Ekowisata untuk Pelestarian Ekologi Adat Ammatoa di Kajang, Bulukumba
Linah Khairiyah Pary – 6 Sept 2018
Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM bekerjasama dengan Dinas Pariwisata/Dispar Bulukumbas, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan/DLHK Bulukumba, dan Lembaga Adat Ammatoa Kajang/LAAK menyelenggarakan Pelatihan Kelompok Sadar Ekowisata (Pok Darwis) pada 11-15 Agustus 2018 untuk komunitas Ammatoa, di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Didukung oleh Lembaga Pengelola Dana Penelitian (LPDP), Kementerian Keuangan RI, pelatihan ini diikuti pemuda-pemudi Ammatoa Kajang yang direkrut berdasarkan kriteria potensi keaktivan mereka dalam pengembangan komunitas melalui program ekowisata. Pilihan pada pemuda didasarkan pada pertimbangan bahwa, meski boleh jadi belum matang dalam pengetahuan tentang adat dan ekologi adat, mereka merupakan komponen kunci bagi keberlanjutan komunitas.
Pok Darwis ini tentu saja tidak dimaksudkan untuk membebankan program ekowisata Ammatoa semata kepada pemuda. Program ekowisata Ammatoa adalah untuk segenap warga Ammatoa. Konsep dari program ini adalah dari dan untuk mereka. Pok Darwis merumuskan program-program berbasis potensi, berlandaskan pada prinsip Pasang ri Kajang (“memanfaatkan apa yang ada”) dan mengharapkan keterlibatan warga komunitas secara menyeluruh tetapi bertahap.
Pelatihan dibuka oleh Wakil Bupati Bulukumba yang dalam sambutannya menyampaikan bahwa pelestarian hutan adat Ammatoa harus merupakan prioritas dalam program ekowisata ini. Dalam pelatihan, salah satu pemateri, Jumarlin Muslim, salah satu tokoh adat yang berprofesi sebagai polisi hutan (ASN), menyampaikan karakter utama komunitas Ammatoa yang dapat disimpulkan dengan “hitam-hitam” dan “hutan-hutan”. “Hitam-hitam” antara lain bermakna orisinalitas (indigeneity), kebersahajaan, komitmen, dan ketegasan. sementara “hutan-hutan” adalah tentang tanggung jawab melestarikan hutan berdasarkan aturan adat warisan leluhur—yang kini telah di-perda-kan dan Perbupnya sedang dalam proses finalisasi—dan kepatuhan pada pembagian kawasan adat (luar dan dalam) berikut berbagai aturan dan nilai sosial budayanya.
Salah satu isu penting yang menyeruak dalam diskusi pelatihan adalah perintah Pasang tanpa alas kaki di Kawasan Dalam. Aturan tanpa alas kaki ini mengandung makna kearifan mengenai keterhubungan langsung manusia dengan bumi tanpa interupsi. Yang demikian ini sebenarnya adalah hakikat ekologi adat: relasi manusia dan alam yang terhubung dalam ikatan ekosistem yang saling bergantung satu sama lain.
Dalam diskusi selanjutnya, Kepala DLHK Bulukumba menguraikan perihal perda pengakuan komunitas adat Ammatoa dan menyampaikan bahwa sertifikat pengakuan hutan adat Ammatoa dari KLHK yang diserahkan langsung oleh Presiden pada tahun 2016 adalah bentuk apresiasi negara terhadap komunitas Ammatoa atas peran mereka dalam melestarikan hutan (adat). Anggota periset, Prof. Dr. IGP Suryadarma turut menegaskan bahwa apresiasi tersebut tidak hanya dari pemerintah Indonesia, tetapi juga dunia internasional, dengan merujuk pada Kyoto Protocol, satu bentuk kesepakatan dunia internasional untuk pelestarian hutan dan lingkungan.
Di sesi selanjutnya, Kepala Dispar Bulukumba menyampaikan bahwa dalam acara-acara kepariwisataan Bulukumba, adat Ammatoa adalah jantungnya. Dia mencontohkan pelaksaan festival Pinisi (legenda perahu Sulawesi Selatan) tahun ini, dengan salah satu itemnya berupa pertunjukan ritual hutan Ammatoa (addingingi = mendinginkan alam) yang mendapatkan perhatian publik paling besar.
Anggota periset, Dr. Muhammad, salah satu pakar pariwisata UGM, mengutarakan bahwa komunitas Ammatoa hampir memiliki segalanya untuk pengembangan ekowisata berbasis masyarakat adat. Komunitas adalah pelaku utama yang merencanakan, merumuskan dan mengolah programnya. Program ekowisata dengan demikian tidak akan mengubah karakter Ammatoa, bahkan justru memperkuat dan melestarikannya. Yang dibutuhkan tinggal pengorganisasian dan dukungan pemangku kepentingan.
Setelah diskusi dalam pelatihan ini diakhiri dengan tersusunnya draf pengembangan program-program ekowisata, para peserta, tiga periset UGM, dan perwakilan melanjutkan pelatihan di komunitas Ammatoa. Kegiatan di lapangan diawali dengan berkunjung ke pemimpin adat dan kemudian ke kepala desa. Tim periset dan mitra menyampaikan ke pemimpin adat bahwa program ekowisata sudah sampai pada tahap pembentukan Pok Darwis Kajang. Menyampaikan apresiasinya terhadap program ini, pemimpin adat kemudian berbagi “Pasang”. Sowan selanjutnya dilakukan ke tokoh adat lainnya, dengan tujuan agar program ini diterima dan didukung sebagai program komunitas, dari dan untuk komunitas. Pada tahap ini, semua pihak yang dikunjungi memberikan apresiasi dan menyampaikan keinginan untuk berkontribusi sesuai kapasitas dan peran masing-masing. Kunjungan-kunjungan ini dilakukan guna mengantisipasi ekses negatif kepariwisataan yang sering dicurigai banyak kalangan bahwa pariwisata justru berpeluang merusak tatanan adat.
Pelatihan dan kunjungan lapangan ini adalah awal dari pengembangan program ekowisata berbasis komunitas. Di tahun ini, semoga tindak lanjut dari program ini dapat menghasilkan peta jalan (road map) yang komprehensif bagi pengembangan ekowisata Ammatoa Kajang.
_____________
Linah Khairiyah Pary adalah staf CRCS.