
oleh Alexander GB
Ide utama tulisan ini adalah gerak sebagai dialog atau dialog melalui gerakan. Tulisan ini merujuk pengalaman saya mengikuti beberapa latihan bersama Suprapto Suryodarmo (Mbah Prapto) yang memperkenalkan saya pada latihan Joged Amerta. Praktik latihan ini dimulai dari gerakan dasar sehari-hari: berjalan, duduk, berdiri, merangkak, berbaring, dan transisi di antara itu, seperti lazimnya anak-anak bermain, atau gerakan kala bangun tidur (ngolet).
Gerak pada latihan Joged Amerta senantiasa diniatkan menyapa atau say hello pada yang lain, gerakan sebagai wujud komunikasi atau dialog. Salah satu syarat dialog adalah adanya penerimaan-pengakuan keberadaan subjek lain. Dengan kata lain, komunikasi dapat berlangsung dengan baik jika dua subjek berada pada posisi setara, subjek-subjek, dan bukan subjek-objek.
Demikianlah kita memosisikan sesuatu di luar diri kita sebagai mahluk (subjek lain). Subjek lain itu bisa orang lain, batu, tumbuhan, relief, teks naratif, suara, warna, temperatur, tekstur, langit, pakaian, atau apa pun yang menjadi teman berdialog. Lalu form atau bentuk bisa disamakan dengan kata, diksi, frasa, atau kalimat. Serangkaian bentuk berarti sejumlah kata atau kalimat, bisa juga berarti metafora atau simbol tertentu. Selanjutnya dialog akan terus berkembang seiring berkembangnya gerakan selama latihan.
Sebagai wujud dialog, gerak pada Joged Amerta tidak merujuk pada bentuk atau laku tertentu yang tetap atau terkodifikasi, tetapi berupa konsep-konsep dasar yang melahirkan gerak tertentu yang otentik sesuai dengan konteks (ruang waktu tertentu). Gerak sebagai wujud dialog atau ungkapan tertentu, titik tekannya pada sistem kerja yang akan melahirkan gerak. Semacam pendekatan yang sistematis untuk menggali dan menemukan gerak dasar (asali) setiap orang atau kultur tertentu secara wajar dan proporsional.
Dari kacamata saya sebagai aktor teater, latihan Joged Amerta menawarkan konsep eksplorasi atau improvisasi yang berbeda. Latihan improvisasi teater selalu dalam lingkup tema—tujuan bentuk tertentu, misalnya menemukan bentuk gerakan sehari-hari (daily dan extra-daily). Improvisasi tersebut berdasar pada tema imajinasi, narasi, atau keadaan tertentu. Dengan kata lain, latihan improviasi adalah latihan gerak yang berasal dari sesuatu yang dibayangkan.
Pada Joged Amerta, gerak lahir berasal dari dialog saat ini (sekarang) dan di sini (in place/space), dan sekaligus diarahkan untuk menggali gerak otentik dari individu (refleksi-interogasi). Dengan kata lain, latihan Joged Amerta dapat berfungsi sebagai proses eksplorasi peningkatan kesadaran ruang, interogasi gerak personal, dan terutama gerak sebagai bentuk komunikasi. Bukan hanya menemukan gerak referensial yang baru, tidak umum, dan segar, melainkan lebih jauh dari itu yakni latihan untuk menelusuri dan menemukan satu bentuk ungkapan tertentu yang otentik-jujur (truthfullnes) dan spontan.
Latihan Joged Amerta memberi peluang bagi kita untuk mengolah kesadaran yang berada dalam sebuah batas. Kendati demikian, kita bisa mengubah batas itu. Konsep ini sendiri bertolak dari konsep “omah”, yaitu konsep jagat cilik dan konsep jagat gede. Konsep hidup bertolak dari konsep nyawiji atau lingga-yoni, atau konsep sirkulasi, atau konsep konflik, atau konsep tesis-antitesis yang mencari sintesis terus menerus. Sintesis baru akan hadir jika kita sungguh-sungguh membangun dialog.
