• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Tesis
  • Dialog Antariman di Tingkat Akar Rumput

Dialog Antariman di Tingkat Akar Rumput

  • Tesis
  • 15 June 2011, 00.00
  • Oleh:
  • 0

Judul: Dialog Antariman di Tingkat Akar Rumput: Sebuah Studi Kasus tentang Program-Program Pemberdayaan Dialog Antariman di Jawa Timur

Penulis: Siti Sarah Muwahidah (CRCS, 2007)

Kata-kata Kunci: dialog antariman, pemberdayaan, akar rumput, identitas agama

Abstrak:

 

Dialog antariman umumnya digunakan dalam membangun perdamaian dan pengertian antar kelompok-kelompok agama. Swidler (2000) mengatakan bahwa program antariman tidak bisa hanya dilaksanakan oleh kaum akademisi dan elite agama. Ide dan problem dari komunitas akar rumput haruslah disuarakan dan didengar. Program-program semacam ini harus dilakukan di ketiga tingkatan: akademisi, pemimpin agama, dan masyarakat akar rumput, atau program tersebut akan gagal. Dalam tesis ini, saya melaporkan hasil riset lapangan saya di sebuah dusun kecil di Jawa Timur, Banyu Urip, di mana masalah kepemilikan tanah menjadi common ground (dasar) terlaksananya kerjasama antariman. Saya meneliti upaya pemberdayaan antariman yang dimulai oleh sekelompok aktivis Katolik pada tahun 1997. Program ini berhasil mendukung warga dusun mengklaim hak atas tanah mereka. Menurut Paul Knitter (1995), kerjasama antariman di level akar rumput niscaya akan memunculkan dialog antariman. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam tesis ini adalah: apakah dialog yang mengikuti kerjasama antariman di Banyu Urip bisa dinyatakan sebagai dialog antariman? Dan apa signifikansi program antariman di Banyu Urip?

 

Pelaksanaan program antariman di Banyu Urip menjadi lebih sulit karena alasan-alasan berikut. Pertama, warga Banyu Urip telah menderita secara ekonomi dan politik di bawah kepemimpinan berbagai rezim, dari zaman kolonial Belanda, PKI, dan pemerintah lokal. Warga Banyu Urip juga tidak memiliki kontrol dan penguasaan atas tanah tempat tinggal mereka. Oleh karena itu, mereka seolah tersisih di negaranya sendiri. Lebih jauh lagi, pilihan agama mereka banyak dipengaruhi tekanan dari pihak luar: tradisi Kejawen yang dulu dipraktekkan oleh sebagian besar warga telah dibatasi, dan mereka diharuskan untuk memilih salah satu dari lima agama yang diakui pemerintah.

 

Kombinasi tekanan dari luar ini baik dari segi agama dan politik-membuat penduduk Banyu Urip tertindas dua kali. Hal ini menyebabkan munculnya ”sinisme” terhadap agama formal dan pemerintah. Meskipun begitu, umumnya warga Banyu Urip merasa bahwa umat Kristen dan Muslim menyembah Tuhan yang sama. Pendekatan pragmatis ini mungkin terbangun karena kecurigaan yang lama terhadap agenda pihak luar; warga menjadi lebih nyaman bergaul dengan orang sedusun, dibanding dengan orang dari daerah lain seperti para misionaris, aktivis LSM, dan kelompok lain yang mencoba masuk dalam kehidupan mereka. Namun ini juga berarti mereka tidak memikirkan problem keimanan mereka dengan serius.

 

Temuan umum saya adalah bahwa dalam masyarakat yang miskin pengetahuan akan agama yang mereka anut, dialog tentang agama yang muncul menjadi berbeda dengan apa yang telah dideskripsikan Knitter. Sebuah dialog liberatif menjadi penting untuk mengatasi kesinisan dan kecurigaan warga, dan untuk membentuk suatu forum di mana warga dapat memperjuangkan kontrol atas dusun dan kehidupan mereka, dan untuk memperkuat hubungan antaragama di antara mereka. Keberhasilan di bidang ekonomi dan politik akan mendorong keberhasilan hubungan antariman, dan sebaliknya.

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
K O S M O P O L I S Kosmo bermakna semesta, sement K O S M O P O L I S
Kosmo bermakna semesta, sementara polis itu mengacu pada kota yang seupil. Sungguh istilah oksimoron dengan daya khayal maksimal. Namun, nyatanya, yang kosmopolis itu sudah hadir sejak dulu dan Nusantara adalah salah satu persimpangan kosmopolis paling ramai sejagad. Salah satu jejaknya ialah keberadaan Makco di tanah air. Ia bukan sekadar dewa samudra, melainkan kakak perempuan yang mengayomi saudara-saudara jauhnya. Tak heran, ketika sang kakak berpesta, saudara-saudara jauh itu ikut melebur dan berdendang dalam irama kosmopolis. Seperti di Lasem beberapa waktu silam, Yalal Wathon dinyanyikan secara koor oleh masyarakat keturunan tionghoa dan para santri dengan iringan musik barongsai. Klop!

Simak ulasan @seratrefan tentang makco di situs web crcs!
At first glance, religious conversion seems like a At first glance, religious conversion seems like a one-way process: a person converts to a new religion, leaving his old religion. In fact, what changes is not only the person, but also the religion itself. The wider the spread of religion from its place of origin, the more diverse the face of religion becomes. In fact, it often gives birth to variants of local religious expressions or even "new" religions. On the other hand, the Puritan movement emerged that wanted to curb and eradicate this phenomenon. But everywhere there has been a reflux, when people became disaffected with Puritan preachers and tried to return to what they believed their religion was before.

Come and join the #wednesdayforum discussion  at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
D H A R M A Dunia ini adalah tempat kita tinggal, D H A R M A
Dunia ini adalah tempat kita tinggal, tempat kita berbagi, dan tempat semua makhluk berada. Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk hidup berbahagia. Sadhu, sadhu, sadhu
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju