnya memperhatikan Pilkada sebagai masa kritis yang bisa menentukan pola hubungan antar-agama.
Dengan demikian, bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai peta permasalahan terkait kehidupan beragama, beberapa karakternya, dan peluang-peluang atau cara-cara konstruktif untuk menanggapinya. Hasil pemetaan menunjukkan bahwa sesungguhnya selama 15 tahun terakhir ini, ada beberapa jenis isu utama yang muncul secara konsisten. Misalnya, sementara kekerasan komunal berskala besar cenderung menurun secara tajam, namun kekerasankekerasan sporadis yang terkait dengan “penodaan agama” atau isu pembangunan rumah ibadah tampak makin intens; isu lain yang kerap muncul sebagai akibat demokratisasi adalah menguatnya wacana pro-kontra terkait pembuatan kebijakankebijakan publik, baik pada tingkat nasional maupun lokal.
Laporan ini bisa diunduh: http://wp.me/P5Fa8A-4P
Pluralism Researches
Ahmad Khotim Muzakka*
Penulis Buku: Budi Asyhari-Afwan
Penerbit : CRCS-UGM
Tahun terbit : Januari 2015
Halaman : 86
Harga : Rp. 25.000
Download Mutiara Terpendam Papua
Buku bertajuk Mutiara Terpendam Papua, Potensi Kearifan Lokal untuk Perdamaian di Tanah Papua karya Budi Asyhari-Afwan ini mengajak pembaca untuk melihat persoalan mendasar yang dihadapi masyarakat Papua. Staf peneliti di Divisi Riset dan Data Center CRCS UGM ini, dalam kata pengantarnya, memfokuskan kajiannya kali ini pada kekayaan budaya suku-suku bangsa di Papua. Satu hal yang, menurut penulis buku ini, jarang ditempuh oleh peneliti dalam konteks Papua karena, selama ini, Papua hanya dilihat dari kacamata politik, konflik, dan sumber daya alamanya semata.
Problem keragaman seperti konflik rumah ibadah dan intoleransi selama ini seringkali dipahami sebagai akibat dari menguatnya radikalisme keagamaan. Namun tulisan-tulisan dalam buku ini memberikan gambaran yang berbeda. Secara umum relasi antar kelompok identitas ditempatkan dalam dua bentuk: kontestasi dan koeksistensi. Istilah kontestasi digunakan untuk menunjukkan bahwa konflik-konflik sosial keagamaan yang belakangan banyak terjadi tidak dapat dilepaskan dari perubahan sosial politik di Indonesia yang menunjukkan menguatnya perebutan kendali atas ruang publik oleh kekuatan-kekuatan sosial di Masyarakat. Untunglah kontestasi ini bukanlah gambaran tunggal: beberapa tulisan dalam buku ini mengangkat tradisi di masyarakat plural yang menjadi mekanisme pengelolaan keragaman secara damai atau dapat disebut koeksistensi. Kedua jenis relasi ini diharapkan dapat membuka jendela untuk mengeksplorasi ragam praktik pengelolaan keragaman di Indonesia secara jernih dan bernuansa.
Laman ini menampilkan rekam bibliografi tentang kehidupan beragama di Indonesia, dengan tema penyesatan dan penodaan agama di Indonesia yang berasal dari sumber koran, majalah, buku, jurnal ilmiah, skripsi maupun tesis. Sebagian besar bibliografi, tersedia link akses artikel penuh.
Wacana penyesatan dan penodaan agama niscaya terjadi di semua agama. Wacana tersebut merepresentasikan problem intra agama di mana kelompok mainstream menyesatkan kelompok lain yang berbeda tapi masih dalam satu agama atau memiliki kesamaan sebagian tradisi keagamaan dengannya. pemberlakuan undang-undang no. 1/PNPS/1965 memiliki banyak kelemahan salah satunya karena dikriminatif. Pada umumnya kelompok yang dituduh sesat selalu merupakan kelompok kecil di tengah masyarakat dengan pandangan keagamaan mainstream.
Selama tiga tahun (2008, 2009, 2010) CRCS berturut-turut merekam kasus-kasus penistaan dan penodaan agama, silahkan lihat laporan tahunan:
Peraturan Perundang-undangan dan Fatwa MUI
In general, the religious community in Indonesia was able to portray itself as powerful in strengthening cohesion, developing peace, and contributing to a constructive form of social criticism. But on the other hand some religious groups still played a role in acting destructively and igniting conflict.
Efforts to strengthen the cohesion of society were put into practice both communally and as initiated by individuals, as well as through government.
At government level, inter-religious encounters were actively facilitated by the Ministry of Religious Affairs through several institutions, such as the Center for Religious Harmony. Perhaps less widely known is that the Ministry of Foreign Affairs through the Directorate of Public Diplomacy participated actively in initiating inter-religious dialogue, mostly at regional and international levels. The dialogue involves not only religious leaders but also young people, academics, and the media, in international meetings in Indonesia or abroad. In 2009 the Directorate participated in forums such as the fifth Asia Pacific-level inter-religious dialogue meeting held in Australia; the Asia-Europe Meeting (in the ASEM context), also the fifth, held in Seoul; bilateral inter-religious dialogue with Austria and Russia; and the high-level Alliance of Civilizations meeting, which is a UN initiative, held in Turkey. It must be acknowledged that the Directorate of Public Diplomacy was established in 2002 (and began inter-religious dialogue in 2004), partly in the shadow of global concerns over religion-based violence after the events of 9/11 (2001) in the U.S. and the 2002 Bali bombings. After operating for over five years, it is now important to evaluate the impact of its activities. This includes the fundamental question of whether the paradigm of the dialogues it sponsored, formed partly in response to the above global concerns and accusations of Indonesia as a node in a terrorism network, is still appropriate or needs to be modified to be more constructive, and whether its activities should move beyond simply a showcase of the so-called Indonesian religious harmony.
At the local community level, 2009 manifested many positive examples of inter-community relations.
BOOKS
Since the Bali bombing attacks in 2002, terrorism, especially those involving Muslim perpetrators and done with islamic motivation associated with them, became one of the issues that characterize the religious life of Indonesia. Measures to deal done fairly systematically. In this regard, the Indonesian police often gets credit for the success they catch the perpetrators and the people in this terrorist network. Condemnation of the bombers came from many religious leaders and community organizations. Although there appears to be a tendency to decrease the number of cases, terrorism obviously has not disappeared from Indonesia.