• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Video Amerta
  • Dear Mulyani

Dear Mulyani

  • Video Amerta
  • 21 March 2025, 18.57
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

“Dear Mulyani” is a dance exploration that reflects the concept of balance within imbalance—a dynamic we discovered in Joged Amerta. Through this work, we seek to explore balance not as something static, but as a dynamic state—born from tension, contradiction, and negotiation between two distinct bodies.

This video brings together two generations of dancers: myself, Otniel Tasman, and the maestro Mulyani. In the meeting of our bodies, a process of seeking rasa emerges—an intuitive experience that arises not only from physical movement but also from memory, lived experience, and the spirituality embedded in each of our bodies. We treat the body as a medium of communication that transcends words, where movement becomes a bridge to understand how tradition and contemporary expression can meet and respond to one another.

Visually, the video presents a dialogue between bodies in a space that symbolizes the negotiation of balance. This may take the form of movements that complement, collide, or even switch roles—within a state of balance that is constantly shifting.

The sonic dimension of this work is enriched by the vocals of Muriah Budiarti, whose voice brings emotional resonance and atmosphere to support our embodied search for balance. The voice is not merely a backdrop, but a vital part of the movement’s dramaturgy, shaping the sensory experience of this piece.

Ultimately, Dear Mulyani is an open letter in the form of dance—a dialogue that reflects how tradition and the body are always alive in an ongoing quest for balance

_____________________

“Dear Mulyani” adalah eksplorasi tari yang mencerminkan konsep keseimbangan dalam ketidakseimbangan—dinamika yang kami temukan dalam Joged Amerta. Melalui karya ini, kami berusaha mengeksplorasi keseimbangan bukan sebagai sesuatu yang statis, melainkan sebagai keadaan yang dinamis—yang lahir dari ketegangan, kontradiksi, dan negosiasi antara dua tubuh yang berbeda.

Video ini mempertemukan dua generasi penari: saya sendiri, Otniel Tasman, dan maestro Mulyani. Dalam pertemuan tubuh kami, sebuah proses pencarian rasa muncul—pengalaman intuitif yang muncul tidak hanya dari gerakan fisik tetapi juga dari ingatan, pengalaman hidup, dan spiritualitas yang tertanam dalam setiap tubuh. Kami memperlakukan tubuh sebagai media komunikasi yang melampaui kata-kata, tempat gerakan menjadi jembatan untuk memahami  tradisi dan ekspresi kontemporer dapat bertemu dan saling menanggapi.

Secara visual, video ini menyajikan dialog antartubuh dalam ruang yang melambangkan negosiasi keseimbangan. Dialog ini dapat berupa gerakan yang saling melengkapi, bertabrakan, atau bahkan bertukar peran—dalam keadaan keseimbangan yang terus berubah. Dimensi dengar karya ini diperkaya oleh vokal Muriah Budiarti, yang suaranya menghadirkan resonansi emosional dan suasana untuk mendukung pencarian keseimbangan yang kita alami. Suara bukan sekadar latar belakang, melainkan bagian penting dari dramaturgi gerakan, yang membentuk pengalaman sensorik karya ini.

Pada akhirnya, Dear Mulyani adalah surat terbuka dalam bentuk tari—dialog yang mencerminkan bagaimana tradisi dan tubuh selalu hidup dalam pencarian keseimbangan yang berkelanjutan.

_____________________

Otniel Tasman is a choreographer and a Lengger dancer from the Banyumas tradition, is committed to voicing gender justice and exploring the fluid wisdom of tradition. For nearly four years, he studied intensely with the late Mbah Suprapto Suryodarmo, delving into Joged Amerta. Among the many insights they shared was the concept of Nyawiji (unity) within Lengger and Javanese philosophy. Through both traditional and contemporary dance works, he initiated the Jagad Lengger Festival to preserve and promote the local knowledge of the Lengger community. His book Lengger Agamaku (2020–2024) serves as a dialogue on the body, gender, tradition, and spirituality.

Otniel Tasman ialah seorang koreografer dan  Lengger dari tradisi Banyumas yang berkomitmen menyuarakan keadilan gender dan menggali kearifan tradisi yang cair(fluid). Selama hampir empat tahun, ia berguru secara intens dengan mbah Suprapto Suryodarmo  dan mempelajari Joged Amarta. Salah satu dari sekian banyak ilmu yang digeluti dan dibagi ialah  tentang konsep Nyawiji pada lengger dan filosofi kejawen. Melalui karya tari tradisional dan kontemporer, ia menginisiasi Festival Jagad Lengger Festival untuk melestarikan dan mempromosikan pengetahuan lokal komunitas Lengger. Buku Lengger Agamaku (2020–2024) hadir sebagai dialog tentang tubuh, gender, tradisi, dan spiritualitas.

 

Tags: otniel tasman Video Amerta

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

L A B E L Seberapa penting sebuah label? Bagi makh L A B E L
Seberapa penting sebuah label? Bagi makhluk modern, label itu penting walau bukan yang paling penting. Ia menjadi jendela informasi sekaligus penanda diri. Dalam kacamata masyarakat legalis, label juga berarti penerimaan dan perlindungan. Namun, seringkali label itu disematkan oleh entitas di luar diri, terlepas ada persetujuan atau tidak. Karenanya, tak jarang label juga menjadi penghakiman. Dalam silang sengkarut semacam ini, perebutan kuasa bahasa atas label menjadi vital, terutama bagi kelompok rentan yang dimarjinalkan. Kalau kata teman yang alumni dusun Inggris , "label is rebel!"

Simak bincang @astridsyifa bersama @dedeoetomo tentang lokalitas dan ekspresi identitas gender di situs web crcs
Waktu Hampir Habis 😱 HARI INI TERAKHIR PENDAFTA Waktu Hampir Habis 😱
HARI INI TERAKHIR PENDAFTARAN MASUK CRCS UGM 🫣

Jangan sampai lewatin kesempatan terakhir ini !! 
#crcs #ugm #s2 #sekolahpascasarjanaugm
Kupas Tuntas masuk CRCS UGM (Live Recap) #crcsugm Kupas Tuntas masuk CRCS UGM
(Live Recap)

#crcsugm #pendaftarancrcsugm #sekolahpascasarjanaugm #s2 #ugm #live
Beli kerupuk di pasar baru Nih loh ada info terbar Beli kerupuk di pasar baru
Nih loh ada info terbaruuu

Penasaran gimana rasanya jadi bagian dari CRCS UGM? 🧐 Yuk, intip live streaming kita hari Senin, 30 Juni jam 15.00-17.00 WIB yang akan mengupas tuntas seputar pendaftaran, kehidupan kampus CRCS UGM dan banyak lagi!
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY