Samsul Maarif | CRCS | Perspektif
Ibu Bumi wis maringi (Ibu Bumi sudah memberi)
Ibu Bumi dilarani (Ibu Bumi disakiti)
Ibu Bumi kang ngadili (Ibu Bumi yang mengadili)
La ilaha illallah, Muhammadun rasulullah (3x)
Pada 20 Mei 2016, “Doa Nusantara” ini dilantunkan oleh ribuan warga Pati sebelum dan saat melakukan aksi jalan kaki (long march) sepanjang 20 kilometer dari Petilasan Nyai Ageng Ngerang di Kecamatan Tambakromo menuju alun-alun Kota Pati untuk mengajak semua pihak melestarikan pegunungan Kendeng. Lantunan doa itu kembali menggema pada aksi long march berikutnya yang menempuh 150 kilometer dari Rembang ke Semarang pada 5-8 Desember 2016.
Mereka datang menuntut Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk mematuhi putusan Mahkamah Agung yang pada 5 Oktober 2016 telah mengabulkan Peninjuan Kembali (PK) gugatan mereka atas izin lingkungan kepada PT Semen Gresik (kemudian menjadi PT Semen Indonesia). Doa itu terlantun kembali oleh Gunretno, koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), pada acara MetroTV, “Mata Najwa: Bergerak Demi Hak”, 21 Desember 2016. Sebelumnya, pada 11-13 April 2016, sembilan “Kartini Kendeng” menyemen kakinya di depan Istana Negara.
Rangkaian unjuk rasa yang tidak biasa itu adalah bukti bahwa para petani sungguh merasa terancam oleh pembangunan pabrik semen di wilayah tempat mereka tinggal di sekitar pergunungan Kendeng—dan mereka sudah menolak pembangunan pabrik semen sejak 2006. Kesungguhan itu lahir dari tradisi yang mengakar di masyarakat lokal, yang di dunia akademik biasa disebut “ekologi adat”.
Praktik Ekologi Adat Kendeng
Ekologi adat adalah rangkaian praktik dan pengetahuan adat yang menekankan kesatuan dan kesaling-tergantungan manusia dan lingkungan, yang mencakup berbagai wujud seperti tanah, hutan, batu, air, gunung, binatang, dan lain-lain. Dalam ekologi adat, eksistensi dan jati diri manusia bergantung dan hanya dapat dipahami dalam konteks relasinya dengan lingkungannya. Keberlanjutan hidup manusia identik dengan kelestarian lingkungan, dan kerusakan lingkungan adalah kehancuran manusia.
Ekologi adat adalah penyesuaian dengan istilah-istilah yang sudah berkembang dalam literatur akademis, seperti indigenous ecology, local ecology, traditional ecology, dan seterusnya. Salah satu inti dari bangunan pengetahuan tersebut adalah bahwa ekologi bukan hanya rangkaian pengetahuan (body of knowledge), melainkan juga cara hidup (way of life) (McGregor 2004). Wajar saja jika Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development/WCED) sejak 30 tahun lalu menegaskan pentingnya masyarakat modern belajar dari pengetahuan dan pengalaman masyarakat lokal/adat terkait pengelolaan lingkungan (WCED 1987).
Konsep ekologi di atas kental dalam logika adat dan religiositas masyarakat Kendeng. Ketika Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM berkunjung ke komunitas Kendeng di Pati pada 24-25 November 2016 lalu, selain diskusi, kami diajak menyaksikan bentuk perawatan lingkungan seperti mata air, goa, sungai bawah tanah, area terlarang, dan pertanian.
Hingga pada tanggal kunjungan kami, masyarakat Kendeng telah mengidentifikasi 500-an mata air untuk dirawat. Setiap mata air didokumentasikan melalui satu kendi (dokumentasi alat adat Kendeng), yang kemudian dijejer rapi di Omah Kendeng, basecamp JMPPK. Demikian cara mereka mengenali dan menghargai lingkungannya. Beberapa di antara mata air yang teridentifikasi telah dirawat, dikelola dan menjadi tempat wisata. Perawatan dan pengelolaannya didasarkan pada konsep pelestarian, sehingga kepariwisataan harus dipastikan tidak mengarah pada eksploitasi yang merusak ekosistem lingkungan.
