“Dear Mulyani” is a dance exploration that reflects the concept of balance within imbalance—a dynamic we discovered in Joged Amerta. Through this work, we seek to explore balance not as something static, but as a dynamic state—born from tension, contradiction, and negotiation between two distinct bodies.
This video brings together two generations of dancers: myself, Otniel Tasman, and the maestro Mulyani. In the meeting of our bodies, a process of seeking rasa emerges—an intuitive experience that arises not only from physical movement but also from memory, lived experience, and the spirituality embedded in each of our bodies. We treat the body as a medium of communication that transcends words, where movement becomes a bridge to understand how tradition and contemporary expression can meet and respond to one another.
Visually, the video presents a dialogue between bodies in a space that symbolizes the negotiation of balance. This may take the form of movements that complement, collide, or even switch roles—within a state of balance that is constantly shifting.
The sonic dimension of this work is enriched by the vocals of Muriah Budiarti, whose voice brings emotional resonance and atmosphere to support our embodied search for balance. The voice is not merely a backdrop, but a vital part of the movement’s dramaturgy, shaping the sensory experience of this piece.
Ultimately, Dear Mulyani is an open letter in the form of dance—a dialogue that reflects how tradition and the body are always alive in an ongoing quest for balance
_____________________
“Dear Mulyani” adalah eksplorasi tari yang mencerminkan konsep keseimbangan dalam ketidakseimbangan—dinamika yang kami temukan dalam Joged Amerta. Melalui karya ini, kami berusaha mengeksplorasi keseimbangan bukan sebagai sesuatu yang statis, melainkan sebagai keadaan yang dinamis—yang lahir dari ketegangan, kontradiksi, dan negosiasi antara dua tubuh yang berbeda.
Video ini mempertemukan dua generasi penari: saya sendiri, Otniel Tasman, dan maestro Mulyani. Dalam pertemuan tubuh kami, sebuah proses pencarian rasa muncul—pengalaman intuitif yang muncul tidak hanya dari gerakan fisik tetapi juga dari ingatan, pengalaman hidup, dan spiritualitas yang tertanam dalam setiap tubuh. Kami memperlakukan tubuh sebagai media komunikasi yang melampaui kata-kata, tempat gerakan menjadi jembatan untuk memahami tradisi dan ekspresi kontemporer dapat bertemu dan saling menanggapi.
Secara visual, video ini menyajikan dialog antartubuh dalam ruang yang melambangkan negosiasi keseimbangan. Dialog ini dapat berupa gerakan yang saling melengkapi, bertabrakan, atau bahkan bertukar peran—dalam keadaan keseimbangan yang terus berubah. Dimensi dengar karya ini diperkaya oleh vokal Muriah Budiarti, yang suaranya menghadirkan resonansi emosional dan suasana untuk mendukung pencarian keseimbangan yang kita alami. Suara bukan sekadar latar belakang, melainkan bagian penting dari dramaturgi gerakan, yang membentuk pengalaman sensorik karya ini.
Pada akhirnya, Dear Mulyani adalah surat terbuka dalam bentuk tari—dialog yang mencerminkan bagaimana tradisi dan tubuh selalu hidup dalam pencarian keseimbangan yang berkelanjutan.
_____________________
Otniel Tasman is a choreographer and a Lengger dancer from the Banyumas tradition, is committed to voicing gender justice and exploring the fluid wisdom of tradition. For nearly four years, he studied intensely with the late Mbah Suprapto Suryodarmo, delving into Joged Amerta. Among the many insights they shared was the concept of Nyawiji (unity) within Lengger and Javanese philosophy. Through both traditional and contemporary dance works, he initiated the Jagad Lengger Festival to preserve and promote the local knowledge of the Lengger community. His book Lengger Agamaku (2020–2024) serves as a dialogue on the body, gender, tradition, and spirituality.
Otniel Tasman ialah seorang koreografer dan Lengger dari tradisi Banyumas yang berkomitmen menyuarakan keadilan gender dan menggali kearifan tradisi yang cair(fluid). Selama hampir empat tahun, ia berguru secara intens dengan mbah Suprapto Suryodarmo dan mempelajari Joged Amarta. Salah satu dari sekian banyak ilmu yang digeluti dan dibagi ialah tentang konsep Nyawiji pada lengger dan filosofi kejawen. Melalui karya tari tradisional dan kontemporer, ia menginisiasi Festival Jagad Lengger Festival untuk melestarikan dan mempromosikan pengetahuan lokal komunitas Lengger. Buku Lengger Agamaku (2020–2024) hadir sebagai dialog tentang tubuh, gender, tradisi, dan spiritualitas.