Judul: Dakwah Islam Kultural: Studi atas Apresiasi Kiai Masrur Ahmad Mz (Lahir 1963) terhadap Kesenian Jatilan di Kelurahan Wukirsari Cangkringan Sleman Yogyakarta
Penulis: Muh. Hanif (CRCS, 2005)
Kata-kata Kunci: Kiai – Dakwah kultural – Apresiasi Jatilan
Abstrak:
Fokus penelitian adalah 1) Bagaimana bentuk apresiasi Kiai Masrur terhadap Kesenian Jatilan? 2) Mengapa Kiai Masrur melakukan dakwah kultural dalam bentuk apresiasi Jatilan: pemikiran, tujuan dan motif atau kepentingan apa yang melandasinya? 3) Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap dakwah kultural dalam bentuk apresiasi Jatilan tersebut?
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian adalah Kiai Masrur, pengurus dan santri pesantren Al Qodir, penggiat Jatilan dari Wukirsari, masyarakat pendukung dan penentang kegiatan dakwah kultural Kiai Masrur dalam bentuk apresiasi Jatilan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode observasi mendalam, wawancara berpartisipasi dan dokumentasi. Penelitian dilaksanakan mulai bulan September 2004 sampai dengan bulan Januari 2005 di Kelurahan Wukirsari Cangkringan Sleman Yogyakarta. Analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan model interaktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Bentuk dakwah kultural apresiasi Kiai Masrur terhadap Jatilan ada dua yaitu: Jatilan sebagai media membangun komunikasi dengan masyarakat penjatil dengan cara: festival dan pertunjukan Jatilan tahunan di pesantren al Qodir, memberi bantuan keuangan pada paguyuban Jatilan, dan melibatkan masarakat penjatil dalam berbagai pengajian di dalam dan di luar pesantren. Jatilan sebagai target dakwah dengan cara mengubah Jatilan menjadi lebih Islami pada bentuk maupun konsep nilai yang mendasarinya. Pada dataran konsep menggeser konsep nilai trihitakarana Hinduisme dan konsep spiritualitas Jawa diganti dengan konsep tasawuf (mistisisme Islam). Pada dataran bentuk melalui peraturan festival Jatilan para penjatil dilarang menjalankan larangan agama seperti trance (kesurupan), sesaji dan lain-lain, penilaian pada keindahan tari, suara dan musik 2). Pemikiran tujuan, motif dan kepentingan yang melandasi dakwah kultural apresiasi jatilan yang dilakukan oleh Kiai Masrur adalah sebagai berikut: a. Pemikiran, semua manusia diangkat oleh Allah sebagai khalifah fil ardh, sehingga memikul kewajiban dan memiliki hak mendapatkan pelayanan dakwah, seni (termasuk Jatilan) dapat digunakan untuk dzikrullah, mendahulukan amar ma’ruf daripada nahil munkar, menyampaikan dakwah secara lemah lembut, dan memberi suri tauladan (utswatun hasanah), at Takhalli (mengosongkan dari sifat yang jelek), at Tahalli (mengisi dengan sifat yang baik), at Tajalli (mendapat ilham untuk melihat kebenaran), akomodatif terhadap pembaharuan tanpa meninggalkan tradisi, bersikap jalan tengah (tawâsut), adil atau tidak berat sebelah (tawâzun), dan toleransi (tasâmuh), mementingkan tasawuf daripada fiqh. Tujuan apresiasi jatilan adalah: memudahkan berdakwah, membangun integrasi sosial, penegasan sikap pesantren al qodir membolehkan jatilan, peneguhan identitas Jawa, dan membela rakyat kecil. Motif dan kepentingan di balik dakwah kultural adalah: motif agama yaitu panggilan kewajiban agama untuk berdakwah, motif politik agar mendapat dukungan massa, dan motif untuk mempertahankan keindahan seni.
Tanggapan masyarakat terhadap dakwah kultural dalam bentuk apresiasi jatilan yang dilakukan oleh Kiai Masrur terdiri dari dua kelompok: Kelompok pendukung terdiri dari masyarakat penjatil, sebagian besar warga NU Wukirsari, beberapa kiai dari pesantren di luar Wukirsari. Sedangkan kelompok penentang apresiasi jatilan terdiri dari: sebagian besar warga Muhammadiyah, sebagian kecil warga NU. Pangkal perbedannya adalah kelompok pendukung mendasarkan pemikiran pada sistem nilai mistisisme Jawa, mistisime Islam (tasawuf) yang mengedepankan cinta dan persaudaraan terhadap semua makhluk, dan menghargai ekspresi religiousitas yang beragam, memandang agama sebagai bagian dari budaya. Sedangkan kelompok penentang mendasarkan pemikirannya pada: kaidah hukum fiqh, pelaksanaan ajaran agama yang tertulis dalam al Qur’an dan Hadits secara murni, memandang agama terpisah dan lebih tinggi daripada budaya. Di samping itu juga disebabkan oleh perasaan in group out group dan karena pilihan partai politik yang berbeda. Sejarah telah membuktikan dakwah kultural yang dilakukan oleh para Walisongo dan para dai lainnya telah berhasil mengislamkan bangsa Indonesia, khususnya suku Jawa. Dakwah model ini menghormati kultur lokal, tanpa kekerasan (pemaksaan), masih relevan untuk kita kembangkan sebagai cara dakwah Islamiyah.