Secara sederhana Joged Amerta saya pahami sebagai praktik gerakan yang memersepsikan, memahami, menghayati, dan memaknai dunia melalui gerakan (moving). Gerak adalah wujud dari dialog, sebagai respons atas kehadiran subjek lain di ruang-waktu tertentu. Gerak yang juga dapat dipahami sebagai ungkapan, dan sekaligus sebagai proses reading-tuning (nglaras) baik secara vertikal maupun horizontal; dialog antara individu (subjek) dan individu lain (subjek) atau individu (mikrokosmos) dan alam (makrokosmos).
Di dalam mengembangkan gerak pada Joged Amerta, Mbah Prapto menekankan sikap samadhi, sujud, manembah, yang dipertemukan dengan ide “choicing“, choosing, composition in living measurement. “Choicing” adalah sebuah ruang pilihan; choosing berarti kita punya kesadaran memutuskan sebuah komposisi; living measurement adalah kesadaran akan ukuran yang memakai ukuran tubuh kita (panjang tangan, kaki dan lain-lain). Dari objek-objek untuk menentukan titik-titik tempat kita bisa merdeka untuk mengubah komposisi, maka sesungguhnya kita bisa belajar kesadaran untuk mengambil, membawa, dan meletakkan sesuatu pada proporsinya.
Joged Amerta melatih kita semua untuk mengenali dan mengalami perubahan diri kita yang unik, sebagai bagian dari suatu konteks; untuk merasakan diri pada saat tertentu dan sekaligus sebagai makhluk yang berada dalam ekologi yang lebih luas; menumbuhkan rasa bersama antara yang mikro dan yang makro.
Konsep dialog pada Joged Amerta memberi ruang yang luas bahwa semua elemen bisa saling menghargai keberadaan, orang-orang (manusia), benda atau mahkluk lain, untuk sama-sama membangun berkomunikasi dengan sifat dialog. Ide utamanya adalah sesuatu di luar diri kita sebagai subjek, sebagai mahluk. Praktik semacam ini membuka kemungkinan dialog, menantang kreativitas kita untuk terus bergerak, hingga menemukan ide-ide baru dari proses dialog tersebut.
Pada saat latihan di Sukuh, tubuh saya berada di satu titik di area candi. Kaki saya menyentuh rumput dan tanah, lalu menyadari keberadaan yang lain —patung, relief-relief, bangunan candi, sejarah, kisah-kisah yang melekat di sana, pohon, kabut, warna langit, suasana, dan lain sebagainya.
Sebagaimana yang disampaikan Mbah Prapto, alam atau sesuatu setiap saat menyampaikan sesuatu kepada kita. Melalui latihan Joged Amerta secara bertahap, kita membangun dialog dengan semua itu. Jika kita melakukan sensing-reading-tuning dengan benar, secara otomatis hal itu mengembalikan pusat kesadaran pada tubuh, pada intuisi, pada aspek primordial kita sebagai manusia yaitu pancaindra-tubuh-gerakan. Sementara itu, pikiran (thinking center) yang sebelumnya mendominasi hidup kita, pada momen ini diistirahatkan (bersifat pasif). Pikiran fungsinya hanya mengamati, memetakan, serta membangun jalur dan kemungkinan komunikasi dengan semuanya.
Maka proses reading–sensing dan tuning ini adalah proses memberi kesempatan kepada pancaindra dan intuisi kita kembali berfungsi lebih optimal melalui proses yang diniatkan nglaras (menyamakan frekuensi) dan menanamkan kembali tentang pentingnya hubungan yang harmoni dengan alam dan lainnya.
Bentuk (forming) dan gerak terkecil dalam Joget Amerta adalah menggerakkan persendian. Mbah Prapto menyebut sendi adalah mulut. Dari pergerakan sendi ini lantas membentuk gerak atau bentuk tertentu, gerak atau bentuk memiliki maksud komunikasi tertentu. Oleh karena itu, dari pergerakan sendi ini kita dapat mengomunikasikan sesuatu.
