Di Balik Pelarangan Injil Berbahasa Minang
Nezia Mavitau Rustyana – 29 Juli 2020
Penerjemahan Injil dalam berbagai bahasa daerah sejatinya sudah ada sejak lama dan masih dilakukan di berbagai tempat. Begitu juga di Minang. Walaupun Kristen sebagai agama di Minang adalah minoritas, penerjemahan Injil ke bahasa Minang ini tentu untuk mempermudah masyarakat Minang memahami Injil.
Namun, respons dari sebagian masyarakat Minang tampak abai pada tujuan asal itu. Di antara narasi yang diproduksi adalah bahwa penerjemahan Injil merupakan salah satu upaya Kristenisasi. Pemerintah daerah Sumatra Barat terpengaruhi narasi ini, mengeluarkan surat pelarangan Injil berbahasa Minang, dan kemudian mengirimkannya ke Kementerian Agama. Sejumlah aktivis menentang hal ini dan mendiskusikannya dalam diskusi daring pada 6 Juli 2020 yang diselenggarakan Kopiko Literasi. Bagi para aktivis ini, faktor yang terlibat dalam polemik ini bukan semata agama, melainkan juga politik identitas.
Politik identitas
Aktivis PUSAKA Foundation yang menjadi narasumber dalam diskusi, Sudarto, mengatakan bahwa ada kepentingan lain di balik pelarangan Injil berbahasa Minang ini. Lebih dari soal agama, identitas bermain lebih menonjol, dan mengambil bentuk narasi keterancaman mayoritas oleh minoritas. Narasi keterancaman ini sudah mengendap lama. Sudarto menyebut bahwa narasi tentang Kristenisasi sudah disebarkan di kalangan akar rumput sejak Orde Baru.
Alumnus CRCS (2012) yang akrap dipanggil Toto itu menambahkan bahwa penulisan Injil dalam bahasa Minang sendiri sudah dimulai sejak 1996. Pada saat itu narasi Kristenisasi sudah diangkat dan semakin meningkat pada 2004. Akibatnya, ruang gerak masyarakat Kristen di masyarakat Minang makin terbatas. Dalam konteks demikianlah, menurut Toto, persoalan bukan lagi murni agama, melainkan politik identitas yang menggunakan agama dan etnisitas. Oleh karena menyangkut politik identitas, bagi Toto, pertanyaan kritis yang layak diajukan ialah: siapa yang paling diuntungkan dalam perselisihan ini?
Toto menyebutkan bahwa Padang merupakan daerah dengan pergerakan Islamis yang kuat, yang sudah lama menyebarkan narasi anti-Kristenisasi, dan aspirasi mereka di ranah politik praktis tersalurkan melalui partai-partai Islamis. Dibaca dalam konteks demikian, polemik Injil ini cenderung menguntungkan partai-partai Islamis itu. Ditambahi dengan umumnya masyarakat Muslim Minang yang belum bisa mengolah isu agama dan politik identitas dengan jernih, dampak jangka panjang dari polemik ini ialah semakin tertanamnya kecurigaan pada minoritas dengan alasan anti-Kristenisasi. Sangat mungkin terjadi bahwa di masa depan, isu serupa akan menyeruak lagi dan gampang dimanfaatkan para pialang politik dalam kontestasi politik, seperti pilkada misalnya.
Dialog inklusif
Selain Toto, narasumber lain ialah Pdt Darwin Darmawan, yang juga alumnus CRCS (2010). Darwin menyampaikan bahwa sebenarnya aktivitas yang bertujuan menyebarkan ajaran agama ke kalangan pemeluknya ada di setiap agama. Bila Islam memiliki dakwah, Kristen memiliki misionari. Masing-masing, terutama untuk internal komunitasnya, ingin ajaran agamanya dipahami dengan lebih baik oleh pemeluknya. Oleh karena itu, penerjemahan Injil berbahasa Minang selayaknya dipahami bukan sebagai upaya penyebaran Kristen yang ingin mendominasi masyarakat Minang, melainkan upaya menjangkau masyarakat Minang yang Kristen untuk memahami Injil sesuai konteks lokalnya.
Darwin menambahkan bahwa kecurigaan semestinya tidak perlu hadir jika ada upaya dialog yang inklusif lintas agama. Ini berguna agar stigma negatif tidak berkembang dari satu pihak ke pihak lain, bukan saja dari Muslim kepada Kristen, tetapi juga sebaliknya. Dialog ini berlaku untuk berbagai macam isu, bukan hanya penulisan Injil berbahasa Minang, melainkan juga isu-isu lain seperti pembangunan gereja khas Minang, yang juga acap kali dipandang sebagai upaya Kristenisasi. Pengelolaan isu melalui dialog yang inklusif ini bisa meminimalisasi penggunaan isu-isu keagamaan dalam politik identitas.
Dalam rangka pengelolaan isu tersebut, narasi eksklusif yang sudah mengakar lama perlu ditandingi. Di antara narasi itu ialah bahwa “Minang adalah Islam”. Pada kenyataannya, Toto menambahkan, sudah ada komunitas Kristen yang sejak lama tumbuh berkembang di tengah masyarakat Minang. Di samping itu, etnisitas merupakan suatu hal yang cenderung terberi, sementara agama merupakan pilihan. Narasi eksklusif cenderung menyamakan kedua hal yang muasalnya berbeda itu. Narasi eksklusif semacam ini sering menghalangi dialog antaragama dan persebaran nilai-nilai hidup bersama yang inklusif.
Menolak tunduk
Toto mengusulkan agar Kementrian Agama tidak tunduk pada narasi yang eksklusif itu. Kecurigaan dan stereotipe negatif bukanlah sikap yang sehat untuk membangun dialog antaragama. Jika pemerintah justru tunduk dan mengadopsi narasi penuh kecurigaan ini, pemerintah akan turut bersaham dalam menghalangi hubungan lintas agama yang harmonis dalam pengertian yang sebenarnya. Di kawasan lain di Indonesia, narasi yang serupa telah berandil dalam memicu segregasi kultural Muslim-Kristen, dan bahkan berujung pada konflik luas.
Menanggapi pertanyaan dalam diskusi mengenai dampak lebih luas dari isu Injil Minang ini, kedua narasumer menyampaikan bahwa kesalahan pengelolaan isu semacam ini akan membuat narasi yang eksklusif makin mengakar dan turut berdampak di tingkat nasional. Sulit ditampik bahwa politik identitas yang akut di tingkat nasional juga disumbang oleh isu-isu lokal yang tidak pernah diselesaikan dengan baik. Akibatnya, nilai-nilai kemajemukan yang menjadi dasar berdirinya negara ini pelan-pelan terkikis; dan pengikisan ini, disadari atau tidak, turut dilakukan oleh pemegang otoritas yang, alih-alih berupaya membangun dialog, justru memperkuat stigma negatif yang tidak sehat bagi hubungan antaragama.
_______________
Nezia Mavitau Rustyana adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM. Baca tulisan Nezia lainnya di sini.