Agama dan Budaya Lokal merupakan dua isu yang belakangan ini mendapat banyak perhatian tidak hanya kaum terdidik namun juga masyarakat luas. Perhatian ini terutama didorong oleh maraknya kasus kekerasan atas nama Agama di berbagai wilayah di Indonesia. Fenomena kekerasan atas nama Agama ini mendorong orang untuk menengok ke dalam peranan Agama dalam masyarakat. Kekerasan itu misalnya berbentuk “penyesatan” atas kelompok dalam Agama. Bentuk lain adalah “peminggiran” terhadap apa yang disebut dengan istilah “agama lokal” atau agama yang dipengaruhi budaya lokal setempat. Dari sini kemudian muncul istilah Agama resmi dan agama non-resmi.
Pluralism Researches
Sebagaimana Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia yang diterbitkan CRCS tahun 2008, 2009 dan 2010, keberadaan Ahmadiyah di Indonesia sarat kontroversi semenjak kedatangannya pada tahun 1920-an hingga sekarang. Kontestasi antara Muslim mainstream dengan Ahmadiyah semakin terlembagakan setelah penerbitan fatwa MUI tentang Ahmadiyah Qadiyan tahun 1980. Lalu dilanjutkan dengan fatwa tahun 2005. Di luar masalah tersebut, peran Negara dalam mengatur kehidupan beargama juga berkontribusi terhadap permalahan Ahmadiyah di Indonesia, Penerbitan SKB Tiga Menteri tahun 2008 telah memberikan ekses negatif yaitu penyerangan terhadap kelompok dan rumah ibadah Jamaah Ahmadiyah.
Laman ini menyediakan database bibliografi tentang kehidupan beragama di Indonesia dengan tema Kontroversi Ahmadiyah di Indonesia. Cakupan sumber yang terdapat dalam laman ini terdiri dari sumber koran, kertas kerja, artikel, jurnal ilmiah, buku, skripsi, dan tesis. Sebagian besar bibliografi tersedia tautan link akses artikel penuh.
Selanjutnya, silahkan lihat Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia tahun 2008, 2009dan 2010
Laporan Tahunan dan Investigatif
Laman ini menyediakan sumber-sumber literature perjumpaan antara agama-agama dunia dengan kearifan, penghayat kepercayaan atupun filosofi suku tertentu di Indonesia. Perjumpaan tersebut meniscayakan lahirnya akulturasi, sinkretisisasi hingga kontestasi dalam prinsip-prinsip dasar yang dianut pemeluk masing-masing agama atau keyakinan. Hal ini tercermin dari banyaknya kekhasan ajaran yang dimiliki oleh suku tertentu sebagaimana tergambarakan dalam database literature di bawah ini.
Sedangkan dalam hubungannya dengan negara, penerbitan UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan merupakan salah satu indikator kemajuan legislasi dalam bidang kebebasan beragama dan berkeyakinan di era reformasi yang antara lain memberikan jaminan hak sipil lebih luas bagi warga penghayat kepercayaan, disini identitas keagamaan dan sipil menjadi penting sebagai salah satu syarat pemenuhan hak sebagai warga Negara semisal terkait dengan KTP, SIM dll.
CRCS secara berkesinambungan mengupas isu di atas dalam setiap laporan tahunannya (2008-2010), namun untuk informasi terkini terdapat dalam laporan kehidupan kehidupan beragama tahun 2010.
Surat Kabar/majalah/artikel lepas
Problems Relating to Places of Worship in Indonesia Series of Bibliographic Database on Religious Life in Indonesia Places of worship in Indonesia are not only spaces for worship and conducting religious and social activities, but also symbols of the interaction between religious groups and their acceptance and rejection from their surrounding environments. In most cases places of worship of different religions coexist side by side and some even share use of a single wall; but sometimes the establishment and existence of places of worship bring about controversy.
Among the religious buildings adjoining each other, to name a few, in Malang, East Java, Jami’ mosque in the city of Malang is adjacent to the GPIB church. There is also Perbandhak Gurdwara, a Sikh house of worship, located right next to the Shri Mariamman Hindu temple on Jl. Tengku Umar in Medan. And in the city of Banten the Grand Mosque is adjacent to the Catholic Church. Also related to this interesting latter example, the main wall of the GKJ church literally adjoins the Al-Hikmah mosque in Joyodiningratan Surakarta, Central Java.
Among some of the examples, in 2009 in Fakfak district, West Papua, the residents of Urat Village celebrated the commencement of construction of the Shollaturrahim mosque. Construction of the mosque did not appear at all exclusive, but rather in fact reflected the villagers’ sense of togetherness. On June 6, 2009 village residents feasted merrily with traditional dances after the laying of the mosque foundations. Mothers, fathers, and teenagers danced to the tifa drum and flute. In the district of West Papua, government officials were also at ease visiting from one place of worship to another of differing religions. On June 11, 2009 the Vice Governor of West Papua visited mosques and churches on the same day. And this occurred not only at the executive level: as part of social activities, ranks of the Sorong Military Command 171/PVP in the Indonesian National Armed Forces performed devotional services with communities in the construction of Getsamani church in Sorong. Thus far we can see that processes of inter-religious cohesion remain strong at the community level. The government often actively encourages the efforts of inter-religious cooperation in the community. The state of harmonious interfaith relations and cooperation between religious communities may still be seen as a mirror of the general situation in Indonesia.
Nevertheless, undeniably conflict and even violence related to places of worship still occurred in several places. In terms of regions, areas in western Java (DKI Jakarta and West Java) need special attention because quite a number of problems have arisen there. There are various kinds of problems in relation to houses of worship, such as the absence of the permit to build a place of worship, the illegitimate occupation of public facilities for the purpose of holding religious services, as well as the opposition to the existence of certain places of worship by neighboring inhabitants. In 2008, CRCS’s Annual Report on Religious Life in Indonesia found 12 cases related to places of worship; in 2009, that number had risen to 19; andin 2010, that number has increased significantly to more than its double. Such statistics illustrate how cases involving houses of worship in Indonesia are still a problem that must be taken seriously by various parties.
(excerpted from CRCS’s 2009 Annual Report on Religious Life in Indonesia)
NEWSPAPERS/MAGAZINES
The Problem Houses of Worship 1945
Menyebut etnis Dayak pada hari-hari ini barangkali lebih gampang membangkitkan imajinasi yang tidak mengenakkan di pikiran banyak orang, terutama setelah sejumlah konflik komunal berdarah yang melibatkan etnis ini dalam kurang lebih sepuluh tahun terakhir. Tetapi laporan penelitian ini menyajikan sesuatu yang lain, yakni kemampuan orang Dayak Meratus (dan juga orang Banjar) membangun kapasitas mereka untuk hidup berdampingan secara damai dalam kondisi yang tidak sepenuhnya memuaskan.
Penelitian ini berusaha melihat relasi antara etnis Dayak dan Banjar: bagaimana negosiasi-negosiasi identitas terjadi di antara keduanya, apa saja potensi-potensi konflik antarkedua etnis tersebut, dan secara umum kaitannya dengan berbagai faktor yang dapat menyebabkan terciptanya hubungan baik antara etnis Dayak Meratus dan Banjar atau sebaliknya.
Di desa Loksado, dengan komposisi penduduk yang menganut tiga agama relatif seimbang, konflik, negosiasi identitas cenderung lebih menonjol. Konflik tampaknya lebih potensial antara penganut Islam dan Kristen, ketimbang antara penganut kedua agama tersebut dengan penganut agama lokal (Agama Balian/Kaharingan). Dalam pola hubungan antaretnis dan agama itu, negara cukup berperan, terutama dalam kaitannya dengan kebijakan pembangunan untuk “masyarakat terasing” yang melibatkan misionaris Kristen, penentuan agama-agama resmi yang tidak mengakui agama lokal, dan keterlibatan aparat negara yang didominasi oleh orang Banjar Muslim dalam membantu perkembangan dakwah Islam di daerah ini.
Hubungan sosial di sini memang tidak selamanya harmonis. Kadang-kadang ketegangan terjadi, terutama menyangkut soal perbatasan tanah dan kebakaran lahan, namun belum pernah sampai mewujud dalam bentuk konflik komunal yang keras. Adannya “pembagian” ragam mata pencaharian tampaknya berhasil mencegah terjadinya kesenjangan sosial ekonomi yang menyolok di antara para penduduk dengan tiga identitas agama tersebut, dan dengan demikian ketegangan tidak menjelma menjadi konflik yang keras.