Area terlarang, yang di dalamnya terletak makam tokoh leluhur, memiliki luas beberapa hektar. Pohon-pohon tua, besar, dan tinggi menjulang terjaga dan terpelihara baik di area tersebut. Jangankan mengganggu pohon-pohon tersebut, menebang satu pohon kecil saja tabu. Bagi komunitas Kendeng, area itu adalah penyangga kawasan sekitarnya, yang umumnya untuk lahan pertanian.
Cerita tentang beberapa area yang disebutkan tidak hanya terkait tentang perawatan secara fisik. Deretan “mitos” menempel dalam cerita tersebut. Mitos di sini tidak dipahami sebagai cerita khayalan, tetapi narasi budaya yang berdasarkan pada pengalaman dan logika adat komunitas. Ia adalah ajaran yang mengandung norma dan menuntun perilaku. Mitos menjadikan area-area tersebut menjadi “sakral”, berbeda dari area-area lainnya, dan menegaskan perilaku dan model relasi dengan segala konsekuensinya antara manusia dan lingkungannya. Mitos-mitos itu adalah tentang kesatuan manusia dan alam.
Doa yang dikutip di awal tulisan ini, dalam penjelasan Gunretno, menegaskan bahwa Ibu Bumi (tanah yang dipersepsikan sebagai “ibu”) sudah memberi banyak untuk kebutuhan manusia. Namun yang terjadi ia justru disakiti. Doa tersebut adalah “teriakan” kepada siapapun, utamanya pemerintah dan para pemodal, untuk berhenti menyakiti Ibu Bumi dan berlaku adil padanya.
Gunretno memaparkan bahwa petani terikat dengan lahan, yang bisa produktif jika ditanami dan hanya jika memiliki perairan. Di area pertanian itu, pegunungan Kendeng memainkan peran sangat vital, yakni sebagai sumber perairan.
Bagi Gunretno, pertanian adalah tradisi turun temurun dan menjadi pilihan hidupnya dan masyarakatnya. Pengalamannya menyadarkan bahwa hidup mereka bergantung pada lahan, air, dan Gunung Kendeng. Kesadaran tersebut adalah warisan yang wajib diwariskan ke generasi selanjutnya. Karena itu, segera setelah mereka mengetahui rencana pembangunan pabrik semen sepuluh tahun lalu (2006), mereka tanpa tedeng aling-aling menolaknya atas nama adat, atas nama leluhur, atas nama pertanian, dan atas nama generasi pelanjut.
Seturut Gunretno, Sutinah menegaskan Ibu Bumi ibarat ibu sendiri yang melahirkannya. Jika seorang perempuan melahirkan anak, Ibu Bumi melahirkan air dan tanaman. Ibu Bumi melahirkan yang dibutuhkan umat manusia. Bagi Sutina, manusia lahir untuk memelihara dan merawat kelestarian Ibu Bumi, dan tidak untuk merusak demi kebutuhan “perut” sendiri. Ulah pemenuhan kebutuhan perut sendiri, dengan dominan mempertimbangkan faktor ekonomi dalam pembangunan, akan mengundang murka dan amarah Ibu Bumi: gempa bumi, tanah longsor, kekeringan atau kekurangan air, dan lain-lain.
Pemahaman di atas adalah dasar perjuangan Gunretno, Sutina, dan anggota JMPPK lainnya. Bagi mereka, Ibu Bumi, petani, masyarakat Kendeng yang saling bergantung dalam kesatuan telah terbelenggu oleh semen dan perlu diselamatkan. Demonstrasi yang dilakukan hanya secuil dari upaya penyelamatan Ibu Bumi, petanian, dan masyarakat Kendeng. Bagi JMPPK, model-model demonstrasi yang tampak ekstrem belum sebanding dengan pemberian Ibu Bumi. Praktik inilah yang di awal disebut sebagai bagian dari “ekologi adat”.
Ekologi Adat Indonesia
Ekologi adat Kendeng tentu saja tidak unik. Ekologi adat adalah lazim di Indonesia, khususnya bagi masyarakat adat. Konsep ekologi serupa dapat ditemukan di komunitas Sunda Wiwitan Paseban, Kuningan, Jawa Barat. Uraian ekologi adat Sunda Wiwitan tersaji kental mendasari keterlibatan mereka dalam perjuangan bersama kelompok gerakan lainnya menggagalkan rencana PT Chevron mengeksploitasi Gunung Ciremai untuk proyek eksplorasi geotermal.