Gerak sebagai dialog ditegaskan oleh Mbah Suprapto Suryodarmo pada latihan yang mengamplifikasi ide forming is speaking. Prinsipnya adalah setiap bentuk mengatakan sesuatu atau bagaimana kita mengatakan sesuatu melalui bentuk (form) tertentu. Form dipahami sebagai kata, frasa atau kalimat, atau bisa berupa metafora atau simbol tertentu. Saya mulai membuat gerakan dan menghasilkan bentuk-bentuk tertentu, memperhatikan levelitas, volume, dan lain sebagainya melalui kaki, tangan, pinggang, leher, kepala menyusun bentuk. Ada kalanya bentuk itu adalah inisiatif kita, bentuk yang sengaja diciptakan untuk menyapa dengan kontrol dari kepala, atau membiarkan tubuh bergerak dan menyapa dan menemukan bentuknya (intuisi). Gerak mengalir, bentuk terus berubah, dan selanjutnya ada proses penyadaran terhadap bentuk atau gerak yang dihasilkan (recognized).
Pada latihan Joged Amerta, ada satu kelompok berlatih dengan konsep samadhi dalam ruang lingkar (circle), dengan sifat manembah dalam doa (bowing in praying) yang lebih mempunyai nuansa kepada bahasa jiwa. Gerakan secara umum (mayornya) didorong oleh konsep offering dengan tetap memiliki kesadaran pada alam dan relasi sosial (minornya). Ada kelompok yang berlatih dengan konsep samadhi dalam ruang oval, yang lebih kepada bahasa alam dan mempunyai tema pembersihan dalam reresik (purification in circulation), dengan juga menyertakan kesadaran manembah dan rasa bersama. Ada pula kelompok yang berlatih dengan konsep samadhi dalam ruang kotak (square), gerak yang mencoba merespons bagaimana sikap samadhi pedinan dan samadhi khusus mempunyai sifat interaksi satu sama lain, tetapi tetap mempertahankan kesadaran menembah dan pembersihan. Titik tekan pada kelompok dua ini adalah rasa bersama, baik dengan alam maupun dengan sesama manusia. Rasa bersama yang menjembatani adanya kerja sama. Gerakan atau latihan dengan konsep ruang kota bisa juga berupa kerja-kerja diskusi untuk mendapatkan pencerahan (discussion for clarity). Latihan ini secara langsung maupun tidak, akan mendorong peserta untuk lebih terbuka dengan yang lain, meningkatkan respek pada sesuatu di luar diri kita, menumbuhkembangkan kepedulian (empati) terhadap sesama, demokrasi, dan lain sebagainya.
Latihan adalah upaya menempa dan menempatkan tubuh sebagai resonansi semesta. Dengan demikian, gerakannya akan selalu berbeda, tergantung sejauh mana tubuh dan kesadaran kita mampu menangkap respons dari dan pada alam yang memberikan stimulus.
Klik tautan ini untuk artikel versi bahasa Inggris
______________________
Iskandar (nama alias Alexander GB, domisili di Bandar Lampung, ialah seorang performer (aktor teater) dan penulis yang tergabung di Komunitas Berkat Yakin (komunitas seni di Lampung) sejak 2002 hingga sekarang. Pengalaman langsung dengan Amerta Movement sejak tahun 2019, saat mengikuti latihan Amerta di Candi Sukuh, Borobudur, Tejakula dan Goa Gajah (Bali), serta mengikuti sejumlah kegiatan yang diinisiasi oleh Alm. Mbah Prapto seperti Srawung Seni Candi, Srawung Seni Sawah, Sharing Time: Megalithic Millennium Art Tubaba, Celebrating Megalathic@sistersite Batu Brak Lampung Barat, Candi Songgoriti Malang, Seni Sakral Taman Budaya Jawa Tengah, dan lain-lain.
[wpdm_package id=’20100′]