• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Academic Documents
    • Student Satisfaction Survey
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Tesis
  • Dakwah Islam Kultural: Studi atas Apresiasi Kiai Masrur Ahmad Mz terhadap Kesenian Jatilan

Dakwah Islam Kultural: Studi atas Apresiasi Kiai Masrur Ahmad Mz terhadap Kesenian Jatilan

  • Tesis
  • 17 June 2011, 00.00
  • Oleh:
  • 0

Judul: Dakwah Islam Kultural: Studi atas Apresiasi Kiai Masrur Ahmad Mz (Lahir 1963) terhadap Kesenian Jatilan di Kelurahan Wukirsari Cangkringan Sleman Yogyakarta 

Penulis: Muh. Hanif (CRCS, 2005)

Kata-kata Kunci: Kiai – Dakwah kultural – Apresiasi Jatilan

Abstrak:


Fokus penelitian adalah 1) Bagaimana bentuk apresiasi Kiai Masrur terhadap Kesenian Jatilan? 2) Mengapa Kiai Masrur melakukan dakwah kultural dalam bentuk apresiasi Jatilan: pemikiran, tujuan dan motif atau kepentingan apa yang melandasinya? 3) Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap dakwah kultural dalam bentuk apresiasi Jatilan tersebut?

 

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian adalah Kiai Masrur, pengurus dan santri pesantren Al Qodir, penggiat Jatilan dari Wukirsari, masyarakat pendukung dan penentang kegiatan dakwah kultural Kiai Masrur dalam bentuk apresiasi Jatilan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode observasi mendalam, wawancara berpartisipasi dan dokumentasi. Penelitian dilaksanakan mulai bulan September 2004 sampai dengan bulan Januari 2005 di Kelurahan Wukirsari Cangkringan Sleman Yogyakarta. Analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan model interaktif.

 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Bentuk dakwah kultural apresiasi Kiai Masrur terhadap Jatilan ada dua yaitu: Jatilan sebagai media membangun komunikasi dengan masyarakat penjatil dengan cara: festival dan pertunjukan Jatilan tahunan di pesantren al Qodir, memberi bantuan keuangan pada paguyuban Jatilan, dan melibatkan masarakat penjatil dalam berbagai pengajian di dalam dan di luar pesantren. Jatilan sebagai target dakwah dengan cara mengubah Jatilan menjadi lebih Islami pada bentuk maupun konsep nilai yang mendasarinya. Pada dataran konsep menggeser konsep nilai trihitakarana Hinduisme dan konsep spiritualitas Jawa diganti dengan konsep tasawuf (mistisisme Islam). Pada dataran bentuk melalui peraturan festival Jatilan para penjatil dilarang menjalankan larangan agama seperti trance (kesurupan), sesaji dan lain-lain, penilaian pada keindahan tari, suara dan musik 2). Pemikiran tujuan, motif dan kepentingan yang melandasi dakwah kultural apresiasi jatilan yang dilakukan oleh Kiai Masrur adalah sebagai berikut: a. Pemikiran, semua manusia diangkat oleh Allah sebagai khalifah fil ardh, sehingga memikul kewajiban dan memiliki hak mendapatkan pelayanan dakwah, seni (termasuk Jatilan) dapat digunakan untuk dzikrullah, mendahulukan amar ma’ruf daripada nahil munkar, menyampaikan dakwah secara lemah lembut, dan memberi suri tauladan (utswatun hasanah), at Takhalli (mengosongkan dari sifat yang jelek), at Tahalli (mengisi dengan sifat yang baik), at Tajalli (mendapat ilham untuk melihat kebenaran), akomodatif terhadap pembaharuan tanpa meninggalkan tradisi, bersikap jalan tengah (tawâsut), adil atau tidak berat sebelah (tawâzun), dan toleransi (tasâmuh), mementingkan tasawuf daripada fiqh. Tujuan apresiasi jatilan adalah: memudahkan berdakwah, membangun integrasi sosial, penegasan sikap pesantren al qodir membolehkan jatilan, peneguhan identitas Jawa, dan membela rakyat kecil. Motif dan kepentingan di balik dakwah kultural adalah: motif agama yaitu panggilan kewajiban agama untuk berdakwah, motif politik agar mendapat dukungan massa, dan motif untuk mempertahankan keindahan seni.