Ekologi adat juga merupakan cara hidup komunitas adat Mollo, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Bersama tokoh perempuannya, Mama Aleta Baun, yang dikenal dunia karena Goldman Environmental Prize 2013 yang diterimanya sebagai pejuang lingkungan dan Yap Thiam Hien 2016 sebagai pejuang HAM, komunitas Mollo berhasil menolak tambang di daerahnya setelah mereka dintimidasi, dipukul, dipenjara, dan diancam dibunuh. Uraian ekologi adat Mollo dapat dilihat di berbagai media, termasuk salah satunya dari pidato Mama Aleta Baun yang menggetarkan Forum Kebudayaan Sedunia (World Culture Forum) dengan peserta 1800 mewakili 65 negara pada Oktober 2016 di Bali. Dalam pidatonya, Mama Aleta Baun menegaskan bahwa alam seperti tubuh manusia dan harus diperlakukan layaknya tubuh manusia. Identitas marga Mollo diambil dari gunung keramat yang dibongkar oleh perusahaan tambang marmer. Alam dan manusia, bagi komunitas adat Mollo, adalah satu kesatuan. Mereka karenanya bergerak melawan pemerintah dan perusahaan untuk menyelamatkan tubuh mereka, tubuh alam, adat mereka, dan generasi mereka, yang kesemuanya terkait dalam kesatuan.
Satu lagi yang layak disebutkan adalah Komunitas Ammatoa Kajang, Sulawesi Selatan. Dengan ekologi adatnya, mereka berhasil mempertahankan hutan adatnya. Setelah melintasi berbagai tantangan dan risiko dalam mempertahankan hutan adatnya, mereka akhirnya mendapatkan penghargaan “Wahana Lestari” dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Agustus 2016. Bagi komunitas Ammatoa, hutan adatnya adalah bagian identitasnya yang juga telah berjasa pada kehidupan manusia dari generasi ke generasi. Dengan segala risiko, mereka memilih untuk membalas jasa hutan dengan melestarikannya.
Bersama sembilan komunitas adat lainnya yang memilih mengambil segala risiko perjuangan, komunitas adat Ammatoa dianugerahi SK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang penetapan hutan adat oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 30 Desember 2016. Bagi komunitas-komunitas adat, juga para aktivis dan pemerhati ekologi adat, SK yang merupakan wujud awal pelaksanaan Putusan MK 35/2012 tentang hutan adat bukan hutan negara adalah “hadiah akhir tahun 2016” yang menggembirakan. Sekalipun disadari bahwa masih banyak masalah terkait pengakuan ekologi adat, termasuk yang dialami oleh komunitas Kendeng, SK tersebut menunjukkan komitmen baru dan awal dari pemerintah akan pentingnya penjagaan lingkungan dalam pembangunan dan pengakuan hutan adat, sebagaimana ditegaskan presiden dalam pidato penyerahaan SK.
Prospek Ekologi Adat Kendeng
Apa yang diperjuangkan oleh komunitas Kendeng sesungguhnya tak berbeda dengan upaya-upaya mereka yang telah dianugerahi penghargaan. Namun pengakuan dan penghargaan seperti itu di Kendeng tampak masih harus menempuh jalan panjang.
Mereka semua memperjuangkan kesatuan manusia dan alam, “praktik ekologi adat”. Ratifikasi “Persetujuan Paris” yang berwujud UU No. 16/2016 tentang Perubahan Iklim diharapkan menjadi instrumen lain untuk memahami masyarakat Kendeng dan masyarakat adat lainnya sebagai kontributor utama dalam merespons perubahan iklim. Lebih jauh, dalam konteks pemanasan global, wacana keadilan ekologi sedang berkembang. Dalam wacana tersebut, para pelaku ekologi adat selayaknya diberikan reward karena mereka bukan hanya telah berjasa menjaga kelestarian lingkungan, melainkan juga mempertaruhkan segala risiko melawan perusakan lingkungan—dan bukan justru distigmakan sebagai pembangkang.
*Penulis, Dr. Samsul Maarif, adalah pengajar di Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), UGM.