 

Tanggapan masyarakat terhadap dakwah kultural dalam bentuk apresiasi jatilan yang dilakukan oleh Kiai Masrur terdiri dari dua kelompok: Kelompok pendukung terdiri dari masyarakat penjatil, sebagian besar warga NU Wukirsari, beberapa kiai dari pesantren di luar Wukirsari. Sedangkan kelompok penentang apresiasi jatilan terdiri dari: sebagian besar warga Muhammadiyah, sebagian kecil warga NU. Pangkal perbedannya adalah kelompok pendukung mendasarkan pemikiran pada sistem nilai mistisisme Jawa, mistisime Islam (tasawuf) yang mengedepankan cinta dan persaudaraan terhadap semua makhluk, dan menghargai ekspresi religiousitas yang beragam, memandang agama sebagai bagian dari budaya. Sedangkan kelompok penentang mendasarkan pemikirannya pada: kaidah hukum fiqh, pelaksanaan ajaran agama yang tertulis dalam al Qur’an dan Hadits secara murni, memandang agama terpisah dan lebih tinggi daripada budaya. Di samping itu juga disebabkan oleh perasaan in group out group dan karena pilihan partai politik yang berbeda. Sejarah telah membuktikan dakwah kultural yang dilakukan oleh para Walisongo dan para dai lainnya telah berhasil mengislamkan bangsa Indonesia, khususnya suku Jawa. Dakwah model ini menghormati kultur lokal, tanpa kekerasan (pemaksaan), masih relevan untuk kita kembangkan sebagai cara dakwah Islamiyah.

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

When faith meets extraction, what or whose priorit When faith meets extraction, what or whose priority comes first: local communities, organizations, or the environment?

Both Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah have voiced their acceptance of mining concessions, each with their own set of carefully considered perspectives. But what lies beneath their words?  In this upcoming #wednesdayforum, @chitchatsalad will dive deep using critical discourse analysis to unravel the layers of these powerful statements. We'll explore how these two of the world’s largest Islamic mass organizations justify their positions and what it reveals about their goals, values, and the bigger narratives in play.

This is more than just a conversation about mining. Come and join #wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
J O G E D Kapan terakhir kali kamu menyapa teman d J O G E D
Kapan terakhir kali kamu menyapa teman dengan sebuah gestur tubuh, alih-alih meminjam seperangkat huruf dan emoji  dari balik layar? Tubuh kita menyimpan potensi ruang untuk berbicara satu sama lain, menggunakan perangkat bahasa yang sama-sama kita punya, saling menyelaraskan frekuensi melalui gerak. 

Simak artikel dari alexander GB pada seri amerta di web crcs ugm.
L I B A T Berbicara tentang kebebasan beragama ata L I B A T
Berbicara tentang kebebasan beragama atau berkeyakinan itu tidak cukup hanya di kelas; ataupun sebaliknya, bertungkus lumus penuh di lapangan. Keduanya saling melengkapi. Mengalami sendiri membuat pengetahuan kita lebih masuk dan berkembang. Menarik diri dan berefleksi membuat pengetahuan itu mengendap dan matang. Melibatkan diri adalah kunci.

Simak laporan lengkap Fellowship KBB 2025 hanya di situs web crcs ugm.
The Ecumenical Patriarchate has quietly built a mi The Ecumenical Patriarchate has quietly built a mission in Indonesia, nurturing faith while navigating a tough reality. Inside, the community faces its own struggles. Outside, it confronts Indonesia’s rigid rules on “legal religions,” leaving them without full recognition. This research uncovers their journey. This is a story of resilience, challenge, and the ongoing question of what religious freedom really means in Indonesia